Aku udah kirim uangnya.
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Mahesa—dari Indira. Tanpa pikir panjang, Mahesa langsung menekan tombol panggilan untuk terhubung dengan Indira.
“Ehm, gimana kabar kamu? Syukurlah. Maaf, kemarin aku langsung pulang, karena harus nungguin bapak. Iya, nanti aku cek. Apa nanti malam aku dan bapak bisa ke rumah? Aku juga inginnya besok atau lusa, biarin bapak istirahat dulu. Tapi bapak maksa. Baiklah, nanti aku bilang ke bapak, mungkin sekitar jam tujuh kami sampai. Indira, terima kasih.”
Sambungan ponsel Mahesa terputus setelah ucapan terima kasihnya tanpa berbalas. Mungkin Indira sedang sibuk. Berbekal uang transferan dari Indira, Mahesa bergegas menuju meja kasir rumah sakit untuk menyelesaikan masalah administrasi.
Setelah selesai, Mahesa kembali ke kamar rawat bapak. Di sana, bapak sudah siap untuk pulang. Sebelah pundaknya menenteng tas pakaian bapak, sedangan kedua tangannya mendorong kursi roda bapak menuju lobi rumah sakit. Siang ini, Mahesa memesan taksi daring untuk pulang, karena meskipun bapak sudah sehat, dirinya masih belum tega membiarkan bapak harus berpanas-panasan di atas motor.
“Kamu sudah bicara sama Indira?”
“Oh, sudah, Pak,” jawab Mahesa sembari memasukkan pakaian kotor bapak ke mesin cuci. “Aku bilang, nanti kita sampai rumahnya kira-kira jam tujuh malam.”
“Bapak enaknya pakai baju apa ya, Sa? Bapak enggak punya baju bagus buat ketemu sama calon besan.”
Mahesa kembali ke ruang tamu, lalu masuk sebentar ke kamar bapak, dan kembali dengan sebuah kemeja batik milik bapak.
“Kemeja ini masih bagus, kok.”
Bapak menerima uluran kemeja dari Mahesa. “Bapak lupa kalau punya kemeja ini. Iya, warnanya masih bagus. Kamu pinter nyucinya,” kekeh Bapak. “Padahal ini kemeja dari zaman kamu lulus wisuda SMA, terus abis itu Bapak enggak pernah pake lagi.”
“Bapak beneran udah kuat?”
“Kamu tenang aja! Bapak udah kuat banget!” seru Bapak sambil menunjukkan otot lengannya. “Kamu emangnya enggak kerja hari ini?”
Mahesa menggeleng. “Aku udah izin sama Raga.”
“O iya, bilangin makasih ke dia dari Bapak. Lama dia enggak main ke rumah.”
“Iya, besok Aku sampein ke Raga.” Mahesa kembali memakai jaketnya dan mengambil kunci motor yang ada di atas teve. “Aku keluar sebentar ya, Pak.”
“Mau ke mana?”
“Mau beli roti, buah, atau apapun yang sekiranya pantas dibawa ke rumahnya Indira. Aku enggak enak pergi tangan kosong ke sana. Kemarin aku ke sana juga enggak bawa apa-apa.”
“O iya-iya, bener juga kamu. Bapak sampai lupa. Udah sana buruan beli yang banyak.”
“Ya udah, Mahesa berangkat dulu, Pak,” pamit Mahesa, lalu setelah menyalami bapak, dia melaju bersama motornya menuju sebuah swalayan yang tak jauh dari rumah.
Mahesa memilih beberapa jenis buah dan makanan kering, kemudian meminta petugas swalayan untuk membungkusnya dalam bentuk parsel.
“Mahesa?”
Mahesa menoleh dan mendapati seorang cowok dengan keranjang belanja berisi buah-buahan menyapanya.
“Beneran lo! Apa kabar lo, Sa?” tanya cowok itu lagi sambil merangkul pundak Mahesa.
“Baik, Put. Lo sendiri gimana sekarang?”
“Gue koas di rumah sakit bokap. Lo sendiri?”
Mahesa tersenyum mendengar pertanyaan Putra. Teman seangkatannya bahkan sudah menjalani koas. Sedangkan dirinya masih berkutat dengan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjananya.
“Lo kebanyakan kerja, sih. Makanya kuliah lo jadi keteteran.”
Seandainya Mahesa tidak kehilangan beasiswanya, tentu saja Mahesa tidak perlu bekerja. Namun nasi sudah menjadi bubur, Mahesa kehilangan beasiswa juga karena kesalahannya sendiri. Kesalahan yang membuat bapak harus banting tulang membiayai kuliah kedokteran dari hasil perkebunan teh yang tidak seberapa besar. Tubuh renta yang seharusnya menikmati hari pensiunnya, tapi harus bekerja demi anaknya yang tidak tahu terima kasih.
“Kelarin buruan. Biar bisa nyusul koas bareng gue.”
“Iya, gue usahain.”
“Ya udah, gue duluan, ya. Mau ketemu calon istri. Lo masih jomlo aja? Move on, dong.”
Lagi-lagi Mahesa hanya tersenyum. “Lo masih sama Ratih?”
Putra mengangguk senang mendengar nama kekasihnya disebut. “Yoi! Ya udah, gue duluan ya.”
Mahesa masih memperhatikan punggung Putra yang sedang mengantri di kasir, lalu tak berapa lama kemudian hilang di balik pintu swalayan. Bertemu Putra, membuatnya mengingat akan dirinya yang bodoh beberapa tahun lalu. Mahesa yang bodoh dan dibutakan oleh seorang wanita dan cinta. Kebodohan yang sangat disesalinya saat ini!
“Silakan, Mas. Bisa langsung bayar di kasir. Nanti struknya dibawa ke sini sebagai bukti pengambilan,” ujar petugas swalayan sambil memberikan nota.
Mahesa segera membayar, kemudian kembali untuk mengambil parsel buah dan makanannya. Setelahnya, Mahesa langsung pulang dan menyiapkan diri bersama bapak untuk makan malam di rumah Indira.
***
“Rumahnya besar ya, Sa,” kagum Bapak sesaat sebelum turun dari taksi.
Mahesa kemudian membantu bapak untuk turun dan berpindah ke kursi roda, lalu mendoronya hingga teras rumah Indira. Setelah dua kali bunyi bel, Bik Harsi menyambut Mahesa dan bapak, kemudian mempersilakan mereka masuk.
“Silakan duduk, Mas. Tuan, Nyonya, dan Non Indira masih siap-siap. Saya panggilin dulu, ya.”
Mahesa dan bapak mengangguk seraya tersenyum.
“Wah! Emang beda ya kalau rumahnya artis! Gede!”
“Rumah kita yang di perkebunan juga gede.”
“Rumah itu bukan milik kita sepenuhnya lagi. Sebagian udah punya bank. Kamu jangan lupa itu, Sa,” ujar Bapak sambil menepuk pundak Mahesa dan senyum yang tidak lepas dari wajahnya. “Tapi Bapak percaya kalau kita pasti bisa melunasi semuanya. Udah, ngapain ngomongin hal kayak gitu di rumah calon mertua kamu?”
“Maaf, Pak.”
“Udahlah, yang penting setelah ini kamu yang bener kuliahnya.”
Tak berapa lama kemudian, ketiga tuan rumah sudah hadir dan langsung menyapa Mahesa dan bapak. Setelah berkenalan dan sedikit mengobrol tentang pekerjaan bapak dan papa, mereka beranjak menuju meja makan untuk menyantap hidangan makan malam.
Makan malam berlangsung hangat, terlebih lagi papa dan bapak sepertinya sangat cocok. Mereka seperti teman lama yang dipertemukan kembali, dan tidak kehabisan topik obrolan sampai acara minum teh.
“Pa, Ma, aku sama Mahesa di halaman belakang ya.”
“Kalian emangnya mau ngapain di halaman belakang? Nyari jangkrik? Di sini ajalah, kita ngobrol.”
“Mama kayak enggak pernah muda aja.”
Semuanya tertawa menanggapi cibiran papa untuk mama, sedangkan mama pura-pura kesal dan langsung memakan kudapan di hadapannya.
“Kayaknya bakalan berhasil.”
“Apanya?” bingung Mahesa, sembari duduk di samping Indira.
Mereka kini tengah duduk di gazebo halaman belakang. Ditemani dua cangkir teh dan kudapan yang baru saja diantar oleh Bik Harsi.
“Rencana kitalah! Bapak, papa, sama mama udah cocok. Bahkan tadi siang mama udah pesen hal-hal buat nikahan kita. Mulai dari makanan sampai baju pengantinnya juga.” Indira menarik pandangannya dari langit malam, kini menatap Mahesa. “O iya, soal cincin tenang aja. Gue udah siapin kok.”
“Kamu … santai banget ngomongnya.”
“Hm? Emangnya gue harus gimana?” bingung Indira. “Oh, gue tahu! Harusnya gue grogi, kan? Terus panik. Biar kayak orang nikah beneran? Yaelah, Sa! Kita ini cuma bohongan, dan lo tahu sendiri kalau gue ini juga bisa akting. Jadi masalah kayak gini ya, gue anggep aja lagi syuting.”
Ya benar, ini semua hanya sandiwara. Anggap saja kamu sedang ikut casting FTV dan kebetulan lawan mainmu adalah Indira.
“Ehm, Indira.”
“Ya?”
“Soal cincin, bisa enggak kalau aku yang sediain?”
“Udah, lo tenang aja.”
“Tolong. Untuk yang satu itu, biar aku yang usahakan.”
“Emangnya lo dapet duit darimana?”
“Percaya sama aku. Aku enggak akan bikin kamu malu dengan cincin dariku.”
Indira menghela napas. Bukan masalah malu atau tidak. Indira hanya merasa akan menjadi beban bagi Mahesa untuk membeli sebuah cincin. Cowok di depannya ini hidupnya saja susah, bahkan rela menjual harga dirinya untuk menjadi suami bohongan Indira demi sejumlah uang yang enggak seberapa. Sekarang masih bersikeras mau beli cincin.
“Aku mohon. Demi sisa harga diriku.”
Damn! Apa Mahesa bisa membaca pikiran Indira? Melihat Mahesa dengan wajah memelasnya, akhirnya Indira mengalah dan setuju dengan permintaan Mahesa.
“Besok kamu kerja di kelab mulai jam berapa?”
“Jam tiga. Kenapa?”
“Kalau gitu, besok pagi kita pergi buat fitting baju.”
“Harus ya?”
Indira mengangguk. “Mama yang maksa.”
“Jadi besok kita pergi sama mama?”
“Iya. Makanya besok lo jemput gue ke apart, habis itu naik mobil gue buat jemput mama, terus langsung ke butiknya.”
Memangnya Mahesa bisa menolak? Yang bisa Mahesa lakukan sekarang hanya menyetujui apapun yang menjadi keputusan Indira. Dia di sini adalah sebagai anak buah yang digaji, hanya statusnya saja yang merupakan suami Indira—itupun bohongan.
Pertemuan dua keluarga berjalan lancar, dan setelah melalui pembicaraan intens, bapak setuju dengan tanggal pernikahan yang ditetapkan oleh keluarga Indira—tanggal yang seharusnya menjadi pernikahan Indira dan Adrian.
Ketika malam semakin larut, saat itu pula Mahesa dan bapak memutuskan untuk pamit. Diantar Indira yang juga hendak kembali ke apartemen, Mahesa dan bapak bisa pulang lebih cepat.
“Mau mampir, Nak?” tanya Bapak pada Indira yang membuka pagar rumah Mahesa.
“Ehm. Mungkin lain kali, Pak. Soalnya sudah malam juga.”
“O iya-iya, bener juga. Hati-hati ya, Bapak masuk dulu,” ujar Bapak sambil memutar roda kursinya sendiri. “Setelah ngobrol sama Nak Indira, jangan lupa kunci pagarnya, Sa.”
“Iya.”
“Ya udah, gue pulang dulu,” pamit Indira hendak berbalik menuju mobil. Namun, Mahesa lebih dulu mencekal tangannya. “Kenapa?”
“Ehm, aku mau ngucapin terima kasih buat semuanya.”
“Sama-sama. Lagian lo juga bayar pake tenaga lo, kan? Jadi kita bisa impas, jangan ngerasa berhutang budi.”
“Tapi aku tetap pengen ngucapin terima kasih ke kamu. Kalau enggak ada tawaran dari kamu, aku enggak tahu gimana dengan kondisi bapak sekarang.”
“Iya. Ya udah, gue balik dulu. Jangan lupa besok jam sembilan jemput gue di apart.”
“Ok.” Mahesa membukakan pintu mobil untuk Indira dan mempersilakan wanita itu masuk. “Hati-hati nyetirnya,” pesan Mahesa sebelum menutup pintu mobil, kemudian melambaikan tangan, dan berjalan masuk ke pekarangan rumahnya.
***