4. Pindah Rumah

1607 Words
“Sayang, kamu kenapa?"Mas Fery ternyata sudah ada di depanku, menatap dengan kening mengerut. “Nhi, cemilannya, kita sambil nonton, yuk,” ajak Mas Fery mengabaikan ketakutanku barusan setelah kantung belanjaan berpindah ke tanganku. Aku menghela napas panjang. Syukurlah, mungkin tadi hanya perasaanku saja. Aku memang agak takut dengan suasana baru, apalagi rumah ini masih asing bagiku. Kuikuti Mas Fery yang sudah menjatuhkan tubuhnya di sofa di depan TV, tangannya sibuk memegang remote mencari siaran favoritnya. Biasanya, sih, dia senang acara-acara yang menghibur seperti lawakan. Mas Fery mulai terbahak, rupanya dia sudah menemukan tontonan yang lucu. Masa pandemi seperti saat ini, memang bagus untuk meningkatkan imunitas tubuh. “Gokil abis!” serunya sembari meraih kantung belanjaan dan mengambil botol mineral. Aku duduk di sampingnya, ikut menyaksikan acara televisi yang menayangkan kumpulan video lucu. Pantas saja Mas Fery girang bener! “Mas, tadi lagi ngobrol sama siapa?” tanyaku penasaran. Mas Fery meneguk air mineral lalu menjawab sambil tertawa, “Kakek Sugiono.” “Serius dong, Yank!” “Dih, Mas serius. Memang namanya Sugiono, kok. Dia orang Jawa, tapi udah lama tinggal di sini,” jelas Mas Fery, melihatku sekilas lalu kembali menatap layar TV. Aku menganguk-anggukan kepala sambil berpikir apakah keluarga Kakek Sugiono ada yang seusiaku nggak, ya? Tempat ini sangat sepi, kadang aku butuh teman tuk sekadar teman ngobrol. Aku pikir, berbincang dengan tetangga tak ada salahnya kalau hanya satu-dua orang, yang penting tetap ikuti protokol kesehatan. “Kok nggak dimakan?” Mas Fery mendelik belanjaan yang masih kuabaikan. Entahlah, aku sedikit kurang bersemangat. “Pulang, Yuk. Nanti kemaleman,” ajakku kemudian. “Yaelah, Yank, baru juga nyampe.” Aku tertawa, Mas Fery sepertinya masih ingin berduaan denganku. Memikirkan itu membuat pipiku menghangat. “Besok kan kita pindah ke sini Mas, bawain barang-barang. Lagian kasihan Mama nanti nungguin makan malam.” “Iya, iya, bentar lagi kita pulang, Sayang.” Mas Fery mengalah. Senyumku mengembang, lalu dengan semangat mengambil sebungkus rumput laut original. “Kamu kayak nggak betah gitu?” kata Mas Fery menghadap padaku saat iklan. “Gak, kok, Mas. Aku suka rumah ini. Cuma lingkungannya sepi banget.” Akhirmya aku mengatakannya juga, “Kalo nanti kamu tinggal kerja, makin sepiii.” Mas Fery mengusap pipiku lembut, berusaha memahami apa yang membuatku kurang begitu bersemangat. “Sabar ya, Sayang. Setelah kita pindahan besok, kita bisa puas-puasin honeymoon sampai perut kamu ndut, kalau punya baby kamu pasti nggak kesepian lagi,” ucap Mas Fery yang membuatku melongo parah. Astagaaa ... aku butuh teman yang bisa diajak ngobrol, bukan ngemong!     *** Aku dan Mas Fery sampai di rumah sekitar jam tujuh lewat, dugaanku benar, Mama dan Papa mertua sedang menungguku dan Mas Fery untuk makan malam. Hidangan sudah hampir dingin di atas meja makan. Hal paling aku kusukai dalam keluarga Mas Fery, keluarga ini hampir setiap harinya makan malam bersama. Setiap laki-laki yang bekerja di luar rumah, pulang kerja wajib langsung pulang untuk makan malam bersama. On time. Nggak ada mampir-mampir dulu sana-sini! “Gimana rumahnya, Fel. Kamu suka?” tanya Mama saat kami di meja makan. “Suka, Ma.” Aku menjawab singkat. “Rame nggak di sana?” tanya Papa, ikut penasaran. “Sepi, Pa. Cuma ada Kakek Sugiono,” timpal Mas Fery, membuat mata Papa melotot. Entahlah, kenapa setiap kali menyebut nama Kakek Sugiono Mas Fery selalu seperti menahan tawa. Kali ini aku melihat Papa hampir menyemburkan makanannya. “Weleehh, udah tua makan masih cekikak-cekikik. Ayo, makan yang benar, atau kalian berdua pindah ke ruang tamu sanah!” Papa dan Mas Fery mendadak diam mendengar ocehan Mama. Tapi kedua mata mereka masih beradu menciptakan seringai yang hanya mereka yang tahu. Aku dan Mama selesai makan hampir bersamaan. Papa dan Mas Fery kompak pindah ke ruang tamu. Selesai makan, mereka membuat kopi dan mengobrol. Sedangkan aku sibuk membantu Mama merapikan meja makan. “Ma,” panggilku ragu, “kalau rumah yang baru di bangun itu ada penghuninya gak, sih?” tanyaku pada Mama, aku hanya penasaran dengan apa yang kualami tadi sore saat di rumah baru kami. “Lha ada lah penghuninya, kamu dan Fery itu kalau bukan penghuni trus apa?” “Maksud Feli itu penghuni yang lain lho, Ma.” Sejurus Mama menoleh padaku, menatap lekat. “Awewek gombel?” katanya dengan satu alis terangkat. Aku menngangkat bahu. Entah apa sebutannya aku tak tahu. Yang pasti makhluk tak kasat mata sebagai penghuni di tempat-tempat. “Nggak usah terlalu dipikirkan soal itu, yang namanya setan di mana-mana ya ada.” Mama mengusapa bahuku lembut, “yang penting jangan kesetanan. Itu yang nggak bagus.” Mama benar. Kenapa pula aku harus memusingkan soal penghuni rumah itu. Selagi tidak mengganggu aku bisa berkompromi. Harus berpikir positif sehat jiwa dan raga. “Sudah, kamu cepat istirahat sana. Biar besok sehat dan semangat,” kata Mama lagi, sebelum akhirnya kucium pipi Mama penuh kasih sayang. Lalu ke kamar untuk membaca buku sebentar kemudian tidur.     *** Pagi-pagi sekali, semua anggota rumah sudah sibuk. Kulihat Mama sudah menyiapkan sarapan, Mas Fery juga sudah rapi dengan barang-barang yang akan kami bawa. Tidak ada perabot rumah yang harus kami angkut, hanya pakaian yang sudah kurapikan dalam koper. Sisanya, kami biarkan tersusun rapi dalam lemari, suatu saat kalau menginap di rumah Mama kami tak sibuk lagi membawa pakaian. “Ma, maaf Feli nggak sempet bantuin Mama bikin sarapan.” Aku mendekati Mama di dapur. “Gapapa, urusan bikin sarapan Mama sendiri juga bisa. Sanah, mandi trus sarapan. Sepertinya Fery sudah nggak sabar ingin pindah ke rumah baru.” Mama melirik Mas Fery yang berjalan menuju dapur bersamaan dengan Papa. Aku bergegas kembali ke kamar untuk mandi. Seperti biasa, mandi kilat ala anak sekolahan. “Uih, cepet amat mandinya?” goda Mas Fery. Dan aku memeletkan lidah. “Kalopun nggak mandi tetep cantik, kok,” goda Mas Fery, mengedipkan satu mata. “Ma, Mas Fery, tuh, godain mulu,” aduku sama Mama. Mama yang sibuk melayani Papa mengambilkan piring, menyahut dengan nada santai. “Persis kayak Papanya dulu. Kalau nggak ngeledek yang memuji sampai istrinya bingung mau seneng atau nangis kejer.” Sontak Papa dan Mas Fery terbahak mendengar ucapan Mama barusan. Sedangkan aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam, hampir lupa mengeluarkannya lagi. Pagi ini aku kembali merasakan kehangatan, mungkin aku akan merindukan pagi seperti ini ketika kami pindah nanti. Sebenarnya, aku senang berada di dekat Mama-Papa mertua, tapi tak mungkin selamanya tinggal bersama, kami harus mandiri. Kalau tinggal di sini terus, Mas Fery bilang, orangtuanya terus menganggapnya sebagai anak-anak, kasihan akunya katanya. Selesai sarapan, kami bersiap-siap berangkat ke rumah baru.  Mas Fery sudah menaruh semua koper dalam bagasi mobil beserta bekal makan siang dan camilan—sengaja sudah kami persiapkan biar nggak mampir-mampir ke minimarket--Mama dan Papa sudah duduk di kursi belakang sementara aku duduk di samping pengemudi tampan. “Ma, Mama udah siapin plastik?” tanya Mas Fery mengingatkan. Pasalnya, Mama ratu mabuk. Setiap pergi kemanapun, jauh atau dekat pasti mabuk, mual dan muntah-muntah. “Udah Papa siapin, Fer. Mamamu kan pelupa juga, mana ingat kalau dia ratu mabuk mobil.” Papa bersuara, dan Mama diam di kursinya tanpa berkomentar. “Good, Papa.” Mas Fery mengacungkan jempol, kemudian perlahan melajukan mobil keluar gerbang rumah.    *** Selama dalam perjalanan, aku mengantuk berat, saat Mas Fery mengobrol dengan Papa aku sudah tidak connect lagi mereka bahas apa. Kurasa Mama pun sama, sejak tadi tidak terdengar suaranya. Saat kuntanya Papa, benar saja, Mama sudah pulas. Tumben sekali dia masih baik-baik saja dalam perjalanan sejauh ini. Akhinya kami sampai ke kompleks tempat tinggal kami yang baru. Entah kenapa aku merasa deg-degan. Saat berbelok tiba-tiba terdengar suara ... “Hoek!” Mama muntah, beruntung Papa gerak cepat membukakan plastik untuk Mama. Kulihat Mas Fery hanya menggeleng-gelengkan kepala. “Udah sampai kok baru muntah,” komentar Papa sambil tertawa. “Daripada enggak,” timpal Mama mengagetkan kami semua. Ah, Mama mertua ucul memang. Ya, ya, terserah Mama saja lah. Kami sudah sampai di rumah baru. Mas Fery mematikan mesin mobil dan membukakan pintu untuk kami agar segera turun dari mobil. “Welcome in my sweet home,” seru Mas Fery, merentangkan tangannya. “Bagus,” komentar Papa, matanya teliti menatap setiap sudut bangunan. Hingga akhirnya pandangannya bertumpu pada rumah kosong di samping rumah kami. Keningnya sedikit mengerut, ia melihat Mama yang sudah berjalan menuju pintu. “Ma, Mama baik-baik aja?” tanyaku saat berada di dekat Mama. “Mama baik-baik aja, Fel,” jawab Mama, “kuncinya sama siapa?” Aku menunjuk Mas Fery, suamiku dan Papa mertua sibuk membawa barang-barang dalam bagasi. “Fel, kok serem, ya?” tanya Mama, baru menyadari lingkungan di rumah kami agak seram. Selain karena rumah kosong, semak-semak dan lahan perumahan baru di balik pagar itu belum terlihat rapi. Aku bergidikl. “Semoga aja hanya keliatan ya, Ma. Jangan serem beneran, Feli takut.” “Nanti kalau Fery ada tugas kantor, kamu inep di rumah Mama aja ya, Fel. Mama kok khawatir kalau kamu sendirian di tempat sepi kayak gini.” Dahi Mama berkerut, ia mengedarkan pandangan seperti yang Papa saat turun dari mobil. Mas Fery sudah membuka pintu rumah, kami langsung menyerbu ke dalam, duduk di sofa sambil menyandarkan kepala di sandaran sofa. Mama langsung menuju dapur. “Dapurnya cantik ya, Fel!” seru Mama dari dapur. Lalu ia terdengar menuju lantai lantai atas. “Begitulah Mamamu, Fel. Norak,” kata Papa. Papa duduk di sofa sambil memeriksa ponselnya. Kami bertiga duduk di sofa, meminum minuman kaleng sambil menonton TV. Tiba-tiba dari lantai atas, Mama berteriak minta tolong. “Tolong!” jelas sekali itu suara Mama. “Mas, Mama teriak minta tolong.” Aku panik, dan segera berlari menuju lantai atas, diikuti tatapan aneh Mas Fery dan Papa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD