Tanpa Tujuan

1374 Words
Jeanna sudah berjalan cukup jauh sembari menggeret kopernya yang begitu berat. Wanita itu sampai tidak kepikiran untuk memesan taksi sama sekali, sebab hatinya masih terguncang hebat. Dia berjalan tanpa arah dan tujuan yang pasti. Hanya terus melangkah sampai kedua kakinya terasa lelah. Pikirannya pun masih sangat berantakan, sama seperti hatinya. Hari ini benar-benar hari yang penuh kejutan bagi Jeanna. Seumur hidup, dia tidak pernah membayangkan semuanya akan seperti ini. Mimpi-mimpinya bersama Raditya pupus sudah. Segala hal indah yang pernah ia rajut bersama pria itu benar-benar percuma. Apa itu cinta? Semua hanyalah bullshit semata. “Aku sangat mencintaimu, sayang. Tidak akan ada perempuan lain selain kau, Jeanna. Pegang kata-kata ku ini. Kau lah yang terakhir untukku.” Pembohong! Jeanna anggap ucapan manis pria itu dulu hanyalah sebuah kebohongan semata. Kebohongan untuk mendapatkan kesenangan sesaat. Setelahnya di lepeh begitu saja, sebab manisnya sudah dihisap. Nyatanya, ia tidak benar-benar menjadi yang satu-satunya. Tapi diam-diam menjadi salah satunya entah berapa lama. Jeanna sampai tak habis pikir, bagaimana bisa ucapan pria itu sama sekali tidak bisa dipegang? Tapi yang paling menyakitkan dari semuanya adalah, tuduhan buruk yang menganggapnya sebagai wanita mandul. Mungkin, seluruh wanita di dunia ini akan merasakan sakit yang sama mendengar ucapan tersebut. Tidak ada yang mau kesusahan untuk mendapatkan anak. Tidak ada yang mau mengalami nasib buruk. Tapi sebagai manusia tidak bisa mengubah apapun jikalau Tuhan sendiri belum merestui. “Harusnya dari awal aku tidak perlu memberikan restu pada Raditya untuk menikahimu kalau tahu mandul begini. 5 tahun kau pikir sebentar? Buang-buang waktu selama ini menikahi wanita mandul seperti dirimu, Jeanna!” “Beruntung sekali Raditya bisa mendapatkan Della kembali. Wanita sempurna yang tidak suka banyak drama. Bisa langsung memberikan anak untuk Raditya tanpa menunggu bertahun-tahun. Sehat, tidak penyakitan. Tidak urakan juga mulutnya.” “Kau itu memang tidak pantas untuk anakku, Jeanna. Raditya terlalu sempurna untuk kau yang cacat. Ya, karena kau mandul! Susah sekali memberikan kebahagiaan untuk suami sendiri. Wanita tidak berguna. Bagus kalau diceraikan begini. Pergi jauh-jauh!” Kepala Jeanna terasa mau pecah, saat perkataan Lestari terngiang terus sejak tadi. Benar-benar menusuk dan menyesakkan d**a. Jeanna mulai memegangi kepalanya yang memang sudah terasa begitu berat, dan pusing. Bagaimana tidak sampai kepikiran jika segala ucapan yang ditujukan padanya sangatlah buruk. Namun, bukannya berhenti sejenak, Jeanna justru tetap melanjutkan langkahnya. Sebenarnya, dia memang ingin berhenti dan beristirahat sebentar, hanya saja tak mungkin di pinggir jalan seperti ini. Apalagi di tempat yang cukup sepi. Takut ada jambret atau orang yang memiliki niat jahat lainnya. Jeanna memutuskan untuk berjalan lagi beberapa meter untuk sampai ke sebuah minimarket yang tak jauh dari tempatnya saat ini. Namun, saat sudah sampai tepat di depan minimarket, Jeanna mendadak terhenti karena merasa sudah tidak kuat. Apalagi apa yang dia lihat seolah sedang berputar saat ini. Jika dipaksa untuk berjalan, Jeanna yakin dia pasti akan oleng / jatuh. Padahal, sedikit lagi saja untuk mencapai ke teras minimarket tersebut. Puan itu berjongkok sembari memegangi kopernya dengan kepala yang menunduk, juga kedua mata yang terpejam. “Kau?” Jeanna belum juga merespon panggilan dari seseorang yang mendekatinya saat ini. Kepalanya masih menunduk, dan tubuh yang rasanya sudah kehabisan tenaga. “Kau tidak apa-apa?” tanya orang asing tersebut sekali lagi. Namun, begitu Jeanna mengangkat wajahnya, orang asing tersebut nampak terkejut. “Astaga, Jeanna?!” Tidak hanya orang asing itu saja yang terkejut, tapi Jeanna sendiri pun juga sama terkejutnya. “Nia?” Tania, atau yang sering dipanggil Nia itu merupakan teman lama Jeanna sewaktu kuliah dulu di London. Sudah lama mereka tak bertemu, dan keduanya sama-sama terkejut bisa bertemu di situasi yang seperti ini. “Ayo Jeanna, bangun. Aku bantu.” Jeanna dibantu oleh Nia untuk duduk di kursi teras minimarket. Tidak lupa juga Nia membawakan sebotol air mineral untuk Jeanna minum. Jeanna benar-benar bersyukur sebab yang membantunya saat ini adalah orang yang dia kenal. Meskipun dia tidak mengenali siapa pria yang saat ini tengah bersama Nia. Ya, temannya itu tak sendirian. “Apa perlu kita bawa saja temanmu ke rumah sakit, Nia? Dia kelihatan lemas sekali.” Jeanna yang mendengar itu sontak menggeleng. Dia menolak dengan cepat sebelum ditanya. “Tidak, tidak perlu ke rumah sakit.” “Je, tapi kau yakin tidak perlu?” tanya Tania dan Jeanna mengangguk, meski sembari memijat pelipisnya. “Serius, Je? Aku takut kau kenapa-kenapa.” “Serius, Tania. Tidak perlu. Aku tidak apa-apa, hanya sedikit pusing saja. Terimakasih sudah membantuku.” sahut Jeanna dengan cepat. Kemudian dia menaikkan pandangannya pada pria yang tengah berdiri menjulang tinggi tak jauh darinya. “Thanks,” Pria itu hanya mengangguk sembari tersenyum tipis. Tatapan matanya masih tertuju pada Jeanna, meski puan itu sudah mengalihkan wajah kembali. “Kau mau kemana sebenarnya malam-malam begini? Membawa koper besar juga. Kau bahkan sendirian di jalan. Kalau ada apa-apa denganmu bagaimana, Jeanna?” “Aku—” Jeanna menghentikan ucapannya. Bingung mau menjawab apa, sebab dia juga tidak tau tujuannya mau kemana. Pulang ke rumah orang tuanya? Tidak mungkin. Jeanna tidak akan mungkin pulang ke sana setelah bertahun-tahun memutuskan pergi dan meninggalkan kediaman orang tuanya. Jika dia kembali, maka kemungkinan besar, dia akan ditertawakan. Apalagi mengetahui jika ia baru saja dicampakkan dan dibuang seperti sampah. “Mau kemana, Jeanna?” tanya Tania sekali lagi. “Oh, ini aku sebenarnya harus ke luar kota. Tapi saat sampai bandara, ternyata aku salah jadwal. Jadi, terpaksa aku kembali lagi.” ujar Jeanna berbohong. Benar-benar sekenanya, karena bingung ingin menjawab apa. Pria yang merupakan teman Tania sontak menaikkan sebelah alisnya. “Bandara jauh sekali dari sini. Tidak mungkin kau kuat jalan kaki dari sana sampai ke sini. Tapi kalau memang kau kuat untuk jalan kaki, harusnya jalur yang kau lewati untuk pulang harusnya bukan ke arah Utara, tapi selatan.” “Ah iya, benar itu!” seru Tania menimpali. “Je, kau tidak sedang berbohong kan?” Jeanna tertawa canggung. “Untuk apa aku berbohong? Apa yang aku katakan benar. Aku memang salah jadwal. Jadi, memang aku memutuskan untuk kembali ke hotel yang dekat dengan bandara. Tapi ternyata justru ketiduran di dalam mobil yang aku pesan. Tidak tahunya memang dari awal aku yang salah memilih titik tujuan. Alhasil aku nyasar sampai sejauh ini. Tapi serius, aku sudah coba untuk pesan mobil lain lagi untuk kembali. Sayangnya tidak ada yang nyangkut sama sekali, Nia. Kau pikir saja, mana mungkin aku mau jalan kaki sejauh ini kalau bukan karena terpaksa?” “Kau kan bisa pakai kembali jasa taksi online yang kau pakai itu, Je? Untuk apa mencoba pesan lagi?” Mampus! Jeanna langsung berpikir cepat agar tidak dicurigai. Meski teman dari Tania sama sekali tidak bisa dibohongi. “Itu dia masalahnya, Nia! Supir itu tidak mau mengantarku kembali. Katanya sudah sangat malam dan dia harus buru-buru pulang ke rumah. Aku bahkan sudah mencoba untuk memohon, tapi orangnya benar-benar tidak mau membantuku.” “Tapi—” “Sekali lagi terimakasih sudah membantuku.” Jeanna menyela dengan cepat. “Sama-sama, Je. Aku juga tidak expect kalau itu kau. Kaget juga, bisa bertemu denganmu di situasi yang seperti ini.” sahut Tania. “Ya sudah, kau mau kembali ke hotel yang dekat dengan bandara kan? Ayo, ikut kami saja. Biar kamu saja yang mengantarmu ke hotel.” “Hah?” Jeanna menggeleng. “Tidak, tidak perlu. Aku tidak mau merepotkanmu dan juga temanmu, Nia.” “Kalau aku sih tidak keberatan sama sekali. Tapi kalau Bara juga sepertinya merasa direpotkan jika sekedar untuk mengantar saja sampai ke hotel. Ya kan, Bar?” serunya menatap ke arah pria itu. Ya, pria yang berdiri tak jauh dari Jeanna bernama Bara. Bara Rasyid. Bara mengangguk. “Ya, santai saja. Kami antar ke hotel. Atau kau mau ke hotel yang dekat-dekat sini saja? Aku perhatikan sepertinya kau butuh istirahat cepat.” “Ah benar juga, ke hotel dekat-dekat sini saja bagaimana?” “Boleh. Aku juga sudah sangat lelah.” balas Jeanna mengiyakan. “Ya sudah sebentar, aku akan membelikanmu roti di dalam untuk di makan di hotel nanti kalau kau kelaparan. Wait!” “Nia, tidak usah. Ni—” “Sudah, biarkan saja. Jangan menahan orang yang mau memberikanmu sesuatu.” sela Bara, lalu Jeanna memilih untuk menunduk. Namun, begitu Bara menyodorkan tangannya, Jeanna kembali mengangkat wajahnya. “Bara,” ujarnya memperkenalkan diri. Jeanna menjabat tangan pria itu tanpa berpikir panjang. “Jeanna.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD