Sesampainya di atas aku tidak melihat Mama.
“Ma,” pangilku pelan. Mama tidak menyahut. Mama tidak menyahut. Kudengar Mas Fery memanggiku dari bawah.
“Yank, ngapain di atas, orang Mama ada di sini, kok!”
Deg!
Tubuhku langsung lemas dan gemetara. Mama ada di bawah? Sejak kapan? Bukannya tadi kudengar Mama di atas dan barusan dia minta ... tolong!
Aku langsung menuruni tangga cepat-cepat, ingin melihat apakah Mama benar ada di bawah atau tidak. Dan ternyata, ya, ampun.
“Mama? Bukannya Mama tadi ke atas, ya?” tanyaku seperti orang linglung. Kulihat wajah Mama sedikit pucat tapi ia menjawab dengan wajah ceria.
“Orang Mama belum ke atas kok, Fel. Tadi Mama kebelet ke kamar mandi, tiba-tiba perut Mama mules,” jelas Mama, “ada apa sih, Fel?”
Aku terdiam. Bingung harus gimana ceritain ke Mama. Apa mungkin tadi hanya perasaanku aja, ya? Tapi nggak mungkin, jelas-jelas Mama minta tolong.
“Fel, sudah sini, kamu duduk saja dulu, istirahat. Papa lihat kamu dari tadi mukanya tegang terus.” Papa mertua rupanya memerhatikanku sejak tadi. Memang setiap kali masuk ke rumah ini, entah kenapa aku merasa agak berbeda. Aku hanya menjawab, “iya, Pa.”
“Yank, kita keluar, yuk!” Mas Fery, ia menarik tanganku keluar rumah.
Aku menatap Mama masih ragu, perempuan yang kami sayangi itu kini duduk di dekat Papa.
“Sanah keluar, nanti Mama susul,” suruh Mama, dia sibuk memolesi perutnya dengan minyak kayu putih. Dibantu dengan Papa pas bagian punggung.
***
Mas Fery mengambil tanah dalam plastik yang kemarin diberikan Mama, yang belum sempat kami hamburkan.
“Nih, amburin.” Mas Fery memberikan plastik itu padaku. Aku meringis.
“Kamu aja, Mas.”
“Bareng-bareng aja, kan yang tinggal di sini kita berdua.” Mas Fery melempar segenggam tanah ke arahku. Tanah itu berhasil mengenai kaus putih yang kukenakan. Dia tertawa senang.
“Kotor tau, Mas. Mana baju putih lagi.” Aku cemberut. Kemudian ikut mengambil tanah dalam plastik lalu melemparnya ke arah Mas Fery, saatnya pembalasan.
“hiyaaa!” kulempar tanah yang agak lembab itu ke baju Mas Fery dengan gaya seperti Kung Fu Panda. Oh, rasanya asik sekali. Aku tertawa puas saat lemparanku mengenai sasaran. Tanah itu juga mengotori kemejanya.
Yes, berhasil!
“Curang kamu mainnya, Yank.” Sekarang giliran Mas Fery yang cemberut. Mukanya cute banget!
“Curang dari mananya coba?” Aku memutar bola mata. Tepat di saat itu aku melihat nenek-nenek keluar rumah Kakek Sugiono, aku langsung menebak kalau nenek itu istrinya.
“Ngeliatin apaan, Yank?” tanya Mas Fery, ia mengikuti arah pandanganku .“Oh, itu istrinya Kakek Sugiono,” katanya pelan.
Aku masih memerhatikannya. Badan wanita tua itu gemuk, rambutnya sudah memutih, dan cara berjalannya agak terpincang-pincang. Ia mengenakan baju sarung berwarna biru dan celana abu-abu. Kini ia duduk di semen pembatas antara rumah kami dengan rumahnya.
Belum lama, Mama keluar rumah, mungkin niatnya ingin menyusul kami di halaman, tapi tatapannya tertuju pada wanita tua itu, istrinya Kakek Sugiono. Samar kudengar istrinya Kakek Sugiono menyapa Mama, “Pindah hari ini, Bu?” Mama merespon dengan ramah. Lalu keduanya sibuk mengobrol, kulihat Mama duduk di teras menghadap ke arah teman bicaranya.
Aku tak menghiraukan mereka lagi, tatapanku kini terfokus pada rumah kosong.
“Mas.” Aku memanggil Mas Fery yang sudah menghamburkan semua tanah dalam plastik ke tanah dekat pagar. Suamiku itu tidak mendengar, ia berdiri menghadap lahan perumahan yang sedang dibangun.
Aku mendekati rumah kosong. Semakin dekat menuju jendela, dan kuintip juga rumah itu dengan mendekatkan wajah di kaca jendela. Dari sini, aku bisa melihat dapurnya yang luas, ada pintu kaca yang membatasi antara dapur dan ruang tamu. Tidak ada perabotan apapun di dalamnya, benar-benar kosong.
“Yank!” Mas Fery menepuk pundakku. Darahku seketika berdenyar takut.
“Ih, Mas ngagetin terus,” sewotku, “ngapain, sih, Mas?”
“Lha, kamu ndiri ngapain?”
“Liat rumah,” jawabku enteng.
“Nggak bagus intip-intip rumah orang.” Mas Fery menarik tanganku menjauhi rumah kosong itu. “Walau kosong sekalipun,” lanjutnya setelah kami tiba di teras.
“Nah, ini anak saya, Fery dan istrinya Felicia, mereka yang nanti menempati rumah ini, saya ke sini cuma antar aja,” kata Mama kepada istrinya Kakek Sugiono.
Aku dan Mas Fery tersenyum ke arah wanita tua itu bersamaan. “Salam kenal, Nek.” Aku mengatupkan kedua telapak tangan.
“Pengantin baru, ya?” tanyanya, yang dia sendiri sudah tahu.
“Iya, Nek,” jawabku malu-malu. Sedangkan Mas Fery sudah masuk ke rumah.
Aku ikut duduk di dekat Mama, ikut beramah tamah dengan tetangga.
Sekarang aku tahu nama istri Kakek Sugiono, namanya Laksmi. Ia tinggal bersama suami dan anak perempuan semata wayangnya yang berusia tiga puluh tahun bernama Sri Rahayu.
Aku cukup lega mendengarnya—aku pikir aku akan mempunyai teman--ternyata anaknya Sri masih muda, ya ... hanya beda tujuh tahun di atasku. Gadis itu. Sri bekerja di sebuah perkantoran di Jakarta, katakanlah ia adalah tulang punggung keluarga. Nenek Laksmi, ia hanya diam di rumah, sedangkan Kakek Sugiono ikut membantu anaknya berjualan sosis panggang dan kadang-kadang ikut teman-temannya bisnis kecil-kecilan.
“Saya ini kalau kaki nggak sakit, bisa ikut Kakek jualan di depan kompleks, tapi gimana mau ikut jualan, jalan aja saya rasanya payah,” keluh Nenek Laksmi, matanya menerawang, dan tarikan napannya begitu panjang dan berat.
“Kaki saya sakit bermula saat baru pindah ke rumah ini, saya kecelakaan motor, kaki saya bengkak dan sakit. Sudah diurut, dan diobati, tapi nggak tau kenapa nggak sembuh-sembuh, tapi syukur Alhamdulillah, ini mah sudah mendingan,” cerita si Nenek, mengingat masa sulitnya waktu itu.
Aku dan Mama masih menjadi pendengar yang baik. Nenek-nenek tapi dia asik juga diajak ngobrol. Nggak terkesan kolot dan b***t. Terasa sekali kalau dia pribadi yang supel. Nenek Laksmi mudah tertawa, ada pembicaraan lucu sedikit saja sudah membuatnya senang, entah kenapa aku menyukai orang tua ini.
“Ibu sudah berapa lama tinggal di sini?” Tanya Mama penasaran.
“Sudah dua tahunan kurang lebih,” jawab Nenek Laksmi, keningnya berkerut tampak mengingat-ingat. “Dulu, sebelum ada perumahan dibangun di bawah sana. Tempat ini seram, di depan sana seperti hutan. Rumput ilalang tinggi-tinggi tak ada yang peduli, jarang sekali tukang kebun mau membereskan rumput-rumput itu. Hampir setiap malam saya ketakutan, apalagi saya sering sendirian di rumah.” Nenek Laksmi membuka pengalamannya. “Sekarang sih, sudah enak, di luar pagar sana sudah terang, sudah nggak seseram dulu.”
“Nek, selama Nenek tinggal di sini, apa pernah mengalami kejadian aneh dan horor?” Aku tak tahan untuk tidak menanyakannya. Dua kali datang ke sini aku selalu merasa aneh dengan lingkungan sini.
“Sering. Dulu. Tapi sekarang mah sudah enggak.”
“Horornya gimana, Bu Laksmi?” Kali ini Mama menimpali, aku tahu Mama juga penakut.
Nenek Laksmi bercerita, nyaris setiap malam ia mendengar suara-suara aneh di depan rumahnya. Seperti erangan tertahan, kerap juga suara wanita tertawa. Pernah Nenek dan Sri mengintip keluar jendela, dan mereka tak menemukan apa pun di sana kecuali rumput-rumput yang bergoyang diterpa angin malam. Suatu ketika, suara itu datang lagi, semakin dekat ke pintu, tubuh Nenek gemetaran dan ia segera membaca ayat-ayat suci yang ia hapal. Sedangkan anaknya membaca surah Yasin. Lamat-lamat, suara itu menghilang.
Bulu kudukku meremang. Kulihat Mama juga bergidik ngeri. Kami ketakutan, tapi Nenek Laksmi mengatakan, itu cerita dulu sebelum area rumah dibersihkan. Nenek Laksmi juga merasa beruntung kami menempati rumah ini.
“Kalau Neng Felicia tinggal di sini, Nenek jadi ada temannya. Hehee. Jadi ramean.” Nenek Laksmi tertawa menunjukkan gigi-giginya yang beberapa sudah bolong.