Found You

2051 Words
Apakah langit yang kulihat sekarang ... adalah langit yang sama dengan  yang kau lihat? Apakah bintang yang bersinar paling terang di sana ... adalah bintang yang sama dengan bintang yang kau lihat? Apakah angin yang kurasakan kini ... adalah angin yang sama dengan yang membelai wajahmu di sana? Jika iya ... tolong rasakan ... betapa aku menitipkan setiap pesan rinduku pada mereka ... untukmu .... *** Paris, Awal Mei 2014 Montmartre. Hanya membutuhkan satu helaan napas untuk mengingat semua kenangan tentang Montmartre. Rizal. Dan entah kenapa nama itu selalu mengikuti setiap kenangan yang kuingat tentang Montmartre. Rizal ... Rizal ... Rizal .... “Jolie!” Aku menoleh dan melihat Karl yang berlari menghampiriku. “Kau meninggalkanku.” Gumamnya kesal. “Maaf.” Jawabku pendek. Karl berjalan mengikutiku. “Apa yang kau cari di sini?” Apa yang kucari? Ya. Apa yang kucari? Apa aku berharap akan menemukannya lagi seperti enam tahun yang lalu? “Jolie?” Panggil Karl penuh tanya. “Aku sudah bilang, kau tidak usah ikut, Karl.” “Apa aku mengganggumu?” “Ya.” Jawabku pendek, lalu aku menoleh padanya. Sekilas, melihat sorot terluka pada mata biru langitnya.  “Maafkan aku, tapi aku benar-benar butuh sendiri.” Gumamku lirih, merasa menyesal karena sudah menyakiti sahabatku. Karl tersenyum, matanya kembali ceria. “Okay, tak masalah. Aku akan pergi.” Ujarnya dengan nada riang, meski aku tahu itu hanya untuk menghiburku. “Aku harap, kau menemukan apa yang kau cari, Joe.” Gumamnya kemudian. Joe. Aku ingat Karl hanya memanggilku Joe, jika suasana hatinya sedang buruk. Memperhatikannya yang kini setengah berlari menuruni tangga batu, aku mendesah, lelah dengan diriku sendiri. Karl sudah menjadi sahabatku selama empat tahun, dan satu kalipun aku tidak pernah menceritakan tentang Rizal padanya. Meski setiap tahun pada bulan dan tanggal yang sama, dia selalu menemaniku ke Montmartre, yang hanya untuk diusir pada akhirnya. Rizal ... Rizal ... Rizal .... Kembali sneakers coklat dengan kombinasi abu-abuku menapak jalanan batu yang berliku. Seseorang meraih bahuku, “Excuse me, can you help me?” Sapanya menggunakan bahasa Inggris. Aku menoleh dan melengkungkan alisku, “Maaf, Saya tidak berbicara bahasa Inggris.” Jawabku, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah. “Oh,” wajahnya terlihat kecewa. “Just try, please.” “Okay,” jawabku, “apa yang bisa saya bantu?” Pria asing itu terlihat gembira, kemudian dia diam sesaat seperti sedang berpikir. Lalu dia menegakkan tubuhnya dan berdehem. “Maukah kau menjadi model lukisanku?” tanyanya seraya melakukan gerakan isyarat. Aku mengikuti arah telunjuknya yang menunjuk sebuah kanvas yang diletakkan pada tiang penyangga berbentuk segitiga -yang kemudian aku tahu bernama easel-, tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku kembali menatap pria itu ragu. “Please ....” Aku menahan senyum melihat ekspresinya yang lucu, iris matanya yang berwarna hitam menatapku memohon. “Why me?” tanyaku ingin tahu. Pria itu tersenyum, mengucapkan rentetan kata yang sama sekali tidak kumengerti. Aku mengernyitkan keningku, tidak mengerti dengan bahasa asing yang diucapkannya. Sama sekali bukan bahasa Inggris, aku belum pernah mendengar bahasa itu sebelumnya. Pria itu tertawa melihat ekspresiku, “Forget it!” gumamnya, kemudian membuka kedua tangannya lebar-lebar. Menatap, menilaiku. “You just ... look pretty.” Katanya lagi. Aku memperhatikan diriku sendiri, rambut merah yang kuikat asal, hingga ada beberapa helainya yang terlepas dari ikatan dan berterbangan di depan wajahku karena tertiup angin. Kulitku yang sama sekali tidak pernah kubanggakan karena terlalu pucat –tidak seperti kulit pria itu yang kecoklatan, aku meliriknya iri- juga iris mataku yang berwarna hijau, sangat kontras dengan rambut merahku. T-shirt berpasangan dengan celana denim dan sneakers adalah fashion wajibku, tidak ada yang pernah mengatakan aku cantik sebelumnya. Aku menatapnya curiga. Namun, bukannya menolak permintaannya, aku malah mengiyakannya.  “Okay.” Jawabku akhirnya. Dia tersenyum lebar, terlihat senang dengan keputusanku. Lalu meraih tanganku dan menggandengnya menuju tempat kanvasnya berada. Sesaat aku merasakan beku pada tanganku, teringat kembali rasa yang ia tinggalkan saat melepas genggamannya. “Berdirilah di sana!” Katanya seraya menunjuk sebuah tempat. Aku menurut, dan berdiri tegak menghadapnya. Memperhatikannya yang tengah menyisir rambut hitamnya -yang terpotong pendek- dengan jarinya. Aneh. Ya. Aku jarang melihat orang seperti dia di Paris. Rambut hitam, mata hitam, kulit yang kecoklatan. Dia memiliki garis rahang yang tegas, hidungnya tegak sempurna dengan bibir yang agak tebal pada bagian bawahnya, dan yang tidak membuatku bosan menatapnya adalah belahan pada bibir bawahnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, “Menyamping, Dear. Jangan menghadapku, aku ingin melukismu dari samping.” Susah payah aku mencoba mengerti maksudnya, kemudian dia mengulangi perkataannya dengan diikuti gerakan isyarat. “I see,” gumamku, kemudian berbalik menyampinginya. Aku merasakan dia mulai menyapukan kuasnya. Sesekali, dengan sudut mataku, aku memperhatikannya yang menatapku dengan serius. Terkadang dia memicingkan matanya untuk mengukur sudut objek. “Siapa namamu?” Tanyaku tanpa berpaling kepadanya. Dari sudut mataku, aku tahu dia menatapku sekilas, sebelum kemudian kembali ke kanvasnya. “Rizal. Aku dari Jogja, Indonesia.” Namanya tak biasa buatku, “Reedzala.” Aku mengejanya dengan susah. Dia tertawa, “Panggil aku sesukamu, Okay?” Aku tersipu, “Ree.” Kataku agak keras. “Ree? No problem, aku suka.” “Namaku Jolie.” Kataku lagi. Rizal menghentikan sapuan kuasnya, menatapku dengan sorot mata penuh dengan senyum. “Cantik, seperti orangnya.” Pipiku memerah, dua kali dia mengatakan aku cantik. Kemudian aku hanya terdiam, membiarkan dia menyelesaikan pekerjaanya, sampai kemudian dia memanggilku. Aku menoleh, segera menghampirinya ketika melihatnya melambai menyuruhku mendekat. Aku terpana melihat goresan kuasnya, meraba pipiku perlahan, kenapa aku terlihat cantik dalam lukisannya? Apa itu memang aku? “Itu memang kamu.” Katanya seolah bisa membaca pikiranku, “Sudah kubilang, kau cantik.” Ada senyum pada nada suaranya. Aku meliriknya yang sedang melap tangannya, “Bolehkah ini buatku?” pintaku. “Hoo, tidak. Aku akan menyimpannya untuk diriku sendiri.” Aku merengut dan bergumam, “ça craint!” Dia melengkungkan alisnya yang tebal, aku tertawa melihatnya. Sedangkan dia yang semula bingung kini tersenyum melihatku yang tergelak, menatapku lembut. membuatku jadi salah tingkah dan menghentikan tawaku. Aku duduk di atas rumput dengan bersandar pada kedua lenganku, memperhatikannya yang sedang merapikan peralatannya. Setelah semuanya beres, dia menyampirkan ransel ke bahunya dan mengempit easel beserta hasil lukisannya yang sudah dibungkus rapi di bawah lengannya. Kemudian dia melirik arloji di pergelangan tangannya. Aku mengangkat tubuhku dan berdiri di hadapannya. “Okay, Jolie. Senang bertemu denganmu. Aku harus kembali ke hotel, sudah waktunya aku berdoa sekarang.” Aku ikut melirik arloji di tanganku, pukul 5.43 p.m. Kenapa dia harus berdoa di jam seperti sekarang. “Doa?” tanyaku ingin tahu. Dia kembali tersenyum, “Aku seorang muslim, dan setiap muslim diwajibkan doa lima kali sehari.” Dia diam sesaat, “Kami menyebutnya Sholat, dan saat ini sudah waktunya sholat Ashar untuk waktu Paris.” Katanya berusaha sepelan mungkin. Mungkin agar aku mengerti maksudnya. Aku mengangguk-anggukan kepalaku. “Bisakah kita bertemu lagi besok?” tanyanya kemudian. “Aku akan mentraktirmu, sebagai ucapan terimakasih.” Lanjutnya lagi seraya agak mengangkat lukisan yang dibawanya. Aku mengangguk lagi, kali ini dengan senyuman lebar. Dia tersenyum, dan aku hanyut karenanya. “Berapa umurmu?” tanyanya lagi mengejutkanku. “Umm ... 20. Dan kau?” “23 tahun.” Jawabnya tanpa menghilangkan senyumannya. Lalu dia berbalik dan melambaikan tangannya, “Bye, Jolie. Kita bertemu lagi di sini besok.” Aku membalas lambaiannya, menatap sosoknya sampai tak terlihat lagi. Aku melanjutkan langkahku, menaiki sebuah tangga batu sempit dengan deretan tiang lampu klasik di tepiannya, juga pepohonan yang berjejer rapi. “Jalanan ini, mengingatkanku pada salah satu jalan di negaraku. Malioboro.” Gumamnya ketika kami menyusuri jalanan batu berliku dengan bangunan-bangunan toko souvenir dan cafe yang saling berdempetan dan berjejalan memenuhi tepian jalan. “Terlihat seperti ini?” tanyaku, aku pernah membaca tentang Malioboro di sebuah brosur paket wisata, jadi agak familiar dengan namanya. Selain Malioboro, aku juga membaca tentang Bali. Dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Oh Tuhan, aku tidak suka melihatnya tersenyum, membuat jantungku berdebar sangat kencang. “Ya, hanya di sini lebih sempit.” Jawabnya. Kemudian kami menuruni tangga batu yang curam. Tiba-tiba dia berhenti, membuatku ikut berhenti. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memandang deretan tiang-tiang lampu yang berdampingan dengan pepohonan di tepi tangga. “Klasik dan Indah.” Gumamnya. “Akan terlihat lebih indah jika pohon-pohon ini tak berdaun. Itu bisa kau lihat saat musim gugur.” Kataku dengan susunan grammar bahasa Inggris yang kacau. “Okay, aku akan melihatnya suatu saat nanti.” Katanya seraya menoleh ke arahku dan kembali tersenyum. Oh, jantungku .... Dia menggandeng tanganku dan melanjutkan langkahnya, aku mengikutinya dengan debaran yang semakin tak menentu. Berhenti di depan sebuah cafe -dengan d******i warna merah pada papan namanya- di sebuah sudut jalan, aku duduk di salah satu kursinya yang ada di trotoar, menghadap langsung ke jalan Rue Lepic yang ramai oleh toko bunga dan pastry. Aku memesan secangkir caffe late pada pelayan yang menghampiriku. Dia tertawa ketika melihat pesananku. “Kenapa?” tanyaku sebal. “Itu minuman anak-anak.” Jawabnya santai seraya menyeruput espresso-nya. Aku mengerucutkan bibirku, “Tidak masalah buatku.” Memainkan sendok kecil pada milk foam yang bergambar beruang, aku menyendoknya perlahan-lahan, takut menghancurkan gambar beruangnya. Dia kembali terkekeh. Aku memutar bola mataku, tak peduli dengan ejekannya. Menyeruput caffe late-ku perlahan. “Jadi, apa yang membuatmu datang ke Montmartre?” tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku, hanya memandangku kemudian mengulurkan tangannya ke wajahku, membuat tubuhku menegang seketika, dan aku hampir saja pingsan ketika merasakan ibu jarinya mengusap atas bibirku, hingga ke sampingnya. Tapi kemudian aku sadar, dia hanya ingin membersihkan busa yang menempel di bibirku. “Kau sangat manis.” Gumamnya. Aku tersipu dan bergerak salah tingkah, dan sepertinya dia merasa tidak enak juga. “Ehm,” dia berdehem, “dari dulu aku selalu ingin ke sini.” Katanya. “Kenapa?” tanyaku penasaran. Dia tersenyum, “Tentu karena di sinilah dulu, para seniman hebat Prancis tinggal.” Oh, kenapa aku sampai lupa kalau dia seorang seniman. “Pablo Picaso.” Gumamku menyebut salah satu nama seniman besar yang pernah tinggal di sini. “Salvador Dali.” Dia tidak mau kalah. Aku berpikir keras, “Vincent Van Gogh.” Kataku lagi. Dia mulai tertawa pelan, “Calude Monet.” Aku mengerutkan keningku, mencoba mengingat nama lainnya. “Renoir.” Katanya lagi membuat aku menjatuhkan kepalaku ke atas meja. Kami pun tertawa bersama. “Minuman anda, Nona.” Kata seorang pelayan yang mengantarkan pesananku. “Umm ...” aku melirik name tag yang menempel di d**a kirinya, “Jane, tolong bawakan saya secangkir esspresso.” Pelayan bernama Jane itu tersenyum dan mengangguk. Aku memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di depanku, beberapa diantaranya berjalan berpasangan, saling bergandengan tangan. “Nona ....” Aku menoleh dan melihat Jane yang sudah meletakkan secangkir espresso di sampingku. Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih, lalu menarik cangkir espresso agar bersisian dengan cangkir cafe late milikku ketika Jane sudah meninggalkan mejaku. Seharusnya kita seperti ini, Ree ... saling bersisian dan mengisi. Kata batinku pilu. Katakanlah aku gila, hanya mengenalnya tak kurang dari satu minggu, dan menunggunya selama enam tahun. Tapi kenangan bersamanya benar-benar membekas dalam hatiku, tidak mudah terlupakan begitu saja. “Jika kau kembali ke Indonesia, apa kau akan melupakanku?” tanyaku. Dia mempererat gandengan tangannya, “Tidak akan pernah.” Jawabnya lirih, entah kenapa aku mendengar nada sedih pada suaranya. Aku menoleh, menatap wajahnya yang memandang lurus ke depan. Merasa sedih karena ini adalah hari terakhirku bersamanya. “Apa suatu saat nanti ... kita akan bertemu lagi?” “Ya. Suatu waktu ... suatu hari nanti.” Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya, berharap agar waktu berhenti dan tidak pernah memisahkan kami. “Some day ... I’ll find you again.” Bisikku lirih. Dia hanya terdiam. Berdiri di sampingku, dengan latar belakang kincir angin kuno yang masih tersisa di Montmatre. Aku berdiri dan meletakkan uang di atas meja untuk membayar minuman yang kupesan, lalu meninggalkan cafe itu. Menuju tempat di mana aku bersamanya untuk yang terakhir kalinya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku berdiri tepat di tempat dulu aku berdiri di sampingnya. Berharap ada dirinya yang menyediakan bahunya sebagai tempat bersandar buatku. Aku memejamkan mataku, membiarkan angin mempermainkan rambutku, membuatnya berterbangan di depan wajahku. Saat itulah aku merasa ada yang mengawasiku .... Aku membuka mataku perlahan, dan di sana ... dengan jarak sepuluh langkah dariku, aku melihatnya ... menatapku dengan sorot mata penuh kerinduan. I find you .... END  ça craint! = menyebalkan  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD