"Brengs*k elu, Kak."
Prima terjatuh ke lantai, sedangkan Prasta yang masih gusar ditahan oleh pengawal Hans yang ada di sana. Suasana ruang makan mendadak tegang. Asih dan Sasti juga ikut beranjak dari duduknya demi melihat aksi Prasta yang dengan nekat memukul Prima.
"Hentikan Prasta!"
Hans membentak. Pria itu jelas paham apa yang terjadi. Namun, bukankah Prasta sebaiknya menahan diri. Sinta sudah tidak lagi menjadi kekasihnya sejak ia tidur sekamar dengan Sasti. Jadi, ia tak berhak marah.
"Kak Prima keterlaluan, Pa. Sinta itu pacarku," ucap Prasta masih gusar.
"Kamu sudah menikah, Prasta. Jadi, kenapa masih mengharapkan Sinta," kata Prima.
Mendadak Prasta terdiam. Ia menoleh pada Sasti yang berdiri di belakang meja makan. Pernikahan ini bukan maunya. Ia terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan ini.
"Lepas!"
Prasta akhirnya memilih berlalu dari ruang makan. Pria itu kembali ke kamar dan menolak debat yang akan terjadi. Sementara Hans, mendekati Prima yang menunduk memegangi pelipisnya yang memar karena pukulan sang adik.
"Jangan ngelunjak kamu, Prima. Walaupun papa akan menikahkanmu dengan Sinta, bukan berarti kamu bisa berbuat seenaknya. Jaga martabat kamu. Papa akan pertimbangkan lagi untuk menjadikanmu penerus papa di perusahaan," jelas Hans.
"Tapi, Pa. Prima enggak melakukan apa-apa. Sinta masih galau dengan pernikahan Prasta, jadi Prima cuma menghiburnya," kata pria itu.
"Kamu pikir papa enggak tau. Kamu masuk ke hotel bersama Sinta semalam."
Kata-kata Hans bagai senapan yang menembus d**a Prima. Pria itu tak tahu, apakah ini akan bertambah buruk. Nyatanya, gadis itu memang salah satu batu pijakan Prima untuk jauh lebih dekat dengan kemenangan.
"Papa akan tunggu pendapat keluarganya Sinta. Kalau mereka tidak keberatan dengan sikapmu yang demikian, kita akan lanjutkan rencana pernikahan kalian," imbuh Hans.
Pria itu kemudian berlalu dari meja makan meninggalkan Asih dan Sasti. Juga Prima yang masih terdiam. Pria berkacamata itu kemudian mengulas senyum kecil ketika Asih menatapnya dengan ramah.
"Bu, maaf. Sejak kemarin belum sempat menyapa," kata Prima.
"Iya, tidak apa-apa, Nak."
"Kalau begitu, saya permisi masuk. Silakan nikmati sarapan kalian. Maaf, jadi mengganggu," kata Prima.
Pria yang tampak ramah itu kemudian permisi untuk kembali ke kamar. Sementara Asih dan Sasti kembali duduk. Mereka masih saling diam, sampai akhirnya menoleh satu sama lain.
"Kita benar-benar terjebak di sini, Bu," kata Sasti.
"Hust. Terjebak apa? Ini sekarang Keluargamu. Keluarga suamimu. Jadi, jangan anggap mereka orang lain. Masalah mereka juga akan menjadi masalahmu," kata Asih.
Sasti membuang napasnya dengan kasar. Siapa juga yang mau jadi bagian keluarga aneh ini. Membayangkan saja Sasti tidak pernah. Lantas, tiba-tiba menjalaninya?
Sementara itu, Prima masuk ke kamarnya dengan perasaan gusar. Ia membuka semua pakaiannya dan berlalu menuju ke kamar mandi. Pada guyuran shower yang dingin, ia memejam dan mengunjungi masa lalu. Di mana ia selalu jadi yang nomer 2 padahal ia adalah anak sulung.
Prima dan Prasta adalah 2 saudara beda ibu. Ibu Prima adalah wanita yang dijodohkan oleh kakek neneknya. Sementara ibu Prasta adalah wanita yang Hans cintai. Kesenjangan itu sudah ada sejak lama. Dan mereka tidak bisa mengubahnya sampai sekarang.
Pria itu memukul dinding kamar mandi dengan gusar. Ia jauh lebih tua dari Prasta. Mengapa selalu sang adik yang diberikan perlakuan khusus?
"Aku pasti akan merebut semuanya satu per satu," bisik pria itu geram.
*
"Kenapa Kak Prima melakukan ini? Mereka pergi semalaman. Enggak mungkin hanya minum. Aah ...."
Prasta menyugar rambutnya sembarangan. Ia tak bisa berpikir positif mengenai apa yang dilakukan 2 lawan jenis semalaman. Walau ia sendiri tak yakin juga melakukan itu dengan Sasti. Namun, yang ada dalam benaknya adalah, mengapa harus Prima. Sang kakak yang sangat ia percaya.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar terbuka dari luar. Sasti tampak ragu untuk memasuki kamarnya dan Prasta. Gadis itu dengan hati-hati kemudian melangkah dan berjalan mendekati sang suami.
"Kamu mau aku ambilin makan?" tanya Sasti pelan.
"Aku enggak lapar."
"Tapi, kata Mbak Marni kamu punya asam lambung. Jadi, harus makan teratur."
Saat itu, Prasta menoleh dan menatap gadis yang baru saja ia nikahi dengan nyalang. Bukankah semua ini gara-gara Sasti?
"Enggak usah sok peduli elu. Ini semua gara-gara elu. Semuanya," ucap Prasta seraya bangkit dan menunjuk wajah Sasti.
Sasti yang awalnya bersimpati jadi geram. Ia hanya berniat baik. Namun, mengapa begini balasannya.
"Terserah. Kamu pikir aku senang nikah sama kamu. Keluarga ini itu toxic. Enggak ada kehangatan sama sekali. Kalian semua hanya memikirkan diri sendiri dan hanya peduli dengan diri sendiri," ucap Sasti.
Gadis itu kemudian memilih untuk pergi. Ia berniat menemui sang ibu yang saat ini duduk di bangku taman samping rumah besar itu. Asih akan pulang hari ini. Dan setelah itu, Sasti akan menghadapi keluarga Adyatama seorang diri.
Prasta bangkit dan melihat ke balkon. Pada taman yang ada di samping rumah, Sasti tampak bermanja dengan sang ibu. Prasta tak tahu, tapi ia merasa sangat iri melihat kedekatan mereka. Alih-alih karena ia hanya bisa merasakan kasih sayang sang ibu sebentar saja.
*
Hans menyadari sesuatu ketika melihat Prima. Anak sulungnya itu memang tidak terlihat cemburu kepada sang adik. Namun, ia tak tahu apa yang ada di hati pria itu sebenarnya.
Pada malam Prasta dan Prima pergi, ia tahu sesuatu akan terjadi. Namun, Hans tidak mau membukanya kepada siapa pun. Jadi, ia masih menyimpan sesuatu itu sampai nanti semuanya terbuka.
Pria itu kemudian beranjak dari duduk. Nyeri kepalanya belum reda sejak semalam. Jadi, ia mengurut kening sembari kembali ke kamar. Namun, baru saja ia membuka pintu ruang kerjanya, Hans sudah tidak bisa menahannya. Pria itu hampir terjatuh ketika tiba-tiba Sasti langsung membantunya agar tidak jatuh.
"Pak, Bapak enggak apa-apa?" tanya Sasti.
Gadis itu membantu Hans berdiri tegak dan memapahnya untuk duduk di bangku sebelah pintu.
"Bapak enggak apa-apa? Mau Sasti ambilkan minum?" tanya gadis itu sedikit panik.
"Tidak. Antar saja aku ke kamar. Obatku ada di sana," kata Hans.
Gadis itu pun manut. Gegas ia memapah sang mertua untuk kembali ke kamarnya. Sasti membantu Hans berbaring dan mengambilkan obat yang ada di nakas sebelah ranjang. Ia juga membantu pria itu mengambil minum dan menata selimutnya.
"Bapak istirahat, ya," katanya.
"Terima kasih. Apa ... Prasta bersikap baik kepadamu?" tanya Hans.
Walau pria itu sangat acuh, tapi tak mungkin Sasti mengatakan semuanya.
"Iya, Pak. Prasta baik, kok."
Hans mengangguk. Pria itu tersenyum kemudian terlelap tak lama kemudian. Sementara tanpa disadari oleh Sasti, Prasta memperhatikan gadis itu dan sang papa sejak lama. Pintu yang tidak tertutup sempurna menjadi akses Prasta melihat semua kejadian tadi.
"Jadi, apa dia benar-benar tulus?" bisik pria itu.