Eps. 22. Mencari Pekerjaan

1690 Words
Malam berlalu sangat cepat dan kini hari pun berganti fajar. Surya tampak enggan menampakkan diri dan asyik bersembunyi di balik awan hitam yang masih menyelimuti langit desa. Butiran-butiran air hujan pun masih terus berjatuhan, meski hanya sisa gerimis kecil saja. Di dalam ruang tamu rumah sederhana yang ditempati Danu dan Sukma, terlihat pasangan itu tengah duduk berdua. Kedua netra Sukma basah dan isak tangis terdengar mengiringi percakapan mereka pagi itu. "Kalau bendungan itu tidak segera diperbaiki, kebun akan terus tergenang air dan bagaimana dengan nasib kita, Bang?" Sukma membenamkan kepalanya di d**a sang suami, sambil menyampaikan segala kegundahan hatinya. Mendengar berita bahwa warga belum mampu memperbaiki bendungan, membuat dia samgat khawatir akan kelangsungan hidup mereka yang hanya bergantung dari hasil kebun saja. Dengan kondisi lahan perkebunan yang terendam air, sudah pasti sumber mata pencaharian mereka tidak akan ada lagi. "Sabarlah, Sayang! Aparat desa sudah melapor ke pemerintah daerah, semoga saja bendungan itu cepat mendapat perhatian instansi terkait." Danu memeluk dan mengusap lembut punggung istrinya untuk sekedar untuk menghibur. Padahal, sejatinya dia sendiri juga tengah merasakan kegelisahan yang sama. "Tapi semua itu butuh waktu lama, Bang. Pengerjaan bendungan itu memakan waktu yang tidak cukup hanya sebentar. Dan selama itu, kita tidak tahu harus mencari nafkah dari mana? Semua tanaman sayur mati tergenang air dan ternak-ternak kita juga sudah hilang, hanyut terbawa air." "Bukan hanya kita yang menderita kerugian akibat jebolnya bendungan itu, Sayang. Warga lain juga mengeluhkan hal yang sama." Danu tetap berusaha tenang menanggapi kegalauan istrinya. "Justru karena itu, Bang. Kita tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan serta penghasilan lain di desa ini. Semua orang pasti akan mendapat kesulitan." Sukma beum bisa merasa tenang. "Aku tidak tahu bagaimana kita akan bisa mendapat uang untuk makan sehari-hari. Hidup kita pasti akan sangat kesusahan," keluhnya diiringi isak tangis yang setia mengiringi. Dengan lembut Danu memegang kedua pundak sang istri, serta berucap, "Sayang ... tenanglah! Dengarkan aku ... " Untuk sesaat, Danu menatap lekat kedua mata Sukma. "Aku adalah suami sekaligus kepala keluarga di sini. Jadi ... semua kebutuhan hidup kita adalah tanggung jawabku. Bagaimana pun caranya, aku pasti akan mengusahakan untuk bisa mencari nafkah. Aku tidak akan membiarkan kamu sampai kelaparan, Sayang," terang Danu menampik kekhawatiran istrinya. "Memangnya apa yang bisa Abang lakukan?" Sukma menunduk ragu. "Selama kita mau berusaha, Tuhan tidak akan menutup pintu rezeki untuk kita, Sayang." Danu tersenyum sambil mengusap air mata di pipi wanita yang sangat dicintainya itu. "Kalau di desa ini sudah tidak ada lagi lapangan pekerjaan, aku akan berusaha mencari rupiah di desa lain. Aku juga tidak peduli, pekerjaan apapun ... selama itu halal, pasti akan aku kerjakan." "Iya, Bang." Sukma ikut mengulas senyum dan mengangguk paham. Dia sangat yakin, Danu adalah pria yang bertanggung jawab. Sudah pasti dia tidak akan hanya berdiam diri, di saat mereka sedang dalam kesusahan. Pagi nan dingin dan semula masih gelap diselimuti mendung serta hujan gerimis, perlahan mulai sedikit terang. Menjelang siang, kabut mulai naik dan meski masih malu-malu, sang mentari mulai menunjukkan sedikit pancaran sinarnya. "Ku rasa hari ini cukup cerah. Aku akan pergi ke desa sebelah untuk mencari pekerjaan." Danu tampak sudah siap dengan hoodie serta penutup wajahnya. Mengetahui hari itu hujan sudah tidak turun lagi, dia tak ingin menunda waktu untuk mencoba peruntungan di desa lain. "Iya, Bang Danu hati-hati, ya! Ini bekal untuk makan siang Abang." Sukma mengantar Danu hingga dia sudah duduk di atas motornya, seraya menyerahkan sebuah rantang berisi bekal makan siang. "Terima kasih, Sayang." Danu mengusap kepala Sukma serta mengecup keningnya. "Ingat! Jangan pulang terlalu sore," pesan Sukma. "Aku akan selalu berdoa, semoga Abang bisa segera mendapat pekerjaan." Sukma meraih tangan Danu, lalu mencium punggung tangan suaminya itu. "Iya, aku berangkat dulu, sebelum hari semakin siang." Danu melambaikan tangan dan bergegas memacu motornya, meninggalkan Sukma sendiri di rumah. Sukma ikut melambaikan tangan, sambil mengucap doa dalam hati, "Tuhan ... tolong lindungi suamiku. Semoga dia bisa mendapat rezeki hari ini." Danu terus melaju melewati jalan-jalan setapak yang masih basah di desa itu. Meski tidak punya tujuan yang pasti, tetapi dia tetap berniat menuju desa sebelah. Dia sangat yakin, desa-desa yang juga memiliki lahan sayur dan tidak terdampak luapan air danau, pasti bisa memberinya sebuah pekerjaan. Di tengah perjalanan, Danu menghentikan motornya di sisi sebuah kebun sayur yang cukup luas. Dia tersenyum, tatkala melihat beberapa orang tengah sibuk memanen hasil kebun. "Aku akan coba mencari pekerjaan di sini. Mudah-mudahan pemilik lahan sedang butuh pekerja harian." Danu menggumam penuh keyakinan, sambil berjalan menghampiri salah seorang pekerja di sana. "Permisi, Pak. Apa di sini masih membutuhkan pekerja?" Danu bertanya sopan, kepada seorang pria paruh baya yang tengah sibuk mengikat bawang merah hasil panennya. Sejenak pria itu menghentikan pekerjaanya dan menoleh ke arah Danu. "Apa kamu datang dari desa sebelah?" tanyanya sambil memperhatikan penampilan Danu dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Iya, benar, Pak." Danu mengangguk. "Semenjak tadi pagi, sudah ada beberapa orang dari desamu yang mencari pekerjaan kemari. Kami juga tahu kalau di desa kalian sedang terjadi musibah. Tapi, mohon maaf, karena kami disini sedang tidak butuh pekerja lagi, jadi kami tidak bisa memberimu pekerjaan." Pria paruh baya itu hanya menggeleng dan kembali melanjutkan pekerjaannya, tanpa memedulikan Danu. Danu hanya bisa menghela napas dalam dan mengangguk pasrah. Dia sadar bahwa hampir semua warga, petani sayur di desanya sedang mencari pekerjaan lain, sama seperti dirinya. Di saat seperti itu, orang-orang pasti tengah berlomba mendapat pekerjaan lain dan tentu itu akan mempersempit ruang untuknya bisa mendapat pekerjaan yang dia cari. Akan tetapi, Danu tak lantas berputus asa. Tanpa menunda waktu dia kembali memacu motornya, berhenti di setiap kebun dan bertanya hal yang sama. Beberapa kali berkeliling dan bertanya, tetap tidak mudah bagi Danu mendapat pekerjaan. Hampir setiap kebun yang dia singgahi, mengaku sedang tidak membutuhkan pekerja, bahkan hingga kini dia sudah sampai cukup jauh dari desa tempat tinggalnya. Matahari sudah cukup terik ketika itu. Dengan gontai, Danu tetap memacu motornya perlahan, meski pikirannya mulai sedikit kacau, cemas apabila tidak bisa menmemperoleh hasil apapun hari itu. "Bagaimana kalau hari ini aku tidak dapat pekerjaan? Apa yang harus aku katakan kepada Sukma?" Dalam hati Danu menggerutu sendiri. Ternyata mencari pekerjaan di desa itu tidak semudah yang dia pikirkan. "Perutku lapar ... sebaiknya aku beristirahat dan makan siang dulu. Setelah itu aku akan ke desa sebelah. Mudah-mudahan di sana aku bisa mendapat pekerjaan." Danu menepikan motornya ke sisi jalan dan berteduh di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Tak kuasa menahan lapar, Danu segera membuka rantang makan siang yang dipersiapkan Sukma untuknya dan dengan sangat lahap dia menghabiskan makanan itu. Meski hanya nasi putih dengan sayur seadanya, tetapi masakan Sukma memang selalu terasa nikmat di lidahnya. "Perutku sudah kenyang sekarang." Danu mengusap perutnya yang sudah cukup asupan makanan, serta meneguk air dari botol air mineral yang dia bawa. "Aku akan cari pekerjaan lagi. Sebelum aku mendapatkan uang, aku tidak akan pulang." Danu merapikan rantang makan siangnya dan kembali menggantungnya di motor. Ketika dia hendak menyalakan motornya, dari arah berlawanan tiba-tiba sebuah mobil bak terbuka pembawa pasir, berhenti mendadak tepat di depan posisi ia berada dan seorang pria pengendara mobil tampak turun dengan tergesa dari mobil tersebut. Asap tipis juga terlihat mengepul dari mesin mobilnya. "Sepertinya mobil itu mengalami overheat," gumam Danu. Entah mengapa, hanya melihat kejadian itu saja, dia sudah langsung bisa menebak permasalahan yang dialami mobil di hadapannya. Tanpa sadar, sejenak Danu berdiam diri dan memperhatikan sopir mobil yang mulai terlihat panik dan wajahnya menyiratkan kebingungan. Kendati dia sudah terlihat mengecek mesin mobilnya, tetapi mobil itu tidak bisa dinyalakan. Kaki Danu bergerak begitu saja turun dari motornya dan mendekat ke arah mobil. Tidak tega melihat sopir yang kebingungan, hatinya juga tergerak ingin membantu. "Ada apa dengan mobilnya, Bang?" Danu bertanya kepada sopir yang tangannya sudah terlihat penuh noda oli. Beberapa kali dia memeriksa mesin mobil, tetapi dia tidak menemukan di mana letak kerusakannya. "Nggak tahu nih, tiba-tiba saja mogok. Maklum penyakit mobil tua, ya ... begini!" Pria sopir pick up itu menjawab dengan nada bersungut kesal. Namun, tatapannya menyiratkan kekhawatiran, merasa tidak bisa memperbaiki mobilnya. "Sepertinya mobil ini overheat, Bang. Boleh aku coba cek?" Danu tak ragu menawarkan bantuan. "Oh ya, silakan!" Pria itu tersenyum tanpa rasa curiga dan tidak menolak tawaran bantuan dari Danu. "Air radiatornya kering, Bang. Apa Abang bawa air cadangan? Kalau radiator tidak diisi, mesin mobil tetap tidak akan bisa dinyalakan." Setelah sesaat memeriksa mesin mobil itu, Danu dengan mudah menemukan letak permasalahannya. "Oh, ada! Aku bawa dua botol air mineral ukuran besar. Ku rasa itu cukup untuk mengisi radiator." Pria itu menjentikkan jari sambil bergegas mengambil dua buah botol air mineral berukuran besar dan memberikannya kepada Danu. Kedua tangan Danu bergerak cepat dan dengan sangat cekatan mengisi radiator, sehingga hanya dalam beberapa menit, mobil itu bisa menyala normal lagi. "Terima kasih banyak, Bang. Untung ada kamu. Kalau tidak, aku pasti terlambat mengirim pasir ini ke desa sebelah." Pria itu mencakupkan tangan di d**a dan sangat berterima kasih atas bantuan Danu. "Sama-sama, Bang." Danu hanya menanggapi dengan sebuah senyum. "Sepertinya kamu bukan dari desa ini, ya? Kalau boleh tahu, kamu dari mana dan mau kemana?" Pria itu tak langsung masuk ke mobilnya, melainkan dia justru terlihat memperhatikan Danu. "Iya, Bang. Aku dari desa sebelah. Aku kesini sedang mencari pekerjaan. Maklumlah, desaku sedang dilanda musibah dan kebun yang kami garap terendam luapan air danau." Danu bercerita. Pria itu mengangguk. Tentu dia juga mendengar berita tentang musibah yang terjadi di desa tetangganya. Dia juga tahu, semua orang di desa itu kini tengah berusaha mencari pekerjaan alternatif. "Kalau kamu belum dapat pekerjaan, apa kamu mau bekerja di tempatku? Kebetulan di dekat pasar sedang ada pembangunan ruko dan kami butuh pekerja harian. Kalau kamu mau, hari ini kamu bisa bekerja disana." "Tentu saja aku mau, Bang." Danu menganggukan kepala. Pria itu terlihat serius dengan tawarannya dan tentu, kesempatan itu tidak ingin Danu sia-siakan begitu saja. "Kalau begitu, sekarang ikuti aku! Nanti aku yang akan bicara sama mandor, agar ikut mempekerjakan kamu di proyek kami," ujar pria itu juga dengan senyum senang. Selain merasa berhutang budi karena Danu sudah membantu menyalakan lagi mesin mobilnya, dia juga memang sedang membutuhkan beberapa pekerja tambahan untuk proyeknya. "Baik, Bang," sahut Danu seraya tersenyum sumringah. Bertemu pria itu, mengantarkan dia mendapat pekerjaan, tanpa perlu berkeliling lagi mencarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD