"Ini sudah satu Minggu berlalu, baru kali ini ada orang yang berani menentang ku." Devan benar-benar geram atas penolakan Bima pemilik perusahaan properti di kota sebelah.
Pria itu berdiri dari kursi kekuasan, menatap para bodyguard dengan tatapan mengancam.
"Sebenarnya, kalian ini kerja atau tidak! Kenapa hanya seorang Bima saja sulit kalian taklukkan?" pria itu berkacak pinggang.
"Maaf Tuan, masalah terbesarnya adalah Bima merasa bisnisnya tidak memerlukan perlindungan apapun." Lagi-lagi Devan berdecak, meremehkan para pengawalnya.
"Aku tidak membutuhkan alasan! Aku butuh hasil!" Devan membentak saat melihat para pengawalnya yang tampak tegang.
Dia menatap satu persatu pengawalnya dengan sorot mata tajam yang membuat mereka merasa kerdil. Dalam pikirannya, Devan tahu bahwa Bima bukan hanya sekadar pebisnis biasa—dia seseorang yang percaya diri, kokoh, dan sulit dipatahkan hanya dengan cara-cara kasar.
Kemudian, sebuah ide licik melintas di benaknya. Dia tersenyum tipis, sebuah senyuman yang membuat para pengawal merasakan hawa dingin yang menusuk.
"Jika dia tidak merasa butuh perlindungan," ucap Devan dengan nada yang lebih tenang, tetapi penuh dengan kejahatan yang tersirat, "maka kita buat dia merasa perlu."
Devan memanggil salah satu pengawalnya yang paling cerdik, Aryo, seorang pria yang terkenal dengan taktik liciknya. "Aryo, aku ingin kau mendekati orang-orang terdekat Bima. Buat mereka merasa terancam tanpa mereka sadari siapa di baliknya. Perlahan-lahan, kita akan membuat Bima mengerti bahwa ada sesuatu yang lebih berbahaya di luar sana—sesuatu yang hanya kita yang bisa lindungi."
Aryo mengangguk, memahami maksud Devan yang lebih memilih pendekatan psikologis dan halus kali ini. Dia tahu bahwa Devan menginginkan Bima tunduk dengan cara yang membuatnya merasa seolah-olah tidak ada pilihan lain selain menerima perlindungan dari Devan.
"Jangan buat dia tahu ini permainan kita. Biarkan dia merasa bahwa keputusannya adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan bisnis dan keluarganya," tambah Devan dengan senyum puas.
"Baik, Tuan. Saya akan segera mengurusnya," jawab Aryo dengan penuh keyakinan.
Devan kembali duduk di kursinya, rasa marahnya kini tergantikan oleh rasa puas yang gelap. Dia menatap keluar jendela, membayangkan bagaimana Bima, yang semula menolak dengan angkuh, akan datang dengan kepala tertunduk, memohon untuk perlindungan yang dia tawarkan.
"Bisnis ini bukan hanya tentang uang, Bima," gumam Devan pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. "Ini tentang siapa yang lebih pintar, siapa yang lebih berkuasa."
Dan dengan rencana barunya, Devan yakin bahwa Bima akan segera belajar pelajaran itu dengan cara yang paling sulit.
Devan menatap salah satu bodyguardnya dengan tatapan dingin yang penuh perintah. Pria itu, yang dikenal dengan nama Guntur, Dia adalah seseorang yang tak pernah ragu untuk menggunakan ototnya untuk menyelesaikan masalah.
"Dan kamu, Guntur," Devan memulai, suaranya rendah namun tegas, "aku punya tugas khusus untukmu."
Guntur mengangguk tanpa sepatah kata, siap menerima perintah apapun dari bosnya.
"Kamu ingat bocah tengil yang bersama Eve di taman waktu itu?" Devan melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih menekan. "Namanya Glen. Aku tidak suka dengan sikapnya yang berani mendekati Eve. Dia harus belajar bahwa tidak ada yang menyentuh milikku tanpa izin."
Devan mendekat, menatap Guntur dengan tajam. "Temui dia. Pastikan dia menyesal karena mencoba-coba mendekati Eve. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu ini perintah langsung dariku. Biarkan dia merasa ketakutan tanpa tahu dari mana ancaman itu datang."
Guntur menunduk sedikit, menandakan bahwa dia paham sepenuhnya. Dia tahu betul bagaimana cara mengirim pesan yang jelas tanpa meninggalkan jejak kembali ke Devan.
"Pertama, buat dia merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ganggu dia, buat hidupnya tidak nyaman. Tapi jangan berlebihan. Biarkan dia merasa ada yang memperhatikannya setiap saat. Jika dia masih berani, maka kamu tahu apa yang harus dilakukan."
Guntur menyeringai sedikit, sebuah senyuman yang hanya dia tunjukkan ketika dia siap melakukan pekerjaannya dengan cara yang dia suka—brutal dan efisien.
"Baik, Tuan. Glen akan menyesal pernah mencoba mendekati Nyonya Eve," jawab Guntur sambil memutar jarinya yang penuh otot.
Devan mengangguk puas, lalu kembali duduk di kursinya. Dia tahu bahwa dengan Guntur di lapangan, Glen akan segera merasakan akibat dari tindakannya. Tidak ada yang bisa mendekati orang-orang yang dekat dengan Devan tanpa menghadapi konsekuensinya.
"Glen mungkin berpikir dia aman, tapi dia akan segera tahu bahwa dia telah bermain dengan api," gumam Devan, matanya memancarkan kilat dingin penuh ancaman.
Kini, dengan kedua rencananya berjalan, Devan merasa lebih tenang. Dalam permainan ini, tidak ada ruang bagi yang lemah atau yang ceroboh. Dan Devan, sebagai sang penguasa bayangan, akan memastikan semua orang tahu perannya.
Devan yang sedang duduk di kursinya, menikmati sensasi kontrol yang ia rasakan, tiba-tiba terhenti oleh suara ketukan di pintu. Ketukan itu tak biasa—terdengar cemas dan tergesa-gesa. Dia mengangkat alis, memberikan isyarat kepada salah satu bodyguard-nya untuk membuka pintu.
Pintu terbuka, dan seorang pria yang tampak lusuh dengan wajah pucat masuk ke dalam ruangan. Pria itu, bernama Antonio, adalah seorang pengusaha kecil yang Devan kenal sebagai salah satu penolak tawaran perlindungannya beberapa bulan lalu. Kini, Antonio berdiri di hadapan Devan, dengan ekspresi ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
"T-Tuan Devan... tolong, saya butuh bantuan Anda," kata Antonio dengan suara gemetar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan matanya memohon belas kasihan.
Devan menatap Antonio dengan tatapan tajam, tetapi tetap tenang. Ia melipat tangannya di d**a, mencoba menilai situasi. "Antonio, apa yang membawamu kemari? Bukankah terakhir kali kita bertemu, kamu menolak perlindungan yang kutawarkan dengan cukup tegas?" Suaranya terdengar santai, namun mengandung ancaman yang tersirat.
Antonio menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. "S-saya tahu saya salah, Tuan. Tapi sejak beberapa minggu terakhir, usaha saya diganggu terus-menerus. Barang-barang hilang, pekerja saya diancam, dan saya... saya tidak tahu harus berbuat apa lagi."
Devan tersenyum tipis, puas dengan kenyataan bahwa akhirnya Antonio datang memohon bantuan. Ini adalah hasil yang dia harapkan dari awal—membuat mereka yang menolak datang kembali, tunduk dengan kepala tertunduk.
"Dan sekarang, kamu datang padaku, memohon perlindungan? Mengapa aku harus membantu seseorang yang menolak kebaikanku sebelumnya?" Devan mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya menusuk tajam ke mata Antonio.
Antonio menggelengkan kepala, matanya mulai basah. "Tolong, Tuan Devan... saya siap membayar berapapun yang Anda minta. Saya sadar saya telah melakukan kesalahan dengan menolak Anda. Saya... saya tidak punya pilihan lain."
Devan duduk kembali, menimbang kata-kata Antonio, Setelah beberapa saat, dia tersenyum, tetapi senyuman itu tidak membawa kelegaan bagi Antonio. Senyuman itu dingin, penuh perhitungan.
Baiklah, Antonio Aku bisa memberikan perlindungan yang kamu minta. Tapi kali ini, syaratnya lebih berat. Kamu akan membayar bukan hanya dengan uang, tetapi dengan loyalitas mutlakmu kepadaku. Setiap kali aku butuh sesuatu, kamu akan ada di sana untuk menuruti perintahku, tanpa pertanyaan. Jika kamu berani mengingkari janji ini... kau tahu apa yang akan terjadi."
Antonio segera mengangguk, merasa lega meski sadar bahwa dia baru saja menjerumuskan dirinya lebih dalam ke dalam kekuasaan Devan. "Ya, Tuan Devan. Saya berjanji, saya akan patuh."
Devan melambai ringan kepada pria itu, memberi isyarat agar dia pergi. "Mulai besok, orang-orangku akan menjaga bisnismu. Dan ingat, Antonio.. ini bukan lagi perlindungan. Ini adalah ikatan, dan ikatan itu tidak bisa diputus."
Pria itu menunduk sekali lagi sebelum berbalik dan keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk antara lega dan takut. Sementara itu, Devan tersenyum puas, merasa bahwa kekuasaannya semakin mengakar dalam kota itu. Setiap langkah adalah peringatan bahwa tidak ada yang bisa menolak tawarannya tanpa menghadapi konsekuensi yang menghancurkan.