14. Tubuh dan hidupnya adalah hak paten Devan

1172 Words
"Bawa dengan baik-baik. Ini semua mahal." Eve hanya bisa terdiam dan pasrah saat Ana memberikan paper bag untuk dibawanya. Ternyata, Devan tak benar-benar menghiburnya seperti yang diharapkan. Sebaliknya, ia justru menjadikannya sebagai pembantu untuk membawa belanjaan Ana. Eve merasa semakin tertekan, merasa seperti tidak ada tempat di antara hubungan yang penuh permainan ini. Eve menatap Devan dengan tatapan kosong saat suaminya berbicara. "Aku yakin, pasti kamu kegirangan saat aku mengatakan ingin mengajakmu belanja," kata Devan, mencoba menggoda. Ia hanya terdiam, tidak merespons. Devan melanjutkan dengan nada yang lebih serius, "Ingat Eve, itu tidak akan mungkin." Ana tertawa sinis di samping Devan, "Kamu itu memang pantas jadi babu kita," katanya, seolah mengejek Eve. Eve hanya menunduk, menahan rasa perih di hatinya. Kata-kata Ana menusuk, tapi ia tahu tidak ada gunanya membalas atau berdebat. Devan, meskipun ada di sana, tak sedikit pun membela atau memberikan simpati. Eve hanya bisa menerima semuanya dalam diam, mencoba mengendalikan emosinya. "Sebaiknya, kita tidak perlu mementingkan dia, bagaimana kalau kita cari makan saja?" tawar Devan, Ana mengangguk. "Dan kamu Eve, silahkan tunggu di mobil." Perintah suaminya, Eve tidak punya pilihan lain, ia mengangguk dan berusaha mengatur belanjaan yang di bawanya dengan kesusahan. "Maaf apa kamu perlu bantuan?" suara tenang itu mengintrupsi kesibukan Eve. Ia mendongak, menatap pria tampan dengan wajah teduh yang berdiri di depannya. Suara tenang itu begitu kontras dengan suasana hatinya yang kacau. Pria tersebut tersenyum ramah, menunggu jawabannya. "Emm… jika kamu tidak keberatan," jawab Eve ragu-ragu, sedikit terkejut dengan tawaran yang begitu tiba-tiba dan sikap sopan pria itu. "Tentu saja, senang bisa membantu," jawabnya sambil dengan cekatan mengambil beberapa tas belanjaan dari tangan Eve. Meskipun bingung, Eve merasa sedikit lega. "Terima kasih banyak, aku benar-benar kesulitan tadi," katanya dengan suara rendah. "Apa ini semua belanjanmu?"Eve menggeleng. "Tidak ini punya temanku." terangnya tak ingin mengatakan yang sejujurnya, Eve hanya tak ingin pria itu merasa kasihan Pria itu mengangguk, meski ekspresinya menunjukkan sedikit kebingungan. "Oh, begitu. Sepertinya temanmu sangat mempercayakan banyak hal padamu," katanya, mencoba untuk tidak terlalu banyak bertanya. Eve tersenyum tipis, "Ya, begitulah." Dia merasa aneh berbicara dengan seseorang yang tidak dikenalnya namun begitu ramah. Ada kehangatan yang membuat Eve merasa nyaman, meski situasinya jauh dari nyaman. "Aku bisa bantu sampai ke mobilmu kalau kamu mau," tawar pria itu lagi. Eve ragu sejenak sebelum mengangguk, "Terima kasih, aku tidak bisa menolak tawaran yang begitu baik." Setelah sampai di mobil, Eve dengan hati-hati menaruh belanjaan di kursi belakang. Dengan senyum lembut, dia berkata, "Terima kasih banyak atas bantuannya." Pria tersebut tersenyum ramah. "Tidak masalah, senang bisa membantu. Oh ya, aku sampai lupa memperkenalkan diri, namaku Bima." Eve terdiam sejenak, merasa aneh karena baru bertemu dengan seseorang yang begitu baik. "Aku Eve," jawabnya dengan suara pelan, meski sedikit gugup. Bima mengangguk, masih dengan senyum ramahnya. "Senang berkenalan denganmu, Eve. Semoga sisa harimu berjalan lebih baik." Eve tersenyum kecil, meski dalam hatinya masih ada kegelisahan. "Terima kasih, Bima." Bima tak bisa mengalihkan pandangannya dari Eve. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik pada gadis berambut panjang itu. Saat kesempatan datang, Bima memberanikan diri meminta nomor ponsel Eve. "Apakah aku boleh meminta nomor ponsel mu? Siapa tahu kita bisa menjadi teman?" Eve terlihat ragu sejenak, namun akhirnya ia mengangguk. Dengan tangan gemetar, Eve merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah ponsel jadul. Bima tertegun. Di zaman serba canggih ini, masih ada gadis secantik Eve yang menggunakan ponsel jadul? Kejutan Bima tak berhenti sampai di situ. Saat Eve memberikan nomornya, Bima melihat tombol-tombol besar dan layar kecil pada ponsel itu. Ia tersenyum kecil. Mungkin inilah yang membuat Eve begitu menarik: keunikannya. "Mungkin terlihat aneh ya? Di kota sebesar ini masih ada seseorang yang memakai ponsel seperti ku." Eve meringis "Tidak sama sekali! Setiap orang punya preferensi yang berbeda. Yang penting kamu nyaman dengan pilihanmu." "Sebenarnya ini bukan pilihan, melainkan di desa kebanyakan orang-orang memakai ponsel seperti ini." "Kamu dari desa?" tanya Bima seolah tak percaya, Eve mengangguk. "Apa kamu bersama keluargamu disini?" tanya Bima lagi, Eve hanya mengangguk tak ingin menjelaskan terlalu detail. "Baiklah, kalau begitu kapan-kapan aku akan mengajakmu keliling kota. Banyak hal yang perlu kamu ketahui disini," kata Bima antusias. Eve tersenyum tipis, namun ada keraguan yang terpancar dari matanya. Mereka baru saja berkenalan beberapa jam yang lalu, dan Bima sudah mengajaknya untuk berkencan. Meski begitu, ada ketulusan dalam nada suara Bima yang membuatnya merasa nyaman. "Ya, kapan-kapan aku akan menerima tawaranmu." jawab Eve. Bima tersenyum, "Aku pergi dulu, masih banyak pekerjaan yang belum aku selesaikan." katanya sebelum benar-benar meninggalkan Eve. Perempuan itu mengangguk dan melambaikan tangan tanda perpisahan. Eve menghela napas panjang. "Andai saja Devan seperti Bima, kemungkinan aku selalu betah bersama pria itu." lirihnya dalam kenyataan. Perempuan mana yang tak merasa nyaman berada di dekat pria yang ramah, tenang dan sopan seperti Bima. Baru saja pertama kali bertemu Eve bisa menilai bahwa Bima adalah pria yang baik. "Aku berharap, suatu saat Devan bisa berubah menjadi pria yang manis dan lembut. " doanya penuh harap. Tiba-tiba saja ponsel jadul Eve berdering, memecah keheningan di area parkir bawah tanah. Ternyata panggilan masuk dari kedua orang tuanya di desa. Eve merasa senang juga sedih, karena merindukan mereka setelah satu Minggu berpisah. Cahaya remang-remang lampu parkir bawah tanah menerpa wajah Eve. Ia mengusap layar ponsel jadulnya yang berdering nyaring, memecah kesunyian di sekelilingnya. Dengan senyum tipis, Eve menerima panggilan itu. "Hallo?" Eve berusaha menyembunyikan tangisnya. "Bagaimana kabar mu nak?" suara lembut itu yang Eve rindukan. "Baik Bu, Eve baik-baik saja." "Syukurlah. Dimana suami mu?" tanya Feli, Eve terdiam untuk beberapa saat. "Ada sedang mencari makanan, sekarang aku ada di parkiran pusat perbelanjaan ibu." "Wah, suami mu baik sekali ya nak." Feli merasa sedikit lega. tetapi Eve, matanya berkaca-kaca menyembunyikan kesedihan. Andai saja ibu dan bapaknya tahu, bahwa di kota anak perempuannya di perlakukan tak baik oleh suaminya sendiri. Tapi, lagi-lagi Eve tidak ingin membuat kedua orang tuanya sedih. Hanya ini yang bisa Eve lakukan. "Iya Bu, Devan adalah pria yang baik dan bertanggung jawab. Seperti ibu dan bapak katakan." "Syukurlah." "Ibu, dimana bapak?" tanya Eve. "Bapakmu sedang menjual ikan di pasar." "Menjual ikan?" Feli bergumam di sebrang sana. "Bukankah, tabungan kita masih banyak Bu? Dan uang mahar sebagian di belikan tanah untuk bapak bisa menanami sayuran ataupun padi?" "Iya nak, kamu jangan khawatir. Bapakmu hanya ingin saja menjual hasil tangkapannya, karena katanya sudah bosan makan ikan setiap hari." Eve merasa lega, sungguh ia rela berkorban apapun untuk kedua orang tuanya. Meski harus diperlakukan tak baik oleh Devan, asalkan kedua orang tuanya merasa hidup enak dan nyaman, tidak kesulitan seperti dulu dan dihina oleh tetangga. "Nak, kamu kapan kesini bersama Devan?" pertanyaan itu menusuk ulu hatinya. Bukan karena tak rindu, melainkan sulitnya untuk membuat kesepakatan bersama suaminya. Segala hal tentang Eve, tubuh dan diri Eve adalah hak paten suaminya. Ya, karena pria itu telah merasa membeli dirinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menerima takdir ini. "Nanti, Eve tanyakan pada Devan ya Bu? Dia masih sibuk dengan pekerjaannya." "Iya nak, bapakmu sudah sangat rindu denganmu." Eve bergumam, "Baik Bu, sampaikan salamku pada bapak. Kalau begitu sudah dulu ya." Eve mematikan panggilan tersebut, meluapkan segala kesedihannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD