Mahesa baru saja melingkari angka di kalender kamarnya. Besok, statusnya tidak lagi lajang, melainkan beristrikan seorang Indira. Mahesa tidak pernah tahu, bahwa hidupnya bisa selucu ini. Menolong seorang wanita mabuk yang kemudian melamarnya.
Namun bohong rasanya, jika Mahesa tidak merasa bersalah pada bapak yang sedang mencoba pakaiannya di ruang tamu. Wajah tua itu sedari tadi tidak berhenti tersenyum di depan cermin. Juga memuji dirinya sendiri yang terlihat lebih muda dengan pakaian yang dibelikan Indira. Bisa apa Mahesa, selain berusaha membuat bapak tersenyum—meskipun hanya dalam waktu tiga tahu. Selepas itu—ah, sudahlah! Itu dipikirkan nanti saja.
“Sa, telepon kamu tuh bunyi terus dari tadi,” kabar Bapak dari luar.
Mahesa segera keluar kamar dan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja tamu. Panggilan dari Olive—tumben.
“Ya, Mbak?”
Bapak yang tinggal mengancingkan kancing terakhir di bagian bawah mengerutkan keningnya, melihat putranya terdiam lama. Saat hendak menghampirinya, Mahesa tiba-tiba saja pamit, lalu pergi begitu saja tanpa penjelasan.
Itu tadi telepon dari Olive. Saat telepon tadi, Olive sedang berada di rumah Indira untuk membantu persiapan acara pernikahan besok. Namun, saat dirinya akan mengantarkan makan siang untuk Indira ke kamar, dia tidak menemukan calon pengantinnya di manapun. Bahkan ponsel Indira juga tidak aktif.
Mahesa tidak tahu ke mana harus mencari calon istrinya. Di dalam otaknya, hanya ada satu tempat yang terpikir, apartemen. Dengan motornya, Mahesa melaju menuju apartemen Indira. Berbekal akses yang telah diberikan Indira, Mahesa dengan mudah masuk ke sana.
Mahesa menghela napas lega saat menemukan Indira di sofa. Gadis itu berbaring di sana, terlihat sangat lelap—mungkin karena sebotol wine yang dihabiskannya. Mahesa berpikir untuk membiarkan Indira lebih lama terlelap, saat dirinya sibuk merapikan apartemen. Entah apa yang dilakukan calon istrinya ini, tapi sepertinya bukan hal baik. Dilihat bagaimana botol wine kosong dan sisa piza yang ada di meja. Belum lagi dengan bekas air mata di pipi Indira yang masih sangat kentara.
Mungkin apa yang dilakukan Mahesa saat ini bukanlah hal besar, hanya membereskan apartemen Indira dan memasak sarapan untuknya. Namun, setidaknya Mahesa berharap hal kecil dan tidak penting seperti ini bisa membantu Indira untuk merasa lebih baik. Sesederhana itu.
“Iya, Mbak. Indira ada di apartemen. Sebaiknya jangan, dia sedang butuh waktu sendiri. Mungkin terlalu gugup buat acara besok.”
Setelah menerima panggilan dari Olive, Mahesa segera membawa masakannya yang telah siap ke depan Indira. Perlahan dia membangunkan Indira, gadis itu mengerang sembari memijat pelipisnya. Pasti kepalanya pening, karena masih ada pengaruh alkohol.
“Lo, kenapa ada di sini?”
“Semua orang nyariin kamu pagi ini. Kamunya ditelepon enggak pernah ngangkat,” jawab Mahesa sambil membantu Indira duduk, lalu menyodorkan segelas air mineral hangat. “Minum dulu, biar enakan.”
Indira menerima gelas itu dan beberapa kali tegukan air membasahi tenggorokannya. “Gue baik-baik aja, kok. Mereka aja yang berlebihan.”
“Mereka enggak berlebihan. Mereka khawatir sama kamu. Mereka khawatir, karena sayang dan peduli sama kamu.”
“Gue tahu,” lirih Indira, lalu mengangguk ke arah nasi goreng yang ada di meja. “Buat gue?”
Mahesa mengangguk seraya memberikan sepiring nasi goreng buatannya pada Indira. Wanita di sebelahnya ini langsung menyuapkan sendok demi sendok dengan lahap ke mulutnya.
“Enak,” puji Indira. “Beruntung banget cewek yang nanti bakalan jadi bini lo. Punya suami yang mau kerjain kerjaan rumah, pinter masak, sayang sama keluarga, pokoknya bertanggung jawab banget.”
“Kamu orangnya, kan?”
Untuk sesaat Indira terdiam seperti orang bodoh, setelah mendengar ucapan Mahesa.
“Bener juga! Besok gue jadi bini lo,” kekeh Indira. “Selama tiga tahun ke depan, Olive enggak bakal teriak soal apartemen gue yang berantakan, tumpukan piring kotor, dan sampah bungkus makanan. Beruntungnya gue!” seru Indira sambil mencubit pipi Mahesa.
Setelahnya, Mahesa hanya diam di tempatnya. Netranya tidak lepas dari Indira yang sibuk menghabiskan sarapannya. Indira yang ada di sebelahnya saat ini, seperti bukan Indira yang biasa bertemu dengannya. Mereka sama-sama tersenyum, tertawa, tapi tawa dan senyum Indira hari ini berbeda dengan hari kemarin. Berbeda dengan sosok Indira yang selalu tampil di layar kaca dan sampul majalah. Sisa airmata itu, tidak bisa menipu Mahesa.
“Indira.”
“Ya?”
Mahesa meraih sebelah tangan Indira dan menggenggamnya. “Semuanya akan baik-baik saja.”
Mendengar kalimat Mahesa, membuat Indira menatap bingung padanya. Mahesa tidak berniat meneruskan kalimatnya, tapi dari sorot matanya, seolah mengucapkan bahwa Indira dapat percaya padanya. Dan sepertinya Indira tidak punya pilihan lain.
Entah apa yang terjadi, tangis yang semalam Indira pikir telah usai, seketika kembali membasahi wajahnya. Sesak itu kembali menyeruak dalam dadanya. Tangis pilunya, membuat Mahesa merengkuh Indira.
“Gue pikir udah lupain dia, Sa. Gue pikir dengan menikah sama lo, semuanya akan beres. Tapi makin hari, gue makin merasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.”
Mahesa mengendurkan pelukannya, lalu membawah wajah Indira yang tertunduk untuk menatapnya. Ternyata, di balik senyum dan sikap tegarnya, seorang Indira menyimpan kebimbangannya sendiri.
“Gue pikir bisa bertahan sampai nanti, tapi nyatanya belum mulai aja, gue udah—”
“Aku paham perasaan kamu. Aku juga ngerasa bersalah sama papa, mama, dan bapak.” Mahesa mengehela napas, seraya menghapus airmata Indira. “Aku ikut keputusan kamu. Kalau kamu berhenti sekarang, aku akan ikut. Kalaupun kamu mau lanjut, aku juga akan berdiri di samping kamu besok.”
“Gue—”
“Untuk sembuh dari luka yang dibuat Adrian, aku enggak bisa berbuat banyak. Aku akan ada buat kamu, kalau kamu butuh temen curhat.” Mahesa mengambil piring dari tangan Indira dan meletakkannya di meja. “Kelak, waktu yang bisa menyembuhkan luka kamu itu.”
Mahesa tersenyum kecil dan hatinya serasa tercubit saat mengatakan kalimat terakhirnya. Satu kalimat nasihat klise bagi orang yang sakit hati, karena putus cinta. Begitu mudah terucap dari bibirnya, yang bahkan dirinya sendiri tidak mampu membuktikan ucapannya itu.
“Jadi, gimana keputusan kamu?”
“Gue takut papa kenapa-kenapa, Sa, kalau tahu yang sebenarnya soal Adrian dan gue.”
“Seperti yang aku bilang, semua keputusan ada di tangan kamu.”
***
Indira mematut dirinya di depan cermin. Hari ini, satu jam lagi, statusnya sebagai lajang akan berubah. Di belakangnya, asisten Lia sedang sibuk mengancingkan gaun pengantinnya.
“Lia belum dateng?”
“Sebentar lagi, Mbak. Ibu Lia sedang dalam perjalanan dari bandara.”
Dan benar, tak sampai sepuluh menit, sosok wanita dengan gaun bahu terbuka yang berwarna senada dengan warna tema pesta masuk ke kamar rias Indira.
“Maaf banget, Dir. Gue baru dateng, gue dari Bangkok langsung terbang ke sini, turunnya di halaman belakang rumah lo.”
Indira tersenyum mendengar kelakar Lia. “Enggak apa-apa, gue tahu lo sibuk banget. Tenang aja, asisten lo udah urus semuanya, kok.”
Lia meminta Indira untuk berdiri, designer muda ini ingin memastikan bahwa tidak ada yang salah dengan gaun pengantin yang dikenakan Indira. Sebagai profesional dan sepupu yang diminta untuk mengurus gaun pengantin pernikahan Indira, Lia merasa wajib untuk memberikan yang terbaik.
“Perfect!” seru Lia.
“Siapa dulu dong yang buat. Natalia!” puji Indira. “Gaun lo nanti, gue yakin pasti lebih cantik dari ini, kan?”
Lia tersenyum mendengar pujian Indira. “Tapi, Dir. Katanya kalau designer bikin gaun pengantinnya sendiri, pamali! Jadi—Eh bentar, deh. Make-up bagian matanya agak kurang.”
Indira menoleh sebentar ke cermin, dan benar yang diucapkan Lia. Bengkak di matanya masih terlihat, meski samar. Semalam Indira masih menangis memikirkan keputusan yang diambilnya. Masih ada ragu yang menyelimutinya, hingga sampai lelah menangis, dan akhirnya terlelap. Keesokan harinya, teriakan Olive memaksanya membuka mata, sekaligus menyeret Indira menuju rumahnya.
Saat melihat bagaimana bahagianya papa, mama, dan bapak yang sedang mengobrol di ruang tamu—menunggu persiapan pesta, membuat ragu yang sebelumnya bergelayut di benak Indira lenyap. Digantikan perasaan tak tega melihat kebahagiaan di wajah ketiga orang itu direnggut paksa. Nasi sudah menjadi bubur, Indira tidak bisa mengulang waktu untuk berbicara jujur tentang hubungannya dengan Adrian. Sekarang yang bisa dilakukannya adalah bersandiwara untuk tiga tahun ke depan. Menebus rasa bersalah, dan berharap ampunan dari orang-orang yang dibohonginya kelak.
“Mbak Lia, bisa ke ruangan groom sebentar?”
“Kenapa, Na?” tanya Lia tanpa mengalihkan fokusnya dari mata Indira yang sedang di-make-up-nya.
“Bagian bahunya agak enggak pas, Mbak.”
Lia menghentikan aktivitasnya yang menatap bingung asistennya. “Kok bisa?” Kemudian mengalihkan lagi tatapannya pada Indira. “Lo bukannya udah fitting baju? Enggak ngajak calon suami lo si Adrian?”
“Ngajak, kok. Tapi waktu itu gue juga udah bilang kekecilan bagian bahunya, tapi dia tetep ngeyel. Lagipula, calon gue bukan Adrian.”
“Hah?!”
“Udah, panjang ceritanya. Mending lo baca aja di berita gosip. Buruan sana benerin baju calon suami gue.”
“Ya udah, gue ke sebelah dulu.”
Setelah kepergian Lia ke kamar persiapan Mahesa, Indira kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Menunggu panggilan dari pihak wedding organizer yang akan memberitahukan pada Indira, kapan tepatnya dia akan memulai semua sandiwara ini.
Saat panggilan itu tiba, Indira menemukan papa, mama, bapak, dan beberapa kerabat hadir di sana menunggunya dengan haru dan penuh harap bahagia. Ketika janji pernikahan terucap, menjadikan Indira milik Mahesa, dan Mahesa milik Indira, di saat itu pula dalam diam ada hati yang terluka.
***