A Sweet Thing Called Love And It Gone

1122 Words
"Tam ... Sepertinya rencana hari ini kita tunda ya, aku masih di rumah om Doni. Kami masih membicarakan hal-hal tentang rencana investasi dia di perusahaanku. Aku minta maaf, sayang, aku janji. Besok kita akan cek semua persiapan pernikahan kita." Thamara yang sudah kesal sampai ke ubun-ubun tidak bisa lagi bicara apapun. Hanya desahan napas panjang.  "Oke." Dia menjawab dengan malas, sebenarnya dia ingin membatalkan semuanya, sekaligus dengan pernikahannya. Dia muak, Nathan tidak sedikitpun peduli dengan pernikahan ini. Rencana hari itu gagal total. Food testing gagal, fitting baju di penjahit pun gagal, dan cek gedung untuk resepsi gagal. Dia sudah tau hal ini bakal terjadi. Dia tidak pernah melarang Nathan mengurus hal-hal yang berhubungan dengan perusahaannya. Hanya saja ... Pernikahan yang tinggal 3 bulan ini. Dan jarak yang memisahkan mereka. Membuat Thamara lelah. Lelah akan sikap Nathan juga lelah akan keadaannya. Sesaat dia merenung, sudah benarkah keputusanku menikah? Sudah tepatkah keputusan kami untuk menikah dan saling mengikat janji? Menghabiskan waktu sampai maut memisahkan, berdua dengan Nathan. "Halo, Yo ... Lu di mana?? Jemput gue donk di Sheraton. Eh ... Ajak Farhan sekalian ya. Gw lagi food testing nih. Cuma sendirian. Sayang kalo gak dihabisin, karena gak bakal juga gue sanggup ngabisin segini banyak makanan." Yang di seberang terkekeh. "Lu kan mau nikahnya sama Nathan. Lah ... Kenapa gue sama Farhan yang lu ajak food testing?" Thamara meradang. "Udahlah ... Lu mau gak? Kalo gk mau juga gak apa-apa. Jangan malah ngeledek, deh. Betingkah jadi orang, nayah rasan, Niku, Yo!” Sadar akan emosi Thamara yang sedang tidak bagus untuk di ajak bercanda. Gio segera mengiykan ajakannya. “Iya ... Iya ... Gitu aj marah. Santai geh. Gue meluncur kesana sekarang." Dan begitulah. Hari itu, hari di mana Thamara sudah menjadwalkan semua perihal pernikahan yang berujung pada Tham yang akhirnya menghabiskan dengan kedua lelaki, Gio dan Farhan. Selesai dari Sheraton mereka menuju Novotel, Center stage. Tempat pelarian terbaik untuk meluruhkan semua amarah Thamara. Sudah lama sekali Thamara tidak melakukan ini, itu karena atas permintaan Nathan. Tapi kali ini. Thamara sudah tidak perduli. Alkohol selalu jadi teman terbaik dan pelarian terbaik, buat apa juga dia mendengarkan semua permintaan Nathan? Toh perihal pernikahan yang sebegini krusialnya saja, Nathan gak peduli. "Perse*t*n dengan Nathan. Masa bodo sama persiapan pernikahan, makan tuh nikah. Sudah cukup aku bersabar dan mengalah." * Jam 20.30 Sudah satu jam Nathan mencoba menghubungi hp Thamara. WA tidak di read,  Line pending. Nathan khawatir Thamara kenapa-kenapa. Nathan mondar-mandir di ruang tamu. Mamak yang tau permasalahan ini, mencoba mengajak Nathan berbicara, sekedar menghalau gelisahnya, "Sudah ada kabar dari Thamara, nak?" Nathan yang ditanya menghela napas panjang, berat banget bebannya, kenapa Tham berulah, di saat seperti ini "Belum mak. Dari tadi aku coba hubungi, tidak ada satupun nomornya yang bisa di hubungi, aku khawatir, Mak." Nada cemas tidak dapat di sembunyukan oleh Nathan. "Istirahatlah, Nak. Coba kau cari dan hubungi lagi dia besok. Mungkin dia butuh waktu sendiri." Mau tidak mau, Nathan menyerah, dia merasa seperti ini toh tidak akan menghasilkan apa-apa. Akhirnya Nathan mengangguk, menuruti omongan dan menyetujui usul mamak. Karena mau dipaksa pun tidak bisa. Nathan masuk ke kamarnya dengan perasaan risau. Sudah 4 hari ini Nathan kehilangan jejak Thamara, keluarganya pun bingung kemana Thamara pergi. Nathan sudah coba hubungi semua teman-teman Thamara, tapi tidak ada satupun yang tau. Mamak yang paham kegelisahan Nathan, mencoba menghiburnya. "Hari ini kita buka puasa di luar ya nak. Mamak kangen makan mie ayam. Kamu masih inget kan mie goreng favoritmu dan Bapak?" Seketika wajah Nathan menampakkan senyum, walau sebenarnya, jauh di lubuk hati, Nathan masih belum bisa tenang, dia sudah membuat laporan ke polisi, siang tadi. Karena usahanya sia-sia dan sudah mentok. Entah bagaimana, mamak selalu tau apa yang ia rasakan. Bahkan pernah sekali waktu, ketika Nathan masih SD, mamak tau kalau anaknya tidak jajan, karena uang jajannya dipalak kakak kelas, “Yuk … makan siang, mamak tau kamu gak jajan hari ini, kan? Besok kita ke sekolahmu, biar mamak tegur kakak kelas yang memaksa meminta uang jajanmu, ya.” Padahal, Nathan tidak pernah menceritakan apapun, tapi mamak tau. Buka puasa di luar, bukan ide yang buruk, "Inget donk mak. Di mie ayam Lorong yang di depan RS Bumi Waras Gotong Royong, kan?" Setelah janji akan pulang lebih cepat, Nathan memacu mobilnya menuju rumah om Doni. Di sana dia sudah janji akan bertemu dengan beberapa teman om Doni yang juga mau ikut tanam saham di perusahaannya yang merupakan cikal bakal MO Corp. Banyak hal yang harus dia korbankan demi mendirikan perusahaan impiannya, meskipun pernikahannya diambang kegagalan, Nathan masih berpikir positif, dan mencurahkan semua pemikirannya serta tenaganya ke perusahaan rintisannya itu. Pikiran tentang Thamara dan pernikahan agak sedikit teralihkan, pekerjaan memang pelampiasan terbaik saat sedang gelisah. Maka jadilah hari itu, Om Doni dan ke empat temannya deal tentang berapa jumlah saham yang akan mereka tanam. Dan berapa keuntungan serta apa saja kerugian-kerugian yang akan mereka hadapi saat pembangunan perusahaan di tempat Nathan. Masa depan seakan tergambar indah di matanya, kelebatan-kelebatan rangkaian pernikahan, memiliki anak-anak yang banyak, dan menghabiskan waktu bersama mamak juga Thamara tergambar jelas, tidak putus doanya, apa yang direncanakan berjalan lancar. Tepat jam 4 sore. Nathan sudah sampai rumah, dilihatnya mamak sudah duduk di teras depan. "Antasari sekarang kalo sore macet banget ya, mak. Udah macem Jakarta aja, jalan dari rumah om Doni tadi jam setengah 3. Sampai rumah jam 4." Mamak mengiyakan, mengangguk tanda sepakat pada apa yang diucapkan Nathan barusan. "Perkembangan Lampung memang lumayan pesat sekarang, nak. Jadi, kita buka puasa di luar? Kamu mau mandi dulu atau kita langsung jalan sekarang?" Nathan mengangguk, bagaimana dia bisa melewatkan waktu berdua dengan mamak, “Aku mandi sebentar ya mak. Gerah." Maka pukul 5 sore tepat mereka meluncur ke warung mie ayam yang sudah mereka bicarakan tadi pagi. Menyusuri jalan-jalan tengah kota yang ramai, Nathan serasa memutar kembai memorinya saat kecil. Di Bandar Lampung inilah Nathan di lahirkan. Bapak dan mamak pun bertemu, berkenalan dan menikah di sini. "Mas Yon. Mi ayam 1 tanpa bakso dan mie goreng tanpa sayuran ya 1. Minumnya es jeruk 2." Mas Yon yang sudah jadi langganan, mengangguk, sudah paham kebiasaan si mamak, jika makan di sana, "Sip, bu. Ditunggu ya." Warung itu sudah 20 tahun lebih berdiri. Kata si empunya warung. Awal mula warung ini dulu di depan Chandra Dept. Store Karang. Mie goreng dan es jeruk tidak pernah gagal membuatnya lahap makan. Setelah selesai makan, Nathan dan mamak mampir shalat di masjid al-Furqon, tidak jauh dari warung mie tadi. Mereka memutuskan untuk sekalian menunggu dan shalat isya di sana. Keluar dari masjid. Nathan menangkap pemandangan yang unik. Di sekitar masjid terdapat warung-warung tenda. Banyak sekali jajanan dan makanan yang di jajakan di sana. Akhirnya mamak dan Nathan memutuskan untuk "kencan”. Dan tepat jam 10 malam. Mereka pulang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD