Halaman belakang rumah Kinan yang luas disulap menjadi tempat arena pool party untuk pesta lajangnya. Dihiasi lampu dan diiringi musik dari DJ kenalan Kinan, para tamu tidak berhenti bergoyang. Beberapa tamu terlihat menikmati berendam di kolam renang—tidak peduli kalau mereka besok bisa kena flu. Di sisi lainnya, ada rerumputan yang mendadak menjadi lantai dansa, dan terus menghipnotis mereka untuk berdansa mengikuti irama musik.
“Hai, Dira!” sapa Kinan.
“Selamat ya, Ki,” ujar Indira tulus seraya mencium kedua pipi Kinan. “Rame banget! Gue pikir bakalan private!”
“Tadinya mau gitu. Tapi setelah gue pikir-pikir, kapan lagi gue ngadain bachelorette party, kan? Ya udah, setelah ngobrolin sama Kevin, kita gabungin party-nya dia sama gue.”
“Oh, pantesan.”
“Lo dateng sendiri? Mana calon suami lo yang masih misterius itu?”
“Eh, enggak kok. Gue dateng bareng Olive. Dia lagi parkir mobil.”
“Yah, gue kira lo bakalan go public malam ini.”
“Enggaklah! Gue enggak mau mencuri spotlight tuan rumah. Kan hari ini pesta lo sama Kevin.”
“Kalau gitu kebetulan!” seru Kinan girang. “Tuh lihat! Banyak cowok-cowok temennya Kevin yang kece! Mulai dari pengusaha, atlit, artis juga ada. Lo embat aja, buat selingan.”
“Eh, enggak usah!” elak Indira.
“Udah, santai aja. Tadi salah satu dari mereka pengen banget ketemu sama lo. Namanya Leo, atlit tenis nasional, tapi juga beberapa kali udah menangin turnamen internasional. Yuk!”
Tidak ada gunanya Indira menolak, karena Kinan menyeretnya paksa menuju sekumpulan pria yang sedang mengobrol di tepi kolam. Kinan memanggil Leo, dan seorang pria dengan perawakan tegap menghampiri mereka.
“Indira?”
“Hai,” sahut Indira sekenanya.
“Ya udah, kalian ngobrol yak!” Itu adalah kalimat terakhir dari Kinan yang didengar Indira malam ini. Karena selanjutnya, hingga Indira pulang ke apartemennya, dia tidak lagi bertemu Kinan—bahkan berpamitan pun tidak sempat.
“Minum?” tawar Leo seraya mengulurkan segelas wine kepada Indira.
Indira menerima wine itu dan menyesapnya sembari tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya.
“Gue udah jarang lihat lo di teve, ya?”
Indira mengangguk. “Gue belakangan ini fokus buat model. Kalau akting lebih ke sampingan aja, sih.”
“Oh, pantesan.”
“Kata Kinan, lo nyariin gue? Kenapa?”
“Pengen kenal lo lebih jauh aja. Ya, siapa tahu, kan kita bisa lebih deket, terus punya hubungan.”
Indira tergelak mendengar kalimat Leo. Pria ini benar-benar tanpa basa-basi.
“Lo tahu, kan kalau gue ini udah mau nikah?”
“Tau. Tapi sesuai pepatah, sebelum janur kuning melengkung, masih bisa ditikung.”
Iya, bener. Batin Indira.
Leo tidak terlalu buruk. Setidaknya tidak seburuk para pria yang sempat mendekatinya beberapa tahun belakangan ini, termasuk Adrian. Supel dan tidak perlu takut kehabisan topik pembicaraan, jika bersama Leo. Hanya satu hal yang membuat Indira merasa kurang nyaman, risih lebih tepatnya. Yakni, saat pria itu selalu melirik ke arah d**a Indira, serta buru-buru mengalihkan pandangan saat Indira memergokinya.
Dasar c***l! Pikir Indira kesal. s**l baginya! Indira pikir selesai pemotretan dia bisa langsung pulang, sehingga dia sengaja tidak memakai dalaman di antara kemeja dan branya. Kemeja putihnya yang sedikit tipis, akan memberikan pemandangan menyenangkan bagi para pria—jika mereka benar-benar memperhatikannya.
Sepertinya kesialan Indira sudah berakhir, karena Olive menghampirinya dengan sebuah sweater tersampir di lengan kirinya. Olive benar-benar bisa diandalkan! Telepati mereka begitu kuat! Indira menerima uluran sweater itu dan segera memakainya. Dia yakin, Leo sangat kecewa sekarang.
Semakin malam, suasana pesta semakin ramai—sebagian tamu sudah lebih dari mabuk sepertinya. Bahkan Indira yang canggung berada di antara Leo dan teman-temannya, kini sudah tidak ada. Gadis itu bahkan tanpa beban berani menggelayut manja di lengan Leo. Tidak peduli, jika ada wartawan yang menyamar sebagai tamu, untuk sekedar mendapatkan berita miring darinya.
Indira seolah bukan Indira. Indira yang sekarang setengah kesadarannya sudah hampir hilang. Indira yang sekarang, membuat Olive khawatir, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Olive hanya bisa mengawasi Indira dari jauh, memastikan bahwa sahabatnya itu tidak melakukan hal bodoh—seperti berciuman dengan Leo! Itu pasti akan menjadi gosip empuk!
Keadaan pesta semakin kacau! Saat ini, Kinan dan Kevin sedang diarak keliling kolam renang. Dan siapa yang menyangka, setelah putaran ketiga, sepasang calon pengantin itu langsung dilemparkan ke dalam kolam renang!
“s**t!” pekik Olive.
Olive tidak pernah menduga bahwa setelah Kinan dan Kevin yang dilempar, menyusul beberapa tamu yang saling dorong menceburkan temannya—bahkan beberapa menceburkan diri—ke kolam renang. Gelak tawa dan teriakan penuh suka cita mengiringi kegilaan malam ini yang terjadi di halaman belakang rumah Kinan. Liar!
Oh, tidak! Olive segera berlari menuju sahabatnya, saat menyadari Indira sudah berada dalam gendongan Leo yang siap melemparkannya ke dalam kolam renang! Tidak! Indira tidak bisa berenang! Apalagi kondisi Indira yang tengah mabuk!
“Jangan!” teriak Olive, tapi percuma! Suaranya tenggelam di antara keriuhan pesta.
Indira terus meronta dan berteriak. Mencoba melepaskan diri dari gendongan Leo. Namun, sepertinya pria itu pura-pura tuli. Bahkan terkesan tidak peduli dengan Indira yang ketakutan.
“Tenang aja, Dir! Lepasin aja semuanya! Siap?!”
Indira menggeleng. “Jangan!”
Sial! Kalau saja dia bisa mengerem jumlah wine yang diminumnya, pasti saat ini dia bisa melepaskan diri dari Leo. Tapi alkohol sudah mengambil alih kekuatan tubuhnya. Membuat Indira lemas dan mengantuk. Hingga yang tersisa dalam dirinya hanya kesadaran yang kian menipis. Hal terakhir yang dia ingat adalah rasa dingin dan sedikit sakit saat tubuhnya bertemu dengan air. Tamat sudah riwayat Indira! Tajuk utama koran gosip besok pagi adalah Indira yang mati tenggelam, karena mabuk!
***
“Kenapa telat sih lo datengnya?! Gue kan suruh lo cepetan!”
“Maaf, Mbak. Jam kerja saya belum selesai tadi.”
“Lo masih mikirin jam kerja, di saat calon istri lo digrepein cowok lain dan dalam bahaya?!”
Mahesa tertunduk mendengar kalimat penuh amarah Olive yang belum berhenti sejak 15 menit yang lalu. Mahesa jadi serba salah. Di satu sisi, dirinya dan Indira memiliki perjanjian tidak akan mencampuri urusan masing-masing. Di sisi lain, Olive memakinya tanpa henti, karena tidak segera datang menjemput Indira di rumah Kinan.
Tadi, Mahesa sedang membantu Raga mencuci gelas ketika ponselnya berdering. Panggilan dari Indira, tapi yang berada di seberang telepon bukanlah suara lembut Indira seperti biasanya, melainkan suara melengking bak biola rusak milik Olive yang panik dan memintanya segera datang ke alamat yang dikirimnya melalui pesan singkat. Bukannya tidak peduli dengan Indira, hanya saja Mahesa tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
“Tadi lo telat dikit aja, gue enggak tahu apa yang bakalan terjadi sama Dira.” Olive menggeleng pelan. Tubuhnya masih merinding setiap kali mengingat kejadian saat Indira tenggelam dan tidak ada satupun orang yang menyadarinya. Mereka malah sibuk menertawakan Indira dan berpesta—seolah tidak terjadi apa-apa. Jika telat sedetik saja Mahesa muncul, mungkin Indira tidak akan pernah selamat.
Di sinilah akhirnya Mahesa berada. Di sebuah rumah sakit dan dirinya bersama Olive sedang berada di ruang tunggu—menggigil kedinginan—menanti Indira selesai diperiksa.
Tak berapa lama, seorang dokter keluar dari ruang UGD dan mengabarkan bahwa kondisi Indira baik-baik saja. Air yang sempat masuk ke paru-parunya sudah dikeluarkan dan saat ini tinggal menunggu Indira sadar dari mabuknya.
“Mahesa?”
Mahesa menoleh, mendapati papa dan mama dengan wajah panik menghampirinya dan Olive.
“Gimana keadaan Indira?” tanya Mama.
“Sudah baikan. Sekarang tinggal tunggu Indira sadar dari—aw!”
“Sadar dari pingsannya, Tante,” potong Olive cepat, lalu matanya melotot pada Mahesa, meminta pria itu diam.
“Kamu kenapa basah gini, Sa?” tanya Papa saat melihat kondisi Mahesa. “Ini, pake jaket Papa. Nanti kamu sakit.”
“Enggak usah, Om.”
“Papa maksa! Buruan pake! Indira bisa marah kalau kamu sakit!”
Mahesa tidak punya pilihan lain selain menerima jaket yang diulurkan papa. Memakainya dan duduk beberapa saat menemani papa dan mama, sebelum akhirnya Mahesa pamit.
***