Bab 7.
Eve terbangun dengan jantung berdebar-debar saat suara keras Devan menggema di kamar mereka. Matanya yang masih mengantuk seketika membuka lebar, memandang suaminya dengan tatapan takut dan bingung. Devan berdiri di ambang pintu, wajahnya yang biasanya tenang kini penuh dengan kemarahan yang tak terbendung.
"Bangun!" Devan mengulang dengan nada lebih rendah, tapi tetap penuh tekanan. Eve segera duduk di tempat tidur, mengusap wajahnya untuk menghilangkan sisa-sisa kantuk. Dia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, namun rasa takut langsung mencengkeram hatinya.
"Apa kamu tidak sadar, kamu tidur dimana?"
"Maaf.., Aku pikir ini kamar kita."
Devan menatap Eve dengan dingin, matanya menyiratkan ketidaksabaran. Dia mendekat, langkahnya penuh dengan kemarahan yang ditahan. "Kamar kita?" Suaranya menegang, seolah mempertanyakan setiap kata yang keluar dari mulut Eve. "Jangan terlalu berkhayal, Eve. Ini kamarku, dan kamu tak punya hak untuk berada di sini tanpa seizinku."
Eve merasakan darahnya berdesir dingin, setiap kata yang keluar dari mulut Devan seperti pisau yang menusuk langsung ke hatinya. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya pelan, berusaha menjelaskan dengan suara yang bergetar. "Bibi yang menunjukkan kamar ini padaku. Aku pikir..."
Devan memotongnya dengan tajam, "Apa kau benar-benar berpikir bahwa kita akan tidur bersama? Dengar baik-baik, Eve. Aku menikahimu karena alasan yang jelas, tapi jangan pernah berharap lebih dari itu. Aku tidak akan tidur bersamamu kecuali aku menginginkannya. Kau hanya ada di sini untuk satu tujuan, dan itu bukanlah karena cinta atau kasih sayang."
Eve terdiam, merasa tubuhnya seolah membeku di tempat. Kata-kata Devan menghantamnya keras, memupuskan harapan kecil yang mungkin masih ia simpan tentang pernikahan ini. Dia hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya.
Devan mendengus, melihat ke arah Eve dengan ekspresi yang tak terbaca. "Sekarang, berhenti menangis. Agar posisimu lebih berguna, lebih baik kamu rapikan kamar ini. Jangan banyak drama, bahkan aku tidak melukaimu, apa yang aku katakan adalah kebenaran."
Eve hanya terdiam, ia sedang memperbaiki perasaanya.
"Kamu dengar apa yang kukatakan," ulang Devan dengan nada dingin. "Rapikan tempat ini sekarang dan temui aku di perpustakaan."
Tanpa banyak pilihan, Eve bangkit dari tempat tidur, meskipun tubuhnya masih terasa lemah dan hatinya terluka. "Baik... aku akan merapikannya," ucapnya dengan suara rendah.
"Bagus." Devan pergi meninggalkan Eve yang mulai merapikan kamar.
Di perpustakaan, Eve mengikuti Devan yang sedang memilah-milah bacaan, sebelumnya melihat perpustakaan yang begitu luas Eve terkejut juga senang. Karena hobinya membaca tersalurkan.
"Ini kopi untukmu." Eve menyodorkan segelas kopi hitam. Devan kebingungan
"Untuk ku? Kamu tidak menaruh racun atau pelet kan?"
Eve yang semula merasa senang melihat koleksi buku yang begitu banyak di perpustakaan itu, seketika merasa terganggu oleh pertanyaan sinis Devan. Dia berusaha menahan perasaan kecewanya, dan tetap menjaga senyum di wajahnya.
“Tidak, tentu saja tidak,” jawab Eve dengan suara lembut, meskipun ada sedikit getaran yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku hanya ingin membuatkan kopi untukmu, sebagai tanda terima kasih karena telah mengizinkanku berada di sini.”
Devan memandangi Eve sejenak, seolah mencoba menilai kejujurannya. Mata tajamnya tampak menyelidik, mencari tanda-tanda kebohongan di wajah Eve. Namun, Eve hanya berdiri di sana dengan tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.
“Hmm, baiklah,” gumam Devan akhirnya, meraih cangkir kopi itu dengan satu tangan. “Tapi ingat, Eve, jangan berpikir bahwa ini akan mengubah apapun di antara kita. Aku tetap tidak percaya padamu.”
Eve menunduk sedikit, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang muncul karena kata-kata Devan. “Aku tidak mengharapkan apapun, Devan. Aku hanya ingin mencoba melakukan yang terbaik dalam pernikahan ini.”
Devan hanya mendengus, lalu berbalik untuk melanjutkan memilih buku-buku yang ada di rak, seolah percakapan mereka tidak lebih penting dari buku-buku yang sedang ia periksa. Eve memandang punggung suaminya dengan perasaan campur aduk—antara kesedihan dan keinginan untuk bisa mendapatkan sedikit perhatian dan pengakuan darinya.
Devan merasa ada yang aneh saat menyeruput kopi yang dibuatkan oleh Eve. Rasa kopi itu begitu enak, berbeda dari yang biasa ia minum. Meskipun ini hanya kopi hitam biasa, ada sesuatu yang membuatnya lebih nikmat, membuat Devan berhenti sejenak dan merenung.
"Mengapa kopi biasa ini terasa begitu nikmat?" gumamnya dalam hati. Pandangannya kemudian beralih ke arah Eve, yang sedang sibuk mencari buku di rak-rak perpustakaan, matanya fokus pada deretan judul-judul yang berjejer rapi. Devan mengamati gerak-geriknya dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda kecurangan atau maksud tersembunyi di balik tindakan Eve.
"Apa mungkin dia menaruh sesuatu di dalam kopi ini?" Devan bertanya dalam hati, keraguan mulai merayap di benaknya. Dia sudah terbiasa hidup dengan penuh waspada, tidak mudah percaya pada orang lain, termasuk pada Eve. Meski mereka sudah menikah, rasa curiga itu tidak pernah benar-benar hilang, terutama ketika menyangkut seseorang yang ia anggap belum sepenuhnya ia kenal.
Namun, ketika mengingat tatapan polos Eve saat menyodorkan cangkir kopi tadi, Devan menjadi ragu pada kecurigaannya sendiri. Apa mungkin Eve melakukan sesuatu yang licik? Atau mungkin ini hanya perasaannya yang terlalu terbiasa dengan ketidakpercayaan?
Devan menyeruput kopi itu sekali lagi, mencoba menemukan sesuatu yang salah dalam rasa atau aromanya, tetapi tidak ada yang aneh. Kopi itu tetap terasa luar biasa, hangat dan menenangkan, meski ada sedikit perasaan tidak nyaman di dalam dirinya yang membuatnya tetap waspada.
Eve, yang tidak menyadari pergulatan pikiran Devan, tampak tenggelam dalam dunianya sendiri, membolak-balik halaman sebuah buku dengan senyum tipis di wajahnya. Pemandangan itu membuat Devan semakin bingung. Apakah mungkin Eve hanya berniat baik? Apakah mungkin dia benar-benar tulus dalam upayanya untuk mendekatkan diri, meskipun Devan selalu menahannya dengan sikap dingin?
Devan mendesah pelan, merasa terganggu oleh pikirannya sendiri. Dia tidak terbiasa dengan perasaan ini—perasaan bahwa mungkin saja dia salah menilai seseorang. Namun, rasa nikmat kopi itu masih menempel di lidahnya, dan entah bagaimana, untuk pertama kalinya, Devan merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Sesuatu yang membuatnya ingin memahami lebih jauh siapa sebenarnya Eve, wanita yang kini menjadi bagian dari hidupnya, meskipun dia sendiri enggan mengakuinya.
Eve yang sedang asyik menjelajahi rak buku, terkejut saat mendengar Devan memanggilnya. "Eve," suara Devan terdengar berbeda dari biasanya, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat jantung Eve berdegup lebih kencang. Dia menoleh dan mendekati Devan dengan ragu, namun ada rasa penasaran yang membuatnya maju.
Devan menatap Eve dengan intens, dan tanpa peringatan atau kata-kata lebih lanjut, dia menarik Eve mendekat dan mencumbu bibirnya dengan tiba-tiba. Eve terkejut, tubuhnya menegang sesaat, namun kemudian dia merasakan kehangatan dari sentuhan Devan yang begitu intens. Bibir Devan yang kuat dan penuh hasrat menghampiri bibirnya, memaksa masuk ke dalam keintiman yang tak terduga.
Tatapan Eve yang awalnya bingung, perlahan berubah menjadi penuh hasrat meski perasaan itu bercampur dengan kebingungan. Sentuhan Devan, yang selama ini dingin dan tak berperasaan, kini terasa berbeda.