Nia masih terus memberontak kuat. Tangannya yang ditahan oleh Dave terus saja bergerak menuju pipinya yang sudah memerah lebam. “Aku salah. Maafkan aku.! Kenapa kalian menuduhku.!” Teriak Nia tanpa henti.
Sambil menunggu dokter itu datang. Sebisa mungkin Dave terus menahan tangan Nia untuk tak menyakiti tubuh ringkihnya semakin jauh lagi. "Tenanglah!" walaupun tangan wanita itu sudah ditahan. Bibirnya masih belum berhenti digigit. Darah segar masih mengalir di sana.
"Dave! Dokter datang!"
Dokter Irwan terkejut melihat wanita yang ada dalam pelukan Dave. "Kenapa dia Dave?"
"Aku tidak tahu! Dia sudah berteriak histeris saat aku masuk tadi!" jawab Dave panik.
"Pegang tubuhnya.!" perintah Irwan. Dokter itu segera menyuntikkan obat penenang pada Nia. Butuh waktu sedikit lama untuk obat itu bereaksi di tubuhnya sampai Nia melemah dan tertidur.
Dave membaringkan tubuh Nia dengan baik. "Dia kenapa?" tanya Dave khawatir.
"Sepertinya ada trauma masa lalu yang tiba-tiba muncul. Dia sama seperti Liona. Dimana kau temukan wanita ini?" tanya Irwan penuh selidik.
"Dia salah satu wanitaku. Ya kau tahulah apa maksud kata wanitaku."
"Lalu apa yang kau lakukan sampai dia berteriak histeris seperti itu?"
"Aku tak lakukan apa-apa! Dia melukaiku lalu aku keluar meninggalkannya. Kau lihat ini? Dia menggigitnya hingga berdarah.! Setelah itu aku keluar dan tak lakukan apa-apa lagi.!" jelas Dave.
Irwan menatap wajah penuh luka Nia yang terbaring tak sadarkan diri. Begitupun Damian. Lelaki itu menatap lekat Nia. Damian saat itu sedang berada di ruangan CCTV saat matanya menangkap satu layar yang menampilkan Nia tengah berteriak histeris dan melukai diri. Kalau Damian tak masuk dalam ruangan itu, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin wanita ini sudah mati. Karena memang ruang kerja Dave kedap suara.
"Untuk beberapa jam kedepan dia akan tertidur. Kau tebuslah obat ini di apotik! Setelah dia bangun, minumkan padanya.!" ucap Irwan sambil menyodorkan secarik kertas yang tadi dia coret-coret.
"Baiklah!" jawab Dave.
"Ya sudah! Aku pergi dulu. Cepat hubungi aku jika terjadi sesuatu lagi.! " Dave mengangguk.
Sepeninggalan Irwan, Dave meminta Damian untuk menebus resep tersebut di apotik. Kini hanya tersisa Dave yang duduk di tepian ranjang dan Nania yang masih tertidur pulas.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Dave pada wanita yang masih terlelap. "Apa yang membuatmu berteriak seperti itu.!?" Dave menghembuskan nafasnya kasar.
Dave meraih ponselnya dan menekan nomor Damian. Cukup lama Dave menunggu sampai seseorang di sana menjawab panggilannya. "Damian! Cari tahu asal-usul Nania. Jangan sampai ada yang terlewat!" titahnya lalu kembali menutup panggilan telponnya.
"Kau membuatku penasaran Nia. Siapa kau sebenarnya? Dan kenapa kau berteriak seperti tadi? Trauma apa yang kau terima? Apa sama persis dengan yang Liona alami?" Dave lelah dengan segala pertanyaan yang berputar-putar di otaknya.
Dave kembali menuju dapur. Namun langkahnya terhenti saat dirinya melihat sosok Reni yang tengah berdiri di depan ruang kerjanya.
"Ada apa?" tanya Dave dingin.
"Ti—tidak! Tuan apa—apa dia baik-baik saja?" tanya Reni terbata-bata.
Reni baru sekali melihat Nia, tapi dia tahu Nia bukan wanita jahat.
"Hmm! Apa kau digaji hanya untuk mencampuri urusanku?" tanya Dave tajam.
"Ma—maaf Tuan!" Reni segera berbalik menuju dapur. Dave berdecak kesal dengan kokinya tersebut.
Dave berjalan menuju meja makan yang sudah tersedia sarapan paginya. Dengan santai Dave melahap makanan itu sampai habis. Dave kembali mengutak-atik ponselnya, menekan beberapa angka lalu memasangkan Earphone Bluetooth di telinganya. "Kiara? Hari ini saya tak berangkat ke kantor. Semua dokumen yang perlu saya tanda-tangani antar ke rumah dan serahkan pada Damian."
"......"
"Rapatnya ditunda lusa saja! saya akan cari jam nya..!"
"....."
"Baiklah!" Dave mematikan kembali sambungan telponnya. Pria itu meraih segelas s**u hangat yang disediakan untuknya. Dave memang menyukai s**u. Dia bahkan tak tertarik dengan kopi. Kecuali ditambahkan s**u di dalamnya.
"Velli!?" teriak Dave pada salah satu ART nya.
Velli itu seorang wanita paruh baya yang sudah bekerja di rumah Dave hampir sepuluh tahun lamanya. Dan menjadi ART kepercayaan Dave.
"Iya Tuan?"
"Saya akan keluar sebentar. Tolong kamu cek tiap sejam sekali wanita yang kini ada di ruang kerja saya. Jika ada sesuatu, segera hubungi saya.!" perintah Dave yang langsung diangguki oleh Velli.
Velli kembali dengan aktivitasnya setelah Dave keluar dari rumah. Dave kembali meraih ponselnya dan mengontak seseorang. "Kevin! Lo di Cafe sekarang?" tanya Dave pada seseorang dari seberang sana. Dave sudah berada dalam mobilnya dan hendak melaju pergi.
"Ada. Mau apa Lo? Gue lagi rapat bentar.!"
"Gue mau berkunjung aja!"
"Wuidih! Tumben pak Boss gak sibuk!"
"Sialan Lo! Udah gue ke sana!"
"Siyap! Tapi lo tunggu di ruangan gue aja kalau gue masih rapat!"
"Oke!" Dave mematikan ponselnya lalu melajukan si Lamborgini Revento kesayangannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
******
Dave baru saja sampai di sebuah cafe yang memang terkenal dengan pelayannya yang sangat tampan. Sangat cocok dengan nama tempatnya yaitu Cassanova Planet Cafe.
Seperti yang sudah dikatakan Kevin saat di telpon tadi. Jika Dave datang saat dia sedang rapat, Dave harus menunggu. Dan di sinilah dia sekarang. Tapi bedanya, Dave tak menunggu di ruang kerja Kevin. Melainkan memilih duduk di cafe sembari menikmati secangkir coffe latte yang dia pesan pada Reynand sepupunya Kevin yang juga bekerja sebagai barista di Cassanova.
Rey jadi barista pujaan hati para gadis yang datang ke sini. Hampis delapan puluh lima persen pelanggan mereka adalah perempuan dan Rey jadi Cassanova pertama yang paling mereka sukai. Bukan berarti yang lain tak tampan. Tapi dari mereka semua, Rey memimpin untuk kategori itu.
Tak lama berselang, Rey kembali datang membawakan sepotong cheesecake pada Dave. "Terima kasih.!" ucap Dave sambil menerima suguhan tersebut.
"Tumben ke sini Bang? Lagi libur ya?" tanya Rey. Kini Rey sudah duduk di kursi yang ada di depan Dave.
"Nggak juga sih. Meliburkan diri aja. Ada perlu sama Kevin soalnya.!"
"Oh! Bang Kevin lagi rapat. Tungguin aja bang.! Mau pesan sesuatu lagi?" Dave langsung menggeleng menolak tawaran Rey. Perutnya masih kenyang. Apalagi dihadapannya sekarang sudah ada cheesecake dan secangkir latte. Jadi inipun sudah cukup bagi Dave.
Setengah jam Dave menunggu, akhirnya Kevin menampakkan wujud dihadapannya.
"Lama banget sih Lo!" gerutu Dave.
"Ya lagian Lo. Gue udah kasih kode kali kalau gue lagi rapat.!"
"Ya tapi kenapa selama ini.!"
"Emang Lo kalau mimpin rapat berapa lama? Semenit? Gila aja.!" ucapnya kesal. "Mau apa Lo pagi-pagi nyari gue? Nggak kerja Lo?"
"Kalian ini sepupu sepaket ya? Sama pertanyaan kalian. Bosen gue jawabnya...!"
"Lah dia kesal. Gue serius nanya nya. Emang tadi sama Lo dia jawab Rey?" tanya kevin yang langsung dijawab dengan gelengan oleh Rey. "Nah! Lo nggak jawab juga. Kenapa malah sewot Lo kalau gue tanya lagi..!"
Dave ingin menjawab, namun suaranya tertahan saat ponsel yang ada di kantong celana jeansnya bergetar.
Dengan cepat lelaki itu mengeluarkan ponsel tersebut. Ternyata dari Damian. Dave menggeser layar untuk menjawab.
"Ada apa?"
"aku udah dapat informasi tentang Nania Dave. Ingin di telpon saja atau bertemu?" tawar Damian.
Dave melirik sejenak pada Kevin. Niatnya untuk membicarakan soal Nia pada lelaki itu harus dia tunda dulu. "Ya sudah! Tunggu Aku di ruangan kantor.!" Dave segera mematikan panggilannya. "Sorry Vin. Sepertinya rapat Lo terlalu lama, jadi gue nggak bisa ketemu lama dengan Lo hari ini..!"
"Sialan Lo. Lo nya aja yang datang di waktu yang tak tepat. Malah nyalahin gue lagi..!"
"Nanti gue kesini lagi kalau udah selesai urusan gue. Gue cabut ya..!" Pamitnya "Rey, Gue cabut ya!" tak lupa dia berpamitan pada Rey yang dibalas lambaian tangan dari cowok yang sedang sibuk dengan alat pemasak kopi itu.
******