“Kasihan si Kakek ya, Mas. Lapor polisi gak diproses-proses, eh si penipu bermasker itu malah kabur.” Aku menghela napas berat, memikirkan kemalangan tetangga kami. Mas Fery yang sibuk ngemil bakpia sambil nonton TV di ruang tamu hanya menyimak ceritaku.
Kemarin, saat Sri dan ibunya menjambangi rumah kontrakan si pelaku penipuan, benar saja, laki-laki itu sudah kabur entah kemana. Menurut cerita Nenek pagi tadi, Hipni tinggal berdua dengan istrinya, lebih tepatnya mantan istri yang diajak rujuk lagi dan tinggal bersama, tetapi status mereka masih tidak jelas, apa sudah menikah lagi atau hanya tinggal bersama.
Istri Hipni bilang, suaminya kabur entah ke mana, dia sendiri tidak tahu menahu soal penipuan yang suaminya lakukan. Setahunya, Hipni bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Laki-laki itu memang kerap menutupi wajahnya menggunakan masker bahkan sebelum hadirnya virus mengerikan di negara ini.
Menurut cerita beberapa orang yang mengenal Hipni, sebelum ia menipu si Kakek, ia juga sempat menipu orang lain, dengan modus berbeda, kalau sama kakek ia menipu melarikan motor, sebelumnya ia melarikan uang membayaran DP motor temannya. Perbuatan Hipni akhir-akhir ini sangat meresahkan masyarakat setempat.
“Lagian percaya gitu aja sama orang yang baru dikenal,” komentar Mas Fery, ia sudah menghabiskan tiga bakpia dengan cepat.
“Entahla, yang pasti jadiin pelajaran buat kita, Mas. Gak bisa juga menyalahkan Kakek, orang dalam kesulitan kadang pikirannya riwet, di saat ada tawaran yang menjanjikan, siapa sih yang nggak mau, ya kan?”
“Iya, sih. Maka dari itu dalam kondisi sesulit apa pun kita tetap aja harus waspada. Masa pandemi ini bener-bener bikin orang jadi stress. Teman-teman Mas di kantor banyak yang di-PHK. Perusahaan mengurangi karyawan, trus mereka kan jadi pengangguran. Mana nggak boleh kelayapan, nyari duit ke mana coba?” Mas Fery menceritakan nasib teman-temannya dengan nada sedih, ia bilang, betapa ngerinya ia kalau ikut kena PHK. Beruntungnya, posisi Mas Fery aman, dan ia sangat dibutuhkan di perusahaan tempatnya bekerja.
Aku mengingat Sri, kata Nenek tadi pagi, Sri juga sudah tidak bekerja lagi. Ia menolak untuk dipindahtugaskan. Sayang sekali sebenarnya, kalau Sri berhenti bekerja, bagaimana mereka bisa bayar uang sewa rumah?
“Mikirin apa, kok jadi bengong gitu?” tanya Mas fery, sembari menutup toples bakpia lalu meneguk segelas air di atas meja. Sedangkan aku, entah kenapa tidak begitu suka dengan bakpia. Biasanya, kulitnya kubuang dan hanya memakan isinya.
“Gak apa-apa, Mas. Cuma merasa prihatin aja sama apa yang menimpa Kakek, dan Sri.”
“Nanti kita bantu untuk urusan dapurnya aja, Yank. Jangan sampai perut mereka kelaparan, setidaknya meski banyak masalah, perut terasa kenyang.”
“Ya, Mas. Hanya itu yang bisa kita bantu.”
Mas Fery mengacak rambutku, lalu menarik kepalaku agar bersandar di bahunya.
“Yank, ganti channel, aku males nonton berita Covid terus. Capek liatnya, pikiran jadi riwet juga,” pintaku agar Mas Fery mengganti siaran televisi. Setiap kali nonton berita, pemberitaan seputar virus selalu bikin khawati dan kesal. Beritanya macam-macam, mulai dari banyaknya angka kematian, warga yang terpapar, penuhnya rumah sakit, tumbangnya paramedis garda terdepan, sampai hebohnya masyarakat yang menolak keluarga mereka dinyatakan positif dan mengambil paksa mayat keluarga untuk dmakamkan secara normal. Belum lagi keluhan-keluhan rakyat kecil yang mengungkapkan bahwa mereka tidak bisa diam di rumah begitu saja, perut juga butuh makan. Kalau tidak, bisa mati kelaparan.
“Oke, kita nonton yang lucu-lucu aja.” Mas Fery segera mengganti siaran. “Nonton Sule gimana?” Dia meminta persetujuan.
Aku mengangguk, apa saja, yang penting jangan yang bikin kening berkerut!
***
“Gimana, Nek, perkembangannya?” tanyaku pada Nenek saat berkesempatan kami ngobrol di teras.
“Masih diurus, Mbak, tuh, si Kakek bolak-balik aja dari tadi. Pihak polisi minta uang juga, katanya biar prosesnya cepat. Trus mereka juga minta surat keterangan detail tentang motor yang hilang dan keterangan saat kejadian,” terang Nenek, matanya menerawang jauh saat berbicara.
“Lumayan ribet juga ya, Nek. Keburu kabur jauh orangnya.” Kok, aku merasa kesal sendiri mendengarnya. Nggak bisa gitu dicari dulu keberadaan si penipu?
“Begitulah, Mbak Felicia,” desah Nenek, “Makan sehari-hari aja susah, gimana mau kasih uang buat mereka. Yang punya motor kasih waktu Cuma dua minggu, lebih dari itu nggak ketemu dia minta ganti rugi.”
Duh, ya Tuhan.
“Semoga nanti cepat ketemu ya, Nek, motornya.” Aku mendoakan.
Nenek Laksmi berwajah muram sambil mengaminkan. Ia seperti mengemban beban berat di bahunya. Kadang, tatapannya kosong, menarik napas panjang lalu mengeluarkannya seakan ingin mengurangi himpitan-himpitan yang menyesakkan rongga d**a.
Aku mengganti topik pembicaraan, untuk menghiburnya kuceritakan pengalaman-pengalaman lucu yang pernah kualami agar bisa melihat tawanya kembali. Nenek Laksmi cukup terhibur, ia ikut tertawa dan sesekali merespon ceritaku dengan menceritakan pengalaman lucu yang serupa. Walau sebentar, setidaknya saat ini ia sedikit lebih rileks dan ceria.
***
Sebagai tetangga, kami tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Nenek Laksmi dan keluarga. Jadi aku sering mengajak Nenek mengobrol di teras, menguatkan, dan kadang membagikan hasil masakanku untuknya dan keluarga. Pernah Nenek Laksmi bilang, masakanku enak, Sri selalu memuji masakan yang sering kubagi. “Apa aja yang dimasak Mbak Felicia pasti enak,” puji Sri yang disampaikan oleh Nenek. Padahal yang kubagi hanyalah masakan rumahan biasa, tidak terlalu istimewa.
“Masak apa, Yank?” tanya Mas Fery saat aku sibuk di dapur.
“Masak pindang ikan patin.” Aku memutar tubuh menghadap padanya, dengan spatula masih di tangan.
“Hmm, kayaknya enak.”Mas Fery mengusap bibirnya dengan lidah, lalu mengecup pipiku lembut.
Ya, memang enak. Aku senang masak pindang, sebab dari kecil aku terbiasa memakan masakan seperti itu. Pindang ikan patin dikasih campuran daun kemangi segar, hemm, aromanya sangat menggoda.
“Nanti aku ingin bagi Nenek Laksmi,” ucapku penuh semangat.
“Paling juga si Sri yang habisin.” Mas Fery tertawa lebar. Membuatku ikut tertawa.
Mas Fery benar. Apa pun makanan yang ku berikan, selalu Sri yang menghabiskan. Nenek dan Kakek kadang hanya menyicip sedikit. Karena Sri selalu menyukai masakanku, begitu kata ibunya.
“Mas,” panggilku, saat Mas Fery melangkah menuju ruang tamu. Wajah tampannya menoleh. “Ya?”
“Ada yang mau aku ceritain nanti.” Akunya.
“Cerita apa?” Alis Mas Fery bertaut, “Serius amat kayaknya, Yank.”
“Ya, aku mendengar suara aneh di rumah sebelah, Mas. Dan aku penasaran. Aku selesaikan masak dulu, ya.” Aku kembali mengaduk-aduk kuah pindang, lalu mematikan kompor setelah kucicip kuahnya yang sedap. Sedangkan Mas Fery sudah menghempaskan tubuh di sofa sambil memainkan ponsel.
Selesai masak, aku menanggalkan celemek dan mencuci tangan. Masakan yang masih panas dengan asap mengepul, kusisihkan satu mangkuk pindang ikan patin untuk kuberikan pada Nenek. Memberi makanan selagi masih panas dan baru selesai dimasak lebih baik, itu yang sering diajarkan ibuku dulu, katanya, jangan memberi makanan sisa pada orang lain. Berilah makanan, barang, atau apa pun itu yang bagus dan yang baik-baik.