Bab 9. Aah ... Masih Sakit

1147 Words
"Prasta. Udah, Prasta." Sasti menarik lengan Prasta yang masih berjongkok di lantai. Ia tak mau pria yang pernah ia pacari itu tambah babak belur karena pukulan Prasta. Kejadian itu jelas menyita perhatian semua crew pemotretan yang ada di sana. Saat itu, Martin langsung meminta semuanya untuk menyudahi pemotretan. "Cuma segini aja? Aku tunggu kamu di pengadilan," ucap Frans seraya bangkit dari lantai. Pria itu menatap Prasta dengan nyalang dan berlalu dari ruangan itu. Sementara Prasta tak pernah gentar dengan ancaman pria itu. Ia yakin, uang akan menyelesaikan semuanya. Pria itu kemudian menatap Sasti yang terlihat frustrasi. Gadis itu mengurut kening yang mungkin terasa nyeri. "Kalau elu enggak nyaman, kenapa diam aja?" tanya Prasta kemudian. Sasti menoleh. Ia membuang napasnya dengan kasar dan menyahut ucapan Prasta. "Ini kerjaanku, Pras. Aku punya kebutuhan yang harus aku penuhi," sahut Sasti. "Sekarang elu istri gua, jadi enggak usah mikir kebutuhan. Gua yang tanggung," kata Prasta. "Harta Bapakmu?" Prasta menggertakan gigi. Tangannya terulur demi menoel kepala Sasti perlahan. "Enak aja. Gua juga punya usaha sendiri selain perusahaan Adyatama Group," sahut Prasta. "Ha-ha. Kirain. Kan, kamu anak Papa." Sasti tertawa renyah ketika mendengar pembelaan sang suami. Saat itu, Prasta yang kesal memperhatikan wajah sang istri dengan saksama. Kalau dipikir-pikir, gadis di depannya tak bisa dikatakan jelak. Sasti cantik, dengan wajah polosnya dan rambut yang sedikit ikal. "Tapi, tetap aja. Ada Ibu yang harus aku tanggung kebutuhannya, Pras," ucap Sasti usai tawanya mereda. Pria itu terdiam. Mertua tidak termasuk dalam hitungan tanggungan yang harus ia urus. Namun, hanya seorang ibu. Tak akan membutuhkan banyak biaya. Jadi, tidak masalah jika Sasti berhenti dari pekerjaan ini. Sasti kemudian beranjak. Diekori oleh Prasta, gadis itu hendak berganti pakaian. Namun, Prasta masih mencegahnya. "Tapi kalau enggak nyaman ngapain harus terus dijalani? Mending nyari kerjaan lain, kan?" "Udah tenang aja. Aku udah biasa jadi pekerja keras." Saat itu, tiba-tiba ada tepukan kecil dari ambang pintu. Keduanya menoleh dan melihat Sinta berdiri dengan bersandar pada kusen. Gadis itu tersenyum getir dan menepuki pasangan yang membuatnya muak sejak tadi. "Kamu bilang enggak suka kalau cewek kamu jadi model? Kamu dulu sibuk nyuruh aku berhenti jadi model karena takut aku dilec*hkan dan sebagainya. Tapi, apa ini? Istri kamu model juga ternyata?" ucap Sinta. Merasa tak berhak bicara, Sasti memilih diam. Sementara Prasta segera mendekati sang mantan kekasih yang masih bercokol dalam hatinya. "Sin, aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu," kata Prasta. "Basi, Pras. Kalau kamu sayang, kamu enggak mungkin tidur sama cewek lain," sahut Sinta. "Ini hanya salah paham, Sin." "Salah paham bagian mananya, Pras? Buktinya sekarang kamu udah nikah sama cewek gembel itu. Sekarang kamu di sini dan ngaterin dia pemotretan. Kurang bukti apa lagi?" Sinta mendekati Sasti yang hanya diam sejak tadi. Gadis itu memicingkan mata dan menatap istri mantan kekasihnya dengan nyalang. "Bangga kamu jadi istrinya Prasta Adyatama, iya? Pasti sebentar lagi bakal borong barang-barang branded dari duit suamimu. Selamat, ya, kamu berhasil memperdaya semua orang dengan menyerahkan kesucianmu kepada Prasta. Tapi, aku enggak," ucap Sinta kemudian. Sasti trsenyum kecil usai Sinta berkata demikian. Gadis itu menyibak rambutnya ke telinga dan menjawab apa yang gadis di depannya katakan. "Aku enggak peduli apa kata kamu. Yang jelas aku tahu kamu iri. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat. Aku enggak pernah segila itu menyerahkan kesucianku demi harta," sahut Sasti. Sasti kemudian berjalan meninggalkan ruangan itu. Namun, Sinta menahannya dengan menarik lengannya dengan kasar. "Enggak usah sombong. Kita semua tahu dunia modeling itu seperti apa. Kalau enggak ena-ena, enggak bakal bisa kamu maju," kata Sinta. "Itu berlaku untuk yang lain. Bukan aku. Silakan selesaikan urusan kalian. Aku akan pergi," ucap Sasti. Sinta menggertakan giginya karena kesal. Ternyata ia tak bisa menganggap remeh gadis yang telah merebut kekasihnya dengan paksa. Sasti mempunyai kepercayaan diri yang sangat tinggi. Bahkan ketika ia menghinanya di depan Prasta. Sementara Prasta yang melihat perseteruan mereka hanya bisa diam. Ia tak pernah melihat Sinta segusae itu selama ini. Dan lagi, apa yang dilakukan gadis itu di sini. "Sin, kita harus bicara," kata Prasta kemudian. "Enggak ada yang perlu kita bicarakan. Aku dan kamu udan enggak ada hubungan apa-apa," kata Sinta. "Okay. Aku cuma tanya sesuatu sama kamu. Kemarin kamu pergi sama Kak Prima? Sampai pagi?" Sinta menelan ludahnya dengan kasar. Itu memang terjadi. Lantas, mengapa Prasta bertanya? Apakah ia masih punya hak untuk tahu? "Itu bukan urusan kamu. Terserah aku mau pergi sama siapa dan sampai kapan? Kita bukan lagi sepasang kekasih, Pras. Kamu harus ingat itu," ucap Sinta. "Aku cuma ...." "Prima enggak sebrengs*ek kamu. Jadi, enggak perlu cemas," imbuh Sinta. Prasta terdiam. Rasa bersalahnya menumpuk dalam hati. Iya, ia memang tanpa sengaja tidur dengan Sasti. Dan itu berakibat sangat fatal bagi kehidupannya. Walau sekarang ia mencoba untuk berdamai. Sementara Sinta mengatakan itu demi menutupi semuanya. Ia dan Prima telah melakukan itu dan ia pikir itu adalah balasan setimpal bagi Prasta. Sinta akan menjadi kakak iparnya dan itu pasti menyakitkan. "Iya. Kamu juga pasti selalu bisa jaga diri," kata Prasta kemudian. Sinta mengangguk lemah. Ia menarik napasnya dan menyingkirkan sisi melankolisnya dengan segera. Gadis itu kemudian memilih berlalu meninggalkan sang mantan kekasih yang masih merasa bersalah. Sementara Sasti yang selesai berganti baju memperhatikan mereka dari kejauhan. Ia membuang napas kasar dan menghampiri Prasta yang masih mematung menatap punggung Sinta yang akan segera menghilang dari pandangannya. "Mau pulang sekarang?" tanya Sasti kemudian. Prasta menoleh, lalu mengangguk lemah. Sebaiknya, ia menenangkan diri di rumah saja. Sementara Sinta yang sudah naik ke mobilnya bergegas menghubungi Prima. Siapa lagi yang bisa mendengarkannya saat ini selain pria itu. Saat itu, Prima mengirim sebuah alamat dan ia bergegas pergi ke sana. Sinta di sebuah penginapan usai mengikuti alamat yang Prima kirim. Ia kembali mendapatkan pesan dengan nomer kamar yang dimaksud oleh Prima. Saat gadis itu berada di depan kamar, gegas ia mengetuk pintu dan sosok Prima muncul di baliknya. Sinta langsung memeluk pria itu erat. "Ada apa?" tanya Prima. "Aku ketemu sama Prasta dan istrinya," bisik gadis itu. Prima membuang napasnya kasar, lalu membawa gadis itu masuk dan membantunya duduk di tepi ranjang. "Sudah. Jangan nangis lagi. Prasta enggak pantas dapat air mata kamu begini," ucap Prima. Sinta mendongak. Prima lantas mengusap pipi gadis itu perlahan dan membuat simbol senyum di di sana. "Jangan nangis. Aku yakin, mereka akan mendapatkan balasan atas apa yang kamu rasakan," ucap Prima. Sinta mengangguk. Ia menatap pria itu lekat sampai akhirnya Prima berhasil mendaratkan ciuman di bibirnya. Sinta memejam dan merasa bahwa dengan pria itu, ia merasa hangat dan diperhatikan. Jadi, ia membalas dan mengulurkan tangannya untuk kemudian menekan kepala Prima agar ciuman mereka makin dalam. Saat itu, tangan Prima yang bebas mulai bermanuver. Ia melepas segala yang menghalangi hingga keduanya larut dalam hangat kebersamaan. Sinta yang kadung basah akhirnya manut dan merebah sesuai dengan apa yang dimau Prima. Lantas, memejam ketika tangan Prima menyusuri pahanya. "Aku akan menghilangkan rasa sakitmu, Sinta," bisik pria itu ketika kemudian ia menenggelamkan dirinya dalam hangat yang begitu terasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD