Dari balik jendela kamar, Devan memperhatikan keakraban antara mamanya dan Eve. Mereka tampak begitu harmonis, seperti seorang ibu dan anak yang sudah lama saling mengenal. Ada tawa ringan yang sesekali terdengar, sesuatu yang terasa hangat dan asing bagi Devan.
Tak sadar, senyuman tipis terukir di bibirnya—sesuatu yang bahkan sangat jarang terjadi. Hatinya terasa sedikit lebih ringan melihat bagaimana Eve bisa diterima dan akrab dengan Raisa.
"Ya Tuhan," gumam Devan pelan, nyaris tak percaya bahwa ia bisa tersenyum, bahkan hanya sesaat, di tengah hubungan rumit yang dijalaninya dengan Eve.
Namun, senyum itu segera menghilang, kembali tertutup oleh dinding dingin yang selama ini ia bangun. Devan berusaha mengabaikan perasaan hangat itu, tapi dalam hati kecilnya, ia tahu ada sesuatu yang mulai berubah.
"Ingat, Devan," gumamnya pelan, memandangi pantulan dirinya di cermin. "Orang-orang seperti Eve hanya memanfaatkan orang kaya sepertimu."
Devan berusaha meyakinkan dirinya sendiri, seolah perasaan apapun yang mulai muncul dalam hatinya hanyalah kelemahan yang harus ditepis. Kilasan senyum Eve dan tatapan tulusnya tadi sempat mengganggu pikirannya, tapi ia tidak ingin mempercayainya begitu saja.
"Jangan terbawa suasana," Devan menegur dirinya sendiri. "Kau tahu alasan pernikahan ini, dan itu bukan tentang cinta."
Namun, semakin ia mencoba menepis, semakin kuat rasa ragu yang menyelinap dalam hatinya. Ada sesuatu tentang Eve yang membuat dinding emosionalnya terasa rapuh.
Tentang Eve yang masih bersikap sabar, dan baik menghadapinya. Namun, tentu saja Devan masih perlu curiga, apakah Eve juga sama dengan masalalunya?
"Tidak, hanya Ana yang mencintaiku dengan tulus."
"Permisi Tuan." bodyguard tiba-tiba mengintrupsi lamunannya. Devan berbalik dan menatap pria tersebut dengan tatapan dingin.
"Ada apa?"
"Semuanya sudah selesai."
"Kerja bagus. Apa kamu sudah pastikan mereka tidak akan menemui ku?"
"Pasti Tuan. Glen sudah musnah." kata bodyguard itu, Devan tersenyum puas. Merasa menang dan tak pernah kalah. Karena memang tak ada seorang pun yang dapat mengalahkannya.
"Sebagai hadiahnya," lanjut Devan sambil menyerahkan sebuah kartu emas, "pakai kartu ini dan belanjakan keluargamu. Nikmati hari ini."
Bodyguard itu menerima kartu tersebut dengan rasa hormat, tahu betul bahwa hadiah semacam ini bukanlah hal yang biasa dari Tuan Devan. Namun, dalam hati kecilnya, ia bertanya-tanya seberapa lama Devan bisa mempertahankan dominasinya di tengah banyaknya musuh tersembunyi yang menunggu celah untuk menyerang.
Sedikitpun, Ia tak akan membiarkan siapapun mengambil miliknya. Apalagi Eve, bukan uang sedikit yang Devan keluarkan untuk memindahkan Eve kerumahnya. Meski perempuan itu tidak ada gunanya, paling tidak orang tuanya merasa senang dengan pernikahan palsu ini.
"Kamu boleh pergi." kata Devan, bodyguard itu mengangguk dan meninggalkan Devan seorang diri.
"Sebentar lagi, berita itu akan muncul dan membuat geger kota ini."
Siang harinya, Raisa dan Eve asik menonton televisi yang ada di lantai dua rumah besar ini. Mereka asik berbincang-bincang, Devan yang datang dari arah dapur bersih langsung mengecup pipi istrinya.
Eve terkejut, tubuhnya kaku saat merasakan kecupan Devan di pipinya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons, apalagi di hadapan Raisa yang tersenyum penuh kebanggaan melihat anak dan menantunya begitu mesra.
"Sedang menonton apa, sayang?" tanya Devan dengan nada yang tampak manis, jauh dari sikap dingin biasanya. Eve merasa bingung, tak terbiasa dengan perhatian palsu itu.
"Sedang mencari berita terkini saja." jawab Raisa dengan senyum lebar. "Kalian berdua terlihat sangat serasi, Mama senang sekali melihat kalian seperti ini."
Eve hanya bisa mengangguk pelan, masih tak percaya dengan perubahan sikap Devan yang tiba-tiba. Devan sendiri, meskipun bermain peran dengan baik, dalam hatinya merasa muak harus bersandiwara di depan ibunya. Tapi ia tahu, ini harus dilakukan.
Berita yang disiarkan di televisi menarik perhatian Devan, Eve, dan Raisa. Devan yang awalnya duduk santai kini tampak sedikit terkejut, sementara Eve dan Raisa saling berpandangan dengan ekspresi khawatir.
"Selamat siang pemirsa. Kembali lagi bersama saya. Kami baru saja mendapat kabar mengejutkan terkait penemuan seorang pria yang tidak bernyawa di dalam kamar apartemennya."
"Lagi-lagi orang tewas." Gumam Devan.
"Identitas korban masih dalam proses penyelidikan, namun berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pria tersebut ditemukan dalam kondisi tergeletak di lantai kamarnya. Hingga saat ini, penyebab kematian korban masih belum diketahui secara pasti dan pihak kepolisian masih melakukan olah TKP untuk mengungkap misteri di balik kematian tragis ini."
"Kasihan sekali keluarganya." sahut Raisa.
"Ma, aku seperti mengenal pria itu!" pekik Eve saat melihat kartu identitas yang pihak kepolisian tunjukan oleh pemirsa.
Raisa nampak terkejut, tetapi Devan nampak acuh tak acuh.
"Ya, dia adalah Glen." Pekik Eve menutup mulutnya, matanya berkaca-kaca. Mengapa Glen bisa tewas di apartemen? Siapa yang membunuhnya?
"Saksi mata di lokasi kejadian mengungkapkan bahwa; tidak ada tanda-tanda kekerasan yang terlihat pada tubuh korban. Tim medis yang tiba di lokasi kejadian telah menyatakan korban meninggal dunia.
Pihak kepolisian telah membawa jenazah korban ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi guna mengetahui penyebab pasti kematian. Kami akan terus memantau perkembangan kasus ini dan memberikan informasi terbaru kepada Anda. Sekian laporan dari saya, kembali ke studio."
"Dia teman mu nak?" tanya Raisa memastikan, Eve mengangguk dengan wajah pucatnya dan penuh kesedihan.
"Apa Glen meninggal karena sakit asam lambungnya?" gumam Eve
"Apa dia memiliki riwayat asam lambung?" Tanya mertuanya, Eve mengangguk. Sejak mereka pacaran Eve tahu betul bahwa kekasihnya itu memiliki skait asam lambung yang sangat parah
Mertuanya itu lalu mendekat lagi, mencoba menenangkan Eve dengan mengelus-elus punggungnya. Karena hanya hal itu yang bisa membantu Eve lebih tenang.
"Kamu yang sabar ya, temanmu pasti tenang disana. Polisi akan segera mengatasinya." Tidak ada kalimat apapun yang mampu Eve ucapkan selain mengangguk. Di sebelahnya Devan tersenyum tipis, berita ini yang ia suka sebuah rasa sakit yang seharusnya diterima oleh orang-orang yang berani mengusiknya. Berita yang ia nanti-nanti dan akan membuat geger kota.
"Sudahlah sayang, kamu tidak perlu sedih dan cemas. Pihak polisi akan segera menanganinya. Jika memang teman mu itu karena di bunuh, pasti pelakunya akan segera tertangkap." Devan menarik istrinya dalam dekapan, mencoba berpura-pura menenangkan. Eve hanya pasrah, terus mengikuti sandiwara yang ada. Ia benar-benar tak peduli dengan sikap Devan di tengah perasaan kalutnya
Meski perasaannya masih diliputi dengan kesedihan dan kebingungan. Padahal baru satu Minggu yang lalu ia bertemu Glen kembali, setelah beberapa tahun mereka tak bertukar kabar. Sedih rasanya mendengar kabar seperti ini, padahal Eve sempat merasa senang punya teman untuknya lebih mudah mengenali kota ini.
"Glen, semoga kamu tenang disana." doa Eve dalam hati
"Untuk mengobati rasa sedihmu, aku akan mengajakmu berbelanja." Devan mencoba menghibur istrinya.
Eve dengan cepat menggeleng. "Tidak perlu, aku baik-baik saja." terangnya menolak, bagi Eve itu sangat berlebihan.
Raisa memandang Eve dengan lembut dan berkata, "Jangan menolak, nak. Suamimu memang sangat peduli padamu. Kadang kita perlu sedikit perhatian lebih di saat-saat seperti ini."
Eve menatap Devan yang terlihat serius dan peduli. Meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran, dia akhirnya mengangguk perlahan, setuju untuk ikut serta.