L I M A B E L A S

1876 Words
“Lo gimana, sih? Lo suaminya, masak enggak tahu kalau Indira itu alergi sama kacang?! Adonan es krim ini tuh ada kacangnya! Untung aja gue lihat! Lo tahu, gimana Indira kalau—” “Lia, udah. Kan, guenya enggak apa-apa.” “Enggak bisa gitu, Dir! Lo juga, kenapa enggak ngasih tahu suami lo, kalau lo punya alergi?!” marah Lia sambil menunjuk wajah Indira dan Mahesa bergantian. “Iya-iya. Gue yang salah. Udah, dong. Malu dilihatin orang,” desis Indira berusaha menenangkan amarah sepupunya. “Udah, sini duduk. Makan, biar enggak rese lo.” “Gue ini ngasih tahu yang bener ke suami lo ya, Dir. Gue—” “Maaf.” Mahesa mengambil gelas es krim di tangan Natalia. “Lain kali aku akan lebih berhati-hati saat memesankan makanan untuk Indira. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya.” “Udah-udah. Yuk, sini duduk. Gue traktir lo makan,” ujar Indira sembari menarik kursi, tapi Lia urung untuk duduk.  “Sori! Gue udah ada janji!” tolak Lia. “Gue mau ketemu temen.” “Ketemu temen? Di mana?” “Tuh!” Lia mengangguk ke bagian dalam restauran, tepatnya di pinggir jendela, di mana tempat Ajeng duduk. “Lo kenal sama Ajeng?” Lia mengangguk. “Lo kok tahu soal Ajeng?” “Oh, itu tadi—” “Indira, aku baru ingat kalau hari ini aku harus ke rumah bapak. Kamu mau ikut?” “Ke rumah bapak? Ngapain?” “Ehm, bapak kemarin nelpon pengen ketemu kamu.” “Kenapa?” “Karena kamu menantunya.” Jawaban Mahesa membuat Indira termenung untuk beberapa saat. Sikap Mahesa yang ada di hadapannya sekarang, sama seperti sikapnya saat di makam dan setelah acara nikahan. Indira menatap penuh kebingungan, dan berusaha mencari jawaban. Namun, dia sama sekali tidak menemukan alasan yang tepat. Kemudian tanpa menunggu lagi, Mahesa sudah beranjak untuk membayar makanan mereka dan menariknya pergi dari restauran. “Lo kenapa, sih? Aneh banget.” “Aneh gimana?” tanya Mahesa sambil terus fokus ke jalanan. “Ya aneh. Sekarang lo jadi suka ngatur, lo juga suka kesel sendiri enggak jelas.” “Kapan aku kesal?” “Sekarang!” “Sekarang?” Indira mengangguk. “Enggak cuma sekarang, pas di makam ibu juga. Terus kemarin pas selesai acara nikahan, terus sekarang. Lo nyesel dengan semua sandiwara kita ini?” “Aku enggak punya hak untuk menyesali ini semua. Lagipula aku melakukan ini semua demi kesembuhan bapak.” “Terus kenapa lo marah-marah?” “Aku enggak marah. Justru sepupu kamu yang tadi marah, kan? Karena aku pesenin kamu es krim yang ada kacangnya.” “Kamu marah, karena Lia?” “Enggak.” “Lalu?” “Aku …” Indira memilih diam, menunggu Mahesa menyelesaikan kalimatnya. Namun, Mahesa malah lama terdiam dengan tatapan lurus ke depan. “Sa—” “Aku takut kamu kenapa-kenapa.” Sebuah jawaban yang tidak pernah Indira antisipasi. Mahesa mengkhawatirkan dirinya? Indira tidak pernah menyangka hal itu! Ah, pasti ini hanya karena kewajiban Mahesa sebagai suami sewaan profesional, kan? Sangat tidak mungkin kalau Mahesa mengkhawatirkannya karena alasan lainnya. Terlebih, Indira masih mengingat dengan jelas, bagaimana reaksi dan kalimat Mahesa setiap kali Indira mencoba memancing dan menggodanya. Pria itu terang-terangan menolak Indira. “Sa, lo enggak …” Indira mengambil napas sejenak. “Lo enggak lagi jatuh cinta sama gue, kan?” Kali ini pertanyaan Indira berhasil menarik tatapan Mahesa. “Enggak. Kenapa kamu mikirnya begitu?” “Ya, gimana enggak? Lo enggak nyadar dengan sikap dan jawaban lo barusan? Yang khawatir gue kenapa-kenapa?” “Apa salah kalau aku khawatir sama kamu?” “Ya enggak, sih. Cuma …” “Kalau kamu kenapa-kenapa, enggak cuma aku yang repot. Tapi juga papa sama mama. Bapak juga pasti ikutan khawatir.” Baiklah. Jadi, bukan Indira yang benar-benar dikhawatirkan Mahesa, tapi papa, mama, dan bapak. Sadar diri, Indira! Hening yang kemudian berada di antara keduanya. Tidak ada lagi yang berbicara, sampai mereka di rumah bapak. “Wah, ada apa ini?” “Oh, kita mau main. Katanya Mahesa kangen sama Bapak,” jawab Indira sambil menyalami tangan bapak. “Ini buat Bapak,” lanjut Indira sambil menyerahkan separsel buah yang dibelinya dalam perjalanan. “Ayo duduk, Nak. Maaf, lho masih berantakan rumahnya. Soalnya sekarang enggak ada yang beresin.” Bapak melirik Mahesa yang baru saja masuk ke rumah, lalu memberi salam, dan langsung menuju dapur. “Eh, bukan maksud Bapak nyindir kamu lho, Nak.” Indira tersenyum. “Enggak kok, Pak. Tapi emang sepertinya Mahesa itu rajin banget ya anaknya? Soalnya di apartemen juga seneng beres-beres, saya malahan merasa kalah sama Mahesa.” “Sejak ibu meninggal, Mahesa yang pegang semua kerjaan di rumah. Kalau Bapak yang kerja di luar, kan waktu itu Mahesa masih kuliah.” Apa Indira akan bersalah, jika dirinya masih penasaran dengan penyebab kematian ibu? Meskipun Mahesa pernah mengatakan bahwa ibu meninggal karena sakit? Tapi Indira merasa Mahesa tidak sepenuhnya jujur. Namun, kenapa Indira jadi ikut campur seperti ini? Mahesa saja tidak peduli dengan urusannya, kan? Seharusnya dirinya pun bersikap profesional seperti Mahesa! “Kalian tadi habis darimana?” “Oh, kami dari kampus, Pak.” “Kampus?” “Iya. Mahesa baru selesai daftar ulang dibantu dosennya, buat ikut kuliah semester depan.” “Mahesa kuliah lagi? Kok Mahesa enggak cerita?” “Mahesa belum sempet, Pak. Kemarin kan sibuk buat persiapan nikah, makanya lupa terus kalau mau cerita ke Bapak,” jawab Mahesa yang bergabung bersama di ruang tamu dengan tiga gelas berisi teh. “Bapak senang, kamu mau nerusin kuliah lagi, Sa. Tapi, apa Nak Indira enggak keberatan?” “Oh, saya malahan seneng, Pak. Jadinya Mahesa bisa menggapai cita-citanya. Lagian sayang, kan, tinggal TA. Setelah itu bisa koas.” “Ya sudah, kalau itu keputusan kalian berdua. Bapak ikut saja.” Siang itu, Indira dan Mahesa, beserta bapak menghabiskan waktu dengan membicarakan masa kecil Mahesa. Bahkan bapak menunjukkan foto-foto Mahesa sewaktu kecil, yang membuat Indira gemas. ***  “Kenapa senyum-senyum?” tanya Mahesa saat mereka dalam perjalanan pulang. “Enggak. Kepengen ketawa aja kalau inget foto kamu waktu kecil. Apalagi yang nangis gara-gara kalah lomba 17-an. Terus maksa minta hadiahnya yang juara satu,” kekeh Indira. “Memangnya kamu enggak pernah kayak gitu.” Indira menggeleng sebagai jawaban. “Boro-boro ikutan lomba 17-an. Nonton teve atau main gim aja, gue jarang. Gue harus les sana-sini, prestasi nomor satu buat papa dan mama.” “Makanya kamu waktu itu bohong soal kerjaan aku?” “Itu salah satu alasannya.” Indira menghela napas. “Tapi semenjak gue kuliah, papa dan mama ngasih gue kebebasan buat nentuin jalan hidup, and here I am!” Setelah sampai, Mahesa mampir sebentar ke apotik di dekat apartemen. Sedangkan Indira memilih langsung naik ke lantai apartemennya. Di depan unitnya, kejutan sudah menyambut Indira. Sosok yang kemarin dihindarinya, sudah berdiri di sana. Tersenyum—seperti tidak memiliki rasa bersalah—padanya. “Dira.” “Ngapain lo ke sini?” “Kita perlu ngomong.” “Enggak ada yang perlu diomongin lagi. Lo lupa kalau gue udah nikah?” geram Indira, masih terpaku di tempatnya. “Dira, gue mau—” “Berhenti di sana! Melangkah sekali lagi, gue bakal laporin ke polisi!” “Ok. Tapi kasih waktu kita buat ngobrol.” “Enggak ada lagi kita!” Adrian seolah tidak peduli dengan ancaman Indira, pria itu mengikis jarak keduanya. Meraih tubuh Indira dan memeluknya. Tidak peduli lagi pada Indira yang meronta, dan memukul punggungnya berulang kali. Bahkan Adrian tidak kuasa untuk tidak mencium puncak kepala Indira dan menghidu aroma tubuh yang dulu selalu ada di sampingnya. “Lepasin gue, Berengsek!” “Enggak. Sebelum lo mau ngobrol sama gue.” “Lepasin!” Adrian seolah tuli. Pria itu terus memohon agar Indira mengabulkan permintaannya. “Lepaskan istri saya!” perintah Mahesa setenang mungkin. Pelukan Adrian mengendur, tapi tetap memeluk Indira. Kepalanya mendongak dan mendapati Mahesa berdiri di depan pintu lift. “Lepasin Indira!” ulang Mahesa, masih berusaha tenang. Adrian bergeming. Indira meronta. “Gue cuma mau ngobrol sama Dira.” “Tidak seperti itu yang saya lihat.” “Oh, maksud lo ini?” Adrian melirik ke tangan kanannya yang masih merangkul erat pundak Indira. “Kami hanya mengucapkan salam.” “Tidak seperti itu yang saya lihat.” Mahesa menghela napas. “Jangan sampai saya mengulangi untuk ketiga kalinya, kalau Anda tidak ingin mendapatkan piring cantik dari saya.” Adrian menurut, lalu menarik lengannya. Tanpa berpikir dua kali, Indira langsung berlari menuju Mahesa. “Jika Anda ingin bertemu dengan Indira—” “Lo enggak tahu siapa gue?” “Saya tidak perlu tahu siapa Anda. Yang pasti, istri saya tidak ingin bertemu, apalagi mengobrol dengan Anda. Jadi …” Mahesa menekan tombol lift, dan pintu terbuka. “Silakan, lift ini sedang menunggu.” Untuk beberapa lama, tidak ada yang bergerak. Hening mencekam menyelimuti lorong apartemen antara lift dan pintu apartemen Indira. Bukannya melangkah menuju lift, Adrian malah mundur dan kembali berdiri di depan pintu apartemen Indira. “Gue enggak akan ke mana-mana, sebelum ngomong sama Indira.” “Sayang,” panggil Mahesa lembut pada Indira yang menggamit lengannya. “Kamu mau ngobrol sama dia?” Indira menggeleng cepat sebagai jawaban. “Sudah tahu jawaban istri saya, kan?” Melihat Adrian yang tidak peduli dengan apapun keputusan Mahesa dan Indira, Mahesa merogoh ponselnya di saku celana dan menekan beberapa nomor. “Saya bisa laporkan Anda ke polisi,” ancam Mahesa sambil menunjukkan layar ponselnya. “Dengan sekali tekan, jika Anda belum pergi dari sini.” “Gue minta maaf. Mugkin yang barusan, gue kelewatan banget.” Adrian melangkah mendekati Mahesa. “Tapi gue minta tolong, gue mau ngobrol sama Dira.” “Istri saya—” “Sebagai teman.” Mahesa bisa merasakan cekalan Indira di lengannya semakin mengetat. Istrinya benar-benar sedang ketakutan dan tidak sudi untuk berbicara dengan Adrian. “Apalagi yang ingin Anda bicarakan? Hubungan kalian sudah selesai semenjak Anda meninggalkannya. Sekarang Indira adalah istri saya. Apapun yang terjadi pada Indira, akan menjadi tanggung jawab saya.” “Gue cuma mau ngomong doang sama dia!” “Tapi Indira tidak mau itu. Jadi, permisi, kami mau istirahat.” Adrian bergeming. Mahesa terpaksa mendorong tubuh Adrian, tapi pria itu tidak terima dengan perlakuan Mahesa. Adrian langsung menepis tangan Mahesa dan melayangkan pukulan ke wajahnya. Mahesa sigap menangkisnya, kemudian memutar tubuh Adrian dan memojokkannya ke tembok. Kedua tangan Adrian terkunci di punggungnya, membuatnya sulit untuk bergerak. “Sayang, kamu masuk duluan aja.” Indira langsung membalikkan badan dan masuk ke apartemen. Meninggalkan Adrian dan Mahesa yang masih adu tenaga. Setelah Adrian tenang, Mahesa perlahan melepaskan kunciannya, kemudian mundur menjauh. “Tolong jangan ganggu Indira. Kalau kamu datang hanya untuk membuka luka lamanya, sebaiknya jangan.” “Gue dateng, karena ingin memperbaiki hubungan gue sama dia.” “Memperbaiki hubungan?” Adrian mengangguk, seraya mengusap pergelangan tangannya. “Gue mau jelasin semuanya.” “Tapi Indira yang sekarang adalah istri saya.” “Apa gue kelihatan peduli dengan fakta itu?” “Harus. Sekali lagi, karena dia adalah istri saya.” *** Cerita ini sudah berhasil ditamatkan di: w*****d (sebagian unpublished), k********a (Full Version), Innovel (Full Version). Wattpad : bininyachrisevans Innovel:bininyachrisevans Karyakarsa:KOMOREBI SEMUA BAB EKSTRA DAN SPIN OFF HANYA BISA DIBACA DAN DIUNDUH DI APLIKASI ATAU WEBSITE k********a! .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD