Keesokan harinya, Indira terbangun dan tidak menemukan Mahesa di kamarnya. Semalam, Indira harus memaksa Mahesa untuk tidur seranjang dengannya. Sederhana, karena Indira kasihan melihat Mahesa yang meringkuk di sofa kecil.
Indira beranjak dari kasur, lalu membersihkan dirinya, sebelum akhirnya keluar kamar. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Mahesa.
“Sekarang demen banget ngilang! Padahal masih pagi.”
Indira melangkah menuju dapur untuk mengambil air minum, dirinya dikejutkan dengan suara berdebam dan teriakan kesakitan dari ruangan di dekat dapur. Indira bergegas ke sana dan menemukan Mahesa meringis kesakitan.
“Pagi, Indira.”
Sempat-sempatnya pria itu menyapa Indira sambil menahan sakit di kakinya, karena tertimpa kayu.
“Ngapain, sih? Gue kan udah bilang, ada orang yang nanti datang bersihin lagi. Lo demen banget deh nyari perkara! Demen nyari susah!”
“Ya maaf, aku cuma ngerasa enggak enak aja. Daripada bayarin orang, aku kan juga bisa bersihin sendiri.”
“Kalau lo bersihin sendiri, yang ada kelarnya bulan depan!” geram Indira, seraya hendak berlalu. Namun, dia kembali menatap Mahesa. “Jangan-jangan lo sengaja biar bisa lama-lama tidur bareng gue?”
“Aku enggak ada niat ke situ. Jadi jangan mikir macem-macem.”
Indira sedikit membungkuk untuk membantu Mahesa berdiri, lalu memapah tubuh jangkung suaminya menuju sofa di ruang tamu. Indira segera mengambil kotak obat yang dia simpan di dalam laci nakasnya, kemudian kembali dan mulai membersihkan luka di jari kaki Mahesa.
“Kamu udah baikan?”
“Memangnya gue mesti gimana?”
“Maksud aku soal—”
“Bukannya semalam kita udah setuju buat enggak ngebahas Adrian lagi? Dia itu masa lalu sampah gue. Entar kalau gue ketemu sama dia lagi, gue bakal langsung lari.”
“Yakin?” goda Mahesa.
“Ih! Ngeselin banget sih lo!” kesal Indira, seraya menekan luka di kaki Mahesa, membuat pria itu meringis kesakitan.
“Biar aku aja,” pinta Mahesa sambil mengambil kapas dan obat dari tangan Indira. “Nanti setelah ini, aku buatin kamu sarapan.”
“Enggak usah. Gimana kalau kita makan di luar?”
“Kamu enggak kerja?”
Indira menggeleng. “Olive ngasih gue liburan beberapa hari. Katanya sih, biar kita bisa lebih terbiasa bersama.”
“Oh.”
“Olive kadang bener juga, sih. Mungkin kapan-kapan kita bisa latihan gimana cara tampil sebagai suami istri di depan umum, terutama keluarga kita. Biar akting kita lebih menyakinkan.”
“Memangnya minggu kemarin, kurang menyakinkan?”
“Menurut lo? Kalau emang menyakinkan, papa enggak akan sampai nemuin lo di lobi! Mama juga enggak bakalan ceramahin gue. Lo sendiri juga cerita kalau bapak nanya-nanyain lo juga, kan?”
“Iya. Tapi kayaknya kamu yang aktingnya kurang menyakinkan.”
“Gue?” tanya Indira tak terima. “Gue ini aktris ya! Akting gue udah terbukti. Yang ada juga lo yang aktingnya bapuk!”
“Mana mung—” Mahesa terlalu kaget untuk menyelesaikan kalimatnya. Karena entah sejak kapan, dan apa yang dipikirkan Indira, wanita itu tiba-tiba saja mendorong tubuh Mahesa hingga rebah di sofa. Lalu Indira sudah berada di atas tubuhnya, menindih Mahesa.
Indira tetap diam dengan kedua netra yang menatap lekat milik Mahesa. Membuat pria yang berada di bawahnya ini balas menatapnya—lebih tepatnya karena bingung dengan sikap Indira.
“Sa,” panggil Indira yang lebih mirip desahan, apalagi telunjuk Indira yang juga ikut nakal. Berkelana menyingkirkan helai rambut yang menutupi keningnya. “Kalau dilihat-lihat, lo ganteng juga.”
Mahesa meneguk ludahnya. Dalam diamnya, otaknya bepikir cepat menganalisa apa yang sedang dirinya dan Indira lakukan saat ini. Terlebih Indira, kenapa wanita ini tiba-tiba saja menindihnya? Apakah Indira ingin mengajaknya untuk berhubungan s*****l layaknya suami istri? Hey! Itu tidaklah aneh, kan? Toh, mereka sekarang adalah pasangan suami istri yang sah, kan? Entahlah, semakin Mahesa mencari jawabannya, dia semakin bingung sendiri.
“Gue enggak menarik ya, Sa?”
“Hm?”
“Kemarin gue juga kayak gini ke lo, lonya biasa aja. Atau jangan-jangan lo …”
“Aku suami bayaran profesional yang pernah kamu sewa. Jadi …” Mahesa meraih telunjuk Indira dan membawanya ke pelipisnya. “Di sini udah aku tanem dengan akar yang kuat, kalau hubungan kita memang sebatas ini. Enggak lebih.”
Indira menarik telunjuknya, lalu kembali duduk dan membereskan kotak obat.
“Buruan masak!”
“Katanya makan di luar.”
“Enggak jadi.”
“Jadi aja, deh. Hari ini aku juga mesti ke kampus buat daftar ulang.” Mahesa melirik jam dinding di belakang Indira. “Kayaknya enggak sempet kalau buat sarapan. Nanti kamu pesen makan aja, ya?”
“Gue ikut lo aja ke kampus.”
“Hah?”
“Kenapa kaget gitu? Enggak boleh?”
“Bukannya enggak boleh. Tapi—”
“Daripada gue sendirian di sini, terus mikirin yang enggak-enggak, bagusan gue ikut lo, kan?”
“Panggil aja Olive.”
“Dia ngurus artis lain.”
Mahesa terlihat berpikir sejenak, tapi melihat kondisi Indira saat ini, memang benar sebaiknya dia tidak sendirian di rumah. Apalagi semalam Indira terus mengigau tentang Adrian tanpa dirinya sadari.
“Ya udah, sana buruan mandi.”
“Ok, Bos!” Indira mengangguk, lalu segera bersiap. Tak lama kemudian, Indira sudah selesai berpakaian rapi dan menyusul Mahesa yang juga sudah siap di ruang tamu.
“Kita makan setelah aku daftar ulang ya. Aku enggak enak kalau sampai bikin nunggu dosen yang bantuin aku.”
Indira mengangguk setuju. Kemudian keduanya langsung melaju menuju kampus Mahesa dengan mobil Indira. Jarak tempuh antara apartemen Indira dan kampus Mahesa sekitar 50 menit perjalanan.
“Kamu yakin mau ikut turun juga?”
“Terus ngapain gue ikut kalau harus cengok di mobil?”
“Bukan begitu. Maksudku, kabar soal pernikahan kita masih hangat di teve. Aku yakin, hampir semua orang di kampus ini tahu itu. Bagaimana kalau nanti tiba-tiba banyak orang minta foto sama tanda tangan? Kamu enggak masalah?”
Indira terlihat berpikir sejenak, lalu menoleh ke kursi belakang, dan meraih sebuah topi dan syal yang tergeletak di kursi. Kemudian dengan cepat, Indira memakai kedua benda itu.
“Gimana?”
Sebenarnya Mahesa tidak yakin kalau topi dan syal adalah alat yang mempan untuk penyamaran Indira.
“Cuaca lagi terik, kamu bakal kepanasan pake itu.”
“Ruang kelas kampus lo ada AC-nya, kan?”
Mahesa mengangguk.
“Ya udah, entar gue ikut masuk. Emang kita bakal seharian di luar?”
Mahesa tidak punya pilihan lain. Namun, rencana tinggalah rencana. Begitu Mahesa turun dari mobil saja, beberapa mahasiswa yang juga sedang ada di parkiran langsung menatapnya sambil berbisik satu sama lain. Tentu saja, mereka akan tahu, kalau orang yang sekarang berjalan di sebelah Mahesa adalah Indira. Bukankah Mahesa suaminya? Bahkan saat di dalam lift sekalipun, penyamaran Indira semakin tidak berguna.
“Sok-sokan ditutupin. Keliatan kali! Udah berasa jadi artis terkenal dan pede gila ada yang minta foto sama dia, gitu?” cibir seorang cewek dengan dandanan bak babi—eh, barbie, maksudnya.
“Tau! Sok kecakepan! Palingan juga bener yang di bilang media,” sambung temannya yang sedari tadi tidak berhenti bercermin.
“Eh, Sa! Lo beneran bapak dari bayi yang ada di perut nih artis, bukan? Pasti lo dijebak ya?! Mana ada cewek macam dia level sama cowok macam lo?” timpal yang lainnya.
“Bukannya lo yang enggak pantes buat dia, Sa. Tapi dia yang enggak pantes buat lo. Lo tahu sendiri, kan, kalau artis itu biasanya simpenan pejabat. Apalagi sekelas Indira gini, yang semuanya dijabanin sama dia. Bisa banyak proyeknya, ya pasti karena main-main juga.”
Mahesa bisa merasakan tangan yang digenggamnya saat ini semakin kencang meremas. Mahesa menoleh dan mendapati Indira yang semakin menyembunyikan wajahnya di balik syal.
“Lo cuti kuliah, tau-tau malahan kawin sama cewek. Mana sama cewek macam Indira lagi!”
Cukup! Indira sudah tidak tahan dengan cibiran yang dialamatkan padanya. Media s****n! Seburuk itukah citra yang selama ini disematkan pada Indira? Artis murahan? Simpanan pejabat? Hamil di luar nikah?
Indira melepaskan topi, menarik lepas syalnya. Membiarkan rambut panjangnya tergerai indah, lalu dengan percaya diri tersenyum pada para gadis bermulut ular yang sedari tadi tidak berhenti mencibirnya. Ada setitik rasa bangga dalam diri Indira, saat ekspresi kaget bercampur kagum terpampang di wajah-wajah mereka—meski sekilas.
“Indira adalah istriku. Aku yang paling tahu dia seperti apa!” tegas Mahesa, lalu menekan tombol untuk segera membuka pintu lift. Dan belum sempat Indira menunjukkan taringnya, pintu lift sudah terbuka, dan Mahesa sudah menariknya keluar.
“Apa-apaan, sih?! Gue tuh mau ngasih pelajaran sama mereka!”
“Jangan ribut di sini. Kamu lupa sekarang ada di mana?”
Indira melihat sekelilingnya. Beberapa pasang mata menatapnya penasaran dari kejauhan.
“Tapi yang diomongin mereka itu enggak ada yang bener, Sa!”
“Aku tahu.” Mahesa mengambil topi di tangan Indira, lalu kedua lengannya terulur di samping kepala Indira. Jemarinya dengan telaten mengumpulkan rambut Indira, memasukkannya ke lubang pengerat topi, lalu memakaikan topi pada Indira. “Makanya, balas ucapan mereka pakai cara yang elegan. Kalau kamu marah, kamu enggak beda sama mereka.”
“Cara elegan?”
Mahesa mengangguk. “Kamu tampar balik omongan mereka ataupun orang julid lainnya dengan segudang prestasi kamu. Siniin syalnya, enggak usah dipakai. Panas.”
Mahesa memasukkan syal Indira ke tasnya.
“Selama ini emang masih kurang?” gerutu Indira.
“Tunjukin yang lebih dari sekarang. Atau …”
“Atau apa?”
“Kamu juga bisa tunjukin dengan cara lain.”
“Cara lain? Apaan contohnya?”
“Hem, misalnya jadi istri yang baik buat aku,” jawab Mahesa sembari memainkan alisnya dengan genit.
“Dih! Siapa lo!” sembur Indira, lalu segera melangkah pergi.
“Suami kamu!” sahut Mahesa yang menyusul langkah Indira, lalu menggandeng tangannya menuju ruang dosen.
Perlakuan yang berbeda didapat Indira di ruang dosen. Tidak seperti mahasiswa kedokteran yang ditemuinya di lift tadi, dosen-dosen di jurusan malahan senang bertemu dengan Indira. Bahkan, sedari Indira masuk, para dosen—baik tua maupun muda—berlomba mengajaknya berfoto dan mengobrol.
“Duh, aslinya cantik banget ya!”
“Si Mahesa itu habis ngamal ibadah apaan ya, kuliah enggak kelar-kelar tapi bisa nikah sama Indira?”
“Mbak Indira, bisa elus perut saya, enggak?” tanya seorang dosen yang sedang hamil. “Menurut USG hasilnya perempuan. Siapa tahu, nanti bisa secantik Mbak Indira.”
“Oalah, Bu Dinda mana bisa kayak gitu. Dokter kok percaya mitos!”
“Ya, namanya juga usaha, Kanda! Kan mumpung belum terlanjur jelek kayak Kanda!”
“Halah, Bu Dinda ini lho! Jelek-jelek gini juga bapaknya bocah yang ada di perutnya Bu Dinda.”
“Biarin aja, Mbak Indira. Mereka berdua ini emang pasangan suami istri lebay!” ujar dosen yang lainnya sambil menyodorkan buku anatomi untuk ditanda tangani Indira.
Kerumunan para dosen baru bubar saat Mahesa selesai mengurus semua keperluannya. Dengan senyum ramah, mereka berpamitan dan melangkah kembali menuju mobil. Kali ini, Indira berusaha tidak peduli dengan orang-orang yang masih terus memandangnya. Benar kata Mahesa, dia harus membalas mereka dengan cara elegan!
“Gimana?” tanya Indira setelah mereka melaju menuju mal untuk sarapan merangkap makan siang.
“Semua udah beres. Dua minggu lagi semester baru udah dimulai. Kayaknya aku bakal sering pulang telat. Soalnya dosen pembimbingku tadi pengen aku segera menyelesaikan tugas akhir.”
“Enggak apa-apa. Lo fokus kuliah, gue juga akan fokus ke kerjaan.”
Tak berapa lama, mereka sudah sampai di mal. Keduanya langsung menuju sebuah restoran dan memilih tempat yang berada di tengah. Siang ini lumayan ramai, karena bertepatan dengan jam makan siang kantoran. Setelah memesan makanan, Mahesa dan Indira lebih memilih untuk sibuk dengan ponselnya masing-masing sembari menunggu menu dihidangkan. Hingga …
“Mahesa?”
Mahesa dan Indira menoleh pada sosok wanita yang berdiri di samping Mahesa. Wanita itu tersenyum manis seraya mengulurkan tangannya untuk dijabat Mahesa. Tapi lawan bicaranya malah mematung diam dengan ekspresi wajah yang sulit dijelaskan.
“Kamu beneran Mahesa, kan?” tanya wanita itu lagi.
“Mbak siapa, ya?” tanya Indira akhirnya, mewakili dirinya sendiri dan Mahesa untuk bersikap ramah.
“Hai, apa kabar?” Wanita itu mengulurkan tangannya pada Indira. “Aku Ajeng. Aku—”
“Teman kuliah,” sahut Mahesa. “Tapi karena aku cuti, makanya dia lebih dulu lulus.”
“Oh.” Indira membalas uluran tangan Ajeng. “Gue Indira.”
“Kayaknya wajah kamu enggak asing, ya?”
“Gue kadang suka nongol di teve.”
“Ah! Pantesan aja! O iya, kamu sekarang sibuk apa, Sa?”
“Aku … aku masih ngurus TA.”
“Hem, kabar bapak gimana?”
“Sehat.”
“Eh, silakan duduk, Mbak,” tawar Indira, tapi ditolak secara halus oleh Ajeng, karena dia sudah ada janji dengan kawannya di lain meja.
“Lain kali saja. O iya, Sa, boleh minta nomor telepon kamu yang baru? Aku mau masukin kamu ke grup alumni.”
“Buat apa? Aku kan belum lulus.”
“Enggak apa-apa. Banyak kok yang belum lulus juga join. Kita, kan seangkatan, jadi enggak masalah. Biar kalau ada acara kumpul-kumpul bisa saling kasih kabar.”
“Tapi—”
“Udah, sih kasih aja. Pelit amat!”
Mahesa mencebik pelan mendengar omelan Indira. Akhirnya Mahesa pun menurut dan menyebutkan nomor ponselnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Ajeng pamit untuk bergabung bersama kawan-kawannya.
Tak berapa lama, makanan yang dipesan Mahesa dan Indira sudah terhidang di meja mereka. Keduanya makan dalam diam. Suasana mendadak menjadi canggung di anatara mereka. Indira mengira, Mahesa pasti kesal, lantaran dirinya memaksa sang suami untuk memberikan nomor ponselnya pada Ajeng.
Sedangkan, hal yang dirasakan Mahesa bukanlah rasa kesal itu, melainkan rasa sedih yang teramat. Bertemu dengan teman kuliah seangkatannya dulu, membuat Mahesa teringat akan fase kelam dalam hidupnya yang sangat ingin dilupakan. Fase yang membuatnya hampir kehilangan segalanya, hingga akhirnya dia bertemu dengan Indira yang menawarkan pernikahan sebagai solusi masalah mereka. Mahesa harus berterima kasih pada wanita yang saat ini hendak menikmati hidangan penutup. Senyumnya merekah, menatap es krim di hadapannya, dan tangannya sudah siap untuk menyuap, saat seseorang mencekalnya.
“Kamu gila? Kamu alergi kacang, Dir!”
***