Malam telah jatuh, membawa kesunyian yang hanya terpecah oleh deru napas Devan. Ia berdiri di depan jendela besar, memandang langit malam yang gelap tanpa bintang. Hanya lampu-lampu kota yang terlihat di kejauhan, tetapi pikirannya berada jauh dari sana. Di tangannya, ponsel itu digenggam erat, seolah jika ia melepasnya, seluruh emosinya akan terlepas tanpa kendali. Suara Raisa, ibunya, masih terdengar di seberang telepon, namun itu tidak cukup untuk meredakan gejolak di hatinya. "Ma, kenapa Mama memberikan kalung Regina kepada Eve?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan kemarahan yang terpendam. Raisa, yang selalu tenang, menjawab dengan lembut, "Nak, sudah waktunya kamu melupakan Regina." Devan mengepalkan tangannya lebih erat, otot-otot di rahangnya menegang. Bagaiman