Selesai mengantarkan semangkuk pindang patin pada Nenek, aku menceritakannya pada Mas Fery.
“Masa, sih, Yank?”respon Mas Fery mengerutkan dahi saat kuceritakan soal suara aneh di rumah kosong yang pernah kudengar saat itu. Suara seperti kuku tajam mencakar-cakar tembok.
“Menurutmu, itu suara apa, Mas?”
“Suara ... kuku,” jawabnya santai setelah terlihat sok mikir keras.
Aku memutar bola mata.
“Atau suara ... cakaran,” ralatnya lagi, masih dengan gaya sok mikir.
Boleh nggak nimpuk suami pakai bantal sofa?
“Mas, bisa serius nggak, sih? Aku itu penasaran.” Aku memasang tampang bete.
“Gimana kalau nanti malam kita periksa?” ajak Mas Fery tiba-tiba. Ajakannya berhasil membuat mulutku terbuka lebar.
“Takut, ah. Gila aja malam-malan nyamperin rumah angker.” Aku bergidik. Aku tidak tahu rumah itu benar-benar angker atau tidak. Tapi menurut cerita Gunawan, security berbadan tambun itu, rumah kosong itu mengerikan. Apalagi kalau bukan angker?
“Kali aja kamu mau adu nyali, Yank. Mas mah nggak keberatan, daripada penasaran?”
“Ya, nggak gitu juga kali, Maaas. Masa malem-malem mau nyamper. Hiii.”
Mas Fery memang senang menggodaku. Dan memang aslinya ia senang tantangan. Menurutnya, mendatangi rumah kosong itu dan memeriksanyanya bisa memacu adrenalin, dan itu kadang diperlukan. Tapi aku tetap menolak.
“Kalau mau, Mas aja sendirian ke sana. Jangan ajak-ajak aku.” Aku menyilangkan kedua tangan di d**a.
Mas Fery meletakkan ponselnya di atas meja, wajahnya lekat menatapku. “Kalau Mas ditangkap setan gimana?” Suaranya terdengar horor di telingaku. Aku mendelik tidak suka, omongan macam apa itu?
“Sudahlah, Mas. Mana ada setan yang berani nagkep kamu, kamu kan lebih nyeremin dibanding mereka.”
Mas Fery terbahak. “Asemm!” timpalnya di sela tawa, kedua tangannya menarik tubuhku mendekat kepadanya. “Gelud, yuk!”
***
Benar saja, sekitar jam delapan malam, Mas Fery keluar rumah. Mau ke rumah kosong katanya. Bukan ingin menantang tapi memeriksa. Entahlah, diam-diam aku mengikutinya. Saat keluar rumah, kami melihat Kakek dan Nenek kompak mencuci botor tua mereka di teras. Nenek duduk di atas kursi plastik menghadap motor, tangannya memegang busa sabun dan menggosok body motor, sementara Kakek, mengisi air dalam ember dan bertugas menyirami motor hingga bersih.
Aku dan Mas Fery saling pandang, apa yang suami-istri itu lakukan? Mereka sibuk mencuci motor di waktu malam seperti ini. Sungguh pemandangan mengharukan sekaligus kasihan.
“Cuci motor kok malem-malem, Nek?” Aku tak tahan utnuk tidak bertanya.
Nenek terkekeh mendengar pertanyaanku.
“Besok aja, Nek, nyucinya, malem-malem main air ntar masuk angin. Jaga kesehatan.” Aku merasa khawatir. Melihat orantua yang sudah lanjut usia seperti Kakek-nenek rasanya tidak wajar mencuci motor seperti itu. Orang tua rentan sakit, seharusnya mereka sudah istirahat sekarang.
Akhirnya Nenek menjelaskan dengan nada santai. “Besok pagi-pagi motornya mau dipakai si Kakak, Mbak. Besok dia ada panggilan interview di tempat ia melamar kerja, jadi motornya harus dibersihkan sekarang,” jelas Nenek.
Aku agak emosi mendengarnya, rupanya Sri yang menyuruh kedua orantuanya mencuci motor malam-malam begini? Tega sekali gadis itu.
“Sri-nya di mana emang, Nek.”
“Tuh, ada di dalam rumah.” Nenek mengangkat dagunya.
Ha? Sri di dalam rumah?
“Kenapa dia nggak ikut bantuin? Harusnya suruh dia aja yang cuci motor, udah besar ini.”
Mendadak tanganku dicubit Mas fery, mungkin karena nada suaraku agak ketus saat mengatakannya. Ya, memang aku emosional mendengar ungkapan Nenek, ditambah Kakek menambahkan. “Mana mau dia, Mbak.”
Sakit tuh anak! Aku memaki dalam hati. Mendadak kesal dengan tingkah meratu Sri.
“Gak usah terlalu kinclong, Nek. Udahan, trus istirahat. Jangan sampai sakit. Jangan lupa makan, nek, biar nggak masuk angin.” Aku mengingatkan. Bagaimanapun, aku menyayangi Nenek Laksmi. Dia wanita yang baik, dia sabar, dia tidak kolot seperti orangtua jaman dulu pada umumnya. Bicara dengannya pun terasa asik. Selama di sini, aku tak pernah bicara banyak apada Sri, hanya Nenek-lah temanku di sini.
“Iya, Mbak Felicia. Sedikit lagi selesai, saya juga sudah capek,” jawab Nenek, masih menunjukkan wajah semringah meski mulut mengaku lelah.
“Sudah, Bu, istirahat duluan sanah. Biar Bapak aja yang nerusin,” suruh Kakek, terdengar sangat menyayangi istrinya.
“Tanggung, Pak.” Nenek masih ikut mengguyur body motor dengan segayung air.
“Udah, udah. Udah malem, Bu. Anginnya kencang, benar kata Mbak Feli, nanti masuk angin.” Kali ini Kakek agak maksa, mau tak mau Nenek nurut juga.
Nenek membersihkan kaki tangannya lalu pamit masuk ke rumah.
Kini tinggal Kakek sendirian, Mas Fery yang tadinya mau ke rumah angker malah batal. Dia duduk di teras sambil menemani Kakek sembari ngobrol.
“Maaf ya, Mbak Felicia. Saya belum bisa kembaliin uang yang kemarin saya pinjam,” ucap Kakek melihat ke arahku dengan nada sendu, mungkin ia merasa beban karena belum bisa membayar pinjaman. Mas Fery melirikku, ia memang tidak tahu Kakek meminjam uang padaku.
“Uangnya nggak usah dikembalikan, Kek. Biarlah dianggap lunas aja, ya.” Aku tak ingin utang Kakek tak seberapa itu jadi beban baginya, apalagi saat ini Kakek Sugiono sedang mengalami musibah.
“Ya, Allah. Terima kasih, Mbak Feli,” ucap Kakek haru. Kulihat ia sudah selesai membersihkan motor,ia berganti mengelapnya dengan kain jarik yang sudah tidak terpakai.
“Kemarin saya pinjam uangnya Mbak Felicia, untuk pegangan anak saya, Sri, berangkat kerja. Saya akan mengembalikan tapi ternyata sampai sekarang saya belum dapat uang, yang ada malah saya ditipu orang,” cerita Kakek kepada Mas Fery, mungkin karena melihat wajah bingung suamiku soal utang-piutang. Aku juga lupa menceritakannya.
Mas fery mengangguk-anggukan kepala, memahami apa yang dikatakan Kakek Sugiono.
“Gak apa, Kek. Jangan sungkan untuk meminta bantuan,” sahut Mas Fery.
“Besok, Sri mau pergi, semoga aja dia diterima kerja. Hanya itu harapan kami, sudah beberapa bulan belum bayar sewa rumah,” papar Kakek, keluhannya sama seperti yang sering Nenek ceritakan padaku.
“Walau Sri sering mara-marah sama saya, tapi saya kadang kasihan sama dia. Dia yang bisa kami andalkan di masa sulit seperti sekarang. Sekarang makin marah karena kebodohan saya ngilangin motor teman. Hadeeh, gini amat nasib yak. Hehee.” Kakek Sugiono tertawa, menertawakan nasib yang dirasa tidak sesuai keinginannya.
Raga sudah menua, satu anak dirasa durhaka. Tidak punya harta benda atau kekayaan melimpah. Hampir setiap hari menelan asa, Tuhan seakan menjauhinya. Kakek merasa menjadi seorang bapak yang payah. Tak berguna, kadang tak jarang ia ingin pergi entah ke mana sekadar menghilangkan penat dan sesak di d**a. Tapi ia tak tega, nuraninya mengatakan bahwa ia harus tetap di tengah keluarga apa pun masalah yang menimpa. Ia memaparkan himpitan-himpitan itu begitu saja.