Tak Bisa Tidur

1012 Words
Jeanna terus saja membalikkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Lalu tiba-tiba bertelantang, namun tak bisa bertahan lama. Dia benar-benar tidak bisa tidur malam ini. Bukan karena tidak nyaman dengan kasur yang dia tempati, melainkan kepikiran dengan semua ucapan sang ibu tiri. Mata Jeanna yang semula dipaksa untuk terpejam, kini sudah terbuka kembali. Dia mendengus berkali-kali, sampai mengacak rambutnya sendiri saking kesalnya. Kepalanya terus saja penuh dan ia tak bisa mencegah otaknya untuk berpikir. “Ini semua gara-gara tante Sinta! Kenapa juga sih dia harus datang menemuiku di sini dan bicara omong kosong seperti tadi?” Jeanna mendudukkan diri, lalu melirik ke arah jam dinding yang ada di dalam kamarnya. Sudah tepat pukul 1 dini hari, dan kedua matanya terlihat masih kuat saat ini. “Sial! Aku benar-benar tidak tidur karena kepikiran dengan semua ucapan wanita itu. Kenapa harus dia yang datang jika memang ayah sayang dan merindukan aku? Kenapa harus wanita itu? Kenapa?!” Jeanna masih sangat membenci Sinta—sang ibu tiri. Baginya, sang ibu kandung tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun. Sampai sekarang dia masih kesal pada Sinta yang menerima lamaran dari sang ayah. Padahal, Sinta adalah sahabat baik dari mendiang ibunya. Sungguh, Jeanna menganggap bahwa Sinta sangatlah jahat. Bagaimana bisa dia menerima dan menikah dengan suami sahabatnya sendiri? Meskipun sahabatnya sudah meninggal, apa pantas dia menerimanya? Ingatan Jeanna kembali terpental jauh pada kejadian 6 tahun yang lalu. Hari dimana puncak kekesalannya menjadi hari terakhir dia berada di rumah mewah yang penuh dengan kenangan. “Cari laki-laki yang jelas asal-usulnya, Jeanna. Jangan asal kau pilih lelaki yang hanya bisa merayu dengan kalimat manis. Lebih baik kau fokus saja pada perusahaan. Ayah menuntutmu bekerja lebih keras agar bisa menggantikan posisi ayah nantinya. Tidak usah pikirkan soal cinta-cintaan dulu. Apa lagi dengan laki-laki yang tidak jelas seperti itu. Ayah tidak akan merestui hubunganmu dengan lelaki itu sampai kapanpun.” “Ayah bahkan belum bertemu dengannya. Bagaimana bisa Ayah menyebutnya laki-laki yang tidak jelas? Padahal dia—” “Aku menyekolahkan dirimu tinggi-tinggi agar bisa berpikir pintar dan menjadi pengganti ayah kedepannya, Jeanna. Bukan menyuruhmu untuk memikirkan cinta-cintaan. Kau ini kenapa susah sekali diberitahu? Laki-laki itu tidak baik untukmu. Lebih baik kau sudahi hubunganmu dengannya. Selama kau menjalin hubungan, kelakuanmu semakin kurang ajar dan berani pada ayah.” “Kenapa harus? Kenapa Jeanna harus menuruti ucapan Ayah? Sedangkan Ayah saja tidak pernah sekalipun mendengarkan ucapan Jeanna.” balas Jeanna dengan berani. “Jeanna—” “Ayah menikahi wanita itu di saat Jeanna sudah menentang keras hubungan itu!” Jeanna menyela dengan cepat, sembari menunjuk ke arah Sinta yang sedari tadi hanya diam. “Ayah tetap menikahinya tanpa memikirkan perasaan Jeanna ataupun mendiang Ibu! Lalu kenapa sekarang Ayah berusaha untuk menghalangi hubungan Jeanna, hah? Kenapa?” “Baru mengenal laki-laki tidak jelas itu kau sampai berani berteriak di hadapan ayahmu sendiri, Jeanna. Di mana sopan santun mu itu, hah?! Harusnya kau sadar jika laki-laki itu tidak baik untukmu. Baru kenal saja sudah membawa hal buruk untukmu!” “Stop menyalahkan kekasihku, Ayah! Ayah lah yang bermasalah di sini. Aku begini karena Ayah! Karena Ayah yang egois! Kenapa hanya Ayah yang boleh memilih pasangan, sementara aku tidak? Kenapa?” “Ayah tidak suka dengan kekasihmu itu. Kau harus tahu jika laki-laki itu tidak—” “Jeanna juga tidak suka pada wanita itu!” Jeanna kembali menyela. Tatapannya tertuju pada Sinta yang tampak sedih melihat pertengkaran ayah dan anak itu saat ini. “Jeanna benar-benar membencinya, tapi Ayah tetap menikahinya! Sekarang apa bedanya? Jangan mengatur perasaanku, Ayah!” Sinta benar-benar bingung saat ini. Posisinya sekarang memanglah serba salah. Tapi dia juga tak bisa melihat pertengkaran itu. Apalagi menyeret namanya juga. Awalnya dia ingin diam, tapi melihat Seno tengah mengepalkan tangan, ia takut jika tiba-tiba saja Seno tak bisa mengontrol emosinya. Apalagi sekarang terlihat sedang panas-panasnya. Ego dari Seno ataupun Jeanna sedang sama-sama tinggi. “Mas Seno—” “Kau diam saja pelac—” PLAKK! Sebuah tamparan keras Jeanna dapatkan, meski ucapan kasarnya belum rampung. Jeanna memegangi pipinya yang baru saja mendapatkan tamparan. Seketika liquid bening keluar dari sudut matanya. Dia benar-benar tak percaya, sebab sang ayah bisa melayangkan tamparan padanya. “Mas Seno! Apa-apaan kau ini?!” teriak Sinta yang langsung mendekati Jeanna. “Kau tidak apa-apa Nak—” “Menjauh dariku!” Jeanna berteriak seraya mendorong tubuh sang ibu tiri dengan kuat. “Jangan pernah menyentuhku! Aku sudah peringatkan hal ini berulang kali padamu, jangan menyentuhku! Aku tidak sudi kau sentuh!” “Minta maaf, Jeanna. Minta maaf pada ibumu, sekarang!” titah Seno dengan tatapan tajam nan tegas. “Dia bukan ibuku! Sampai kapanpun, dia tidak akan pernah menjadi ibuku!” “Kau—” Seno menggantung ucapannya, begitu lengannya ditarik oleh Sinta. Jeanna benar-benar muak melihat bagaimana interaksi sang ayah dengan istri barunya itu. Dia benar-benar tak suka melihatnya. Hingga berakhir ia membuat sebuah pertanyaan pilihan. “Sekarang Jeanna tanya, Ayah lebih memilih dia, atau aku? Jawab, Ayah!” “Minta maaf padanya.” sahut Seno, alih-alih menjawab pertanyaan Jeanna. Sementara Jeanna hanya tersenyum pahit. Dia sekarang tahu apa pilihan ayahnya. “Aku lebih baik pergi dari rumah daripada harus meminta maaf padanya! Tidak ada yang lebih baik dari Raditya. Laki-laki yang Ayah jelek-jelekan itu faktanya satu-satunya orang yang peduli dan memahami ku!” Jeanna kembali menghempaskan tubuhnya. Kepalanya jadi pusing lagi setelah mengingat semua kejadian 6 tahun yang lalu. Sumpah demi Tuhan, Jeanna jadi ingin meralat semua ucapannya kala itu. Tapi masih terasa sesak, jika mengingat sang ayah hanya diam ketika mengetahui ia memilih pergi meninggalkan rumah. Benar-benar sesak sekali rasanya, sampai Jeanna sendiri ingin menangis. “Setelah apa yang terjadi dulu, mana mungkin aku pulang ke rumah dan berhadapan langsung dengan ayah?” monolognya. Kaki Jeanna mencak-mencak sendiri, sampai selimutnya jatuh teracak bersama guling di lantai. “Ah sial, bagaimana ini?! Ah, pusing sekali kepalaku!” Sungguh, Jeanna bingung setengah mati. Dia tidak tahu apakah sanggup untuk pulang dan menemui ayahnya setelah 6 tahun berlalu? Selain itu, Jeanna takut jika ternyata ini hanya akal-akalan Sinta saja. “Ah, tidak tahu lah!” teriaknya pusing sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD