Waktu tak terasa berjalan begitu cepat, kini tiga tahun sudah Geo menikah dengan Siren, wanita yang kedua orang tuanya jodohkan dengannya.
Meskipun dirinya tau kalau perjodohan itu hanyalah cara dari kedua orang tuanya untuk mendapatkan bantuan atas hancurnya perusahaan yang sudah kedua orang tuanya bangun dari nol.
Tapi Geo tetap mau menerima perjodohan itu. Dirinya bahkan tak peduli dengan masa depannya nanti, karena baginya melihat kedua orang tuanya bahagia, itu lebih penting dari apapun.
Dirinya juga mempunyai harapan, kalau suatu saat nanti Siren bisa menerimanya menjadi suaminya seutuhnya dan menjadikan pernikahan itu pernikahan yang sesungguhnya.
Tapi, tiga tahun sudah berlalu, hubungan Siren dan Geo tetap tak ada perkembangan sama sekali. Mereka tetap tidur di kamar yang berbeda. Tapi mereka akan tidur di kamar yang sama saat Roy datang dan menginap di rumah mereka.
Seperti malam ini, Roy datang dan akan menginap di rumah Geo dan Siren selama satu minggu, karena pria paruh baya itu ingin dekat dengan putrinya yang sudah jarang mengunjunginya.
Saat ini Roy tengah ngobrol bersama dengan Geo di ruang tengah, karena Siren sejak siang pergi dengan sahabatnya dan belum juga pulang.
Geo memang tak pernah melarang Siren pergi dengan siapapun, asal wanita yang sudah dinikahinya selama tiga tahun itu bisa pulang tepat waktu. Dan selama ini Siren selalu mematuhi aturan yang Geo buat.
Tapi, entah mengapa hari ini sepertinya Siren mulai lupa dan mengingkari janjinya, karena sampai jam makan malam berlalu, Siren belum juga kembali ke rumah, membuat Geo kebingungan harus menjawab apa saat mertuanya bertanya padanya.
“Eo, kenapa kamu biarkan Siren pergi dengan teman-temannya? Bahkan sampai jam segini dia belum juga pulang.”
“Aku percaya sama Siren, Pa. Aku yakin Siren gak akan macam-macam diluar sana.”
Geo harus menyembunyikan sifat buruk istrinya dari mertuanya, karena ia tak ingin sampai mertuanya itu tau tentang hubungan mereka yang sebenarnya.
“Terus kapan kamu akan memberi Papa cucu? Kalian sudah menikah selama tiga tahun, tapi kalian belum juga memberi Papa cucu. Sekarang perusahaan keluarga kamu juga sudah kembali bangkit dan berjalan dengan lancar seperti dulu lagi.”
“Itu semua berkat bantuan Papa.”
“Papa hanya melakukan tugas Papa saja. O ya, bagaimana dengan bisnis kamu? apa juga berjalan dengan lancar?”
Geo memang mendirikan perusahaannya sendiri dan sudah berjalan selama setahun ini. Meskipun harus memulainya dari nol, tapi dirinya tak akan pernah menyerah untuk membuat perusahaan yang didirikannya itu berjaya di masa depan nanti.
Geo hanya ingin membuktikan kepada Siren, kalau dirinya bisa berdiri sendiri tanpa bantuan dari keluarganya. Ia tak ingin Siren memandang rendah dirinya seumur hidupnya.
“Ya gitu, Pa. Aku masih harus berusaha untuk menarik para klien agar mau bekerja sama dengan perusahaan aku.”
“Papa yakin kamu pasti akan berhasil. Buktinya kamu selama ini bisa membantu papa kamu, hingga perusahaan papa kamu bisa menjadi seperti sekarang ini.”
“Terima kasih, Pa, aku akan terus berusaha, karena ini adalah mimpiku selama ini,” ucap Geo dengan menepiskan senyumannya.
“Papa akan selalu mendukung kamu. Kamu juga bisa minta bantuan sama Papa kalau kamu memang membutuhkan bantuan. Jangan merasa sungkan, karena selama ini Papa sudah menganggap kamu seperti anak Papa sendiri.”
“Kamu juga tau kan, kalau anak Papa hanya satu yaitu Siren. Tapi Papa sama sekali tak bisa mengandalkan anak itu. Jadi kedepannya nanti, hanya kamu harapan Papa satu-satunya yang akan menjadi penerus Papa.”
“Setelah itu, kamu bisa turunkan perusahaan Papa kepada cucu Papa, dan Papa berharap kamu dan Siren akan mempunyai anak laki-laki yang akan jadi penerus keluarga Raharja.”
Geo menghela nafas panjang, harapan papa mertuanya itu seperti sebuah beban berat untuknya. Memiliki anak? Mereka saja selama ini sudah tak pernah lagi melakukan hubungan selayaknya suami istri.
Terakhir Geo menyentuh Siren adalah saat dirinya mabuk dan akhirnya merenggut satu-satunya milik Siren yang berharga. Meskipun dirinya mendapatkannya dengan cara paksa, tapi tetap saja dirinya berhak atas tubuh Siren, karena dirinya adalah suaminya yang sah di mata hukum dan agama.
Geo tak bisa menjanjikan apapun kepada papa mertuanya itu, karena dirinya sendiri tak tau bagaimana kelanjutan pernikahannya dengan Siren.
Jika Siren memang berniat untuk berubah dan mau menerima dirinya menjadi suaminya yang seutuhnya, mungkin dirinya bisa mempertimbangkannya.
Tapi sampai detik ini, Geo sama sekali tak melihat niat itu dari Siren. Apalagi sikap Siren yang kembali acuh tak acuh padanya.
Bahkan untuk menyiapkan pakaian kerjanya saja Siren tak mau melakukannya, apalagi menyiapkan keperluan makannya, semua itu Siren serahkan kepada asisten rumah tangganya.
“Pa, untuk soal anak, aku gak bisa janji, Pa.”
Roy mengernyitkan dahinya. “Kenapa? kalian gak ada masalah dengan kesuburan kalian kan?”
“Bukan itu maksud aku, Pa. Aku ....”
“Apa kalian selama ini tidak pernah ....”
“Bukan itu juga, Pa. Papa kan tau, kalau aku akhir-akhir selalu sibuk dengan pekerjaan aku. Jadi aku gak ada waktu untuk memikirkan itu. Tapi Papa doakan saja, semoga aku dan Siren bisa secepatnya memberikan Papa cucu,” ucap Geo yang akhirnya haru kembali berbohong karena tak tega melihat mimik kecewa sang papa mertua.
“Papa akan tetap menunggu, Geo. Semoga Papa masih diberikan umur panjang, sehingga Papa masih bisa melihat cucu-cucu Papa lahir,” ucap Roy dengan senyuman di wajahnya.
Geo melihat Siren yang tengah berjalan ke arahnya. “Itu Siren sudah pulang, Pa.”
Roy menoleh ke belakang. Ia melihat wajah sang putri yang tampak kelelahan.
“Dari mana saja kamu, Sayang? seharusnya kamu itu di rumah urus suami kamu, bukan malah keluyuran kayak gini.”
Siren hanya diam, lalu mencium punggung tangan sang papa.
“Kapan Papa datang?” tanyanya lalu mendudukkan tubuhnya di samping Geo.
Siren ingin memperlihatkan kepada sang papa kalau hubungannya dengan Geo baik-baik saja.
“Ini sudah malam lho, Pa. Kok Papa belum pulang?” bisa-bisanya Siren malah mengatakan hal yang seakan dirinya mengusir sang papa dari rumahnya.
“Papa akan menginap disini selama satu minggu.”
Kedua mata Siren membulat dengan sempurna. Ia lalu menatap ke arah Geo yang malah berdiri dan melangkah menuju dapur.
“Pa-Papa mau menginap disini selama satu minggu?” ulang Siren lagi untuk memastikan kalau dirinya tidak salah dengar.
“Hem. Kenapa? apa kamu akan melarang Papa untuk tinggal di rumah putri Papa sendiri?” dahi Roy mengernyit.
“Bu-bukan begitu, Pa. Hanya saja ....”
“Kapan kamu akan memberikan Papa cucu, Sayang?” potong Roy yang berhasil membuat kedua mata Siren kembali membulat dengan sempurna.
“Cu-cucu?” ulang Siren.
“Papa ini sudah tua, Sayang. Sebelum Papa meninggal, Papa ingin melihat cucu Papa. Kamu itu anak Papa satu-satunya, kamu yang akan mewarisi semua harta Papa. Papa ingin melewati masa tua Papa ini dengan ditemani cucu-cucu Papa.”
“Selain itu, kapan kamu akan menggantikan posisi Papa di kantor?”
“Aku belum siap untuk menggantikan Papa. Aku juga belum siap untuk mempunyai anak, Pa.”
Roy menghela nafas panjang. “Apa kamu masih belum bisa menerima Geo sebagai suami kamu?”
“Bukan begitu, Pa. Apa Papa gak lihat, kalau hubungan aku sama Geo baik-baik saja selama ini?”
Roy memang melihat sudah banyak perubahan pada diri sang putri. Tapi tetap saja, dirinya belum bisa percaya sepenuhnya dengan putrinya itu.
“Papa harap kamu bisa melakukan kewajiban kamu sebagai seorang istri, bagaimanapun sekarang kamu adalah istri Geo, jadi Papa ingin kamu bisa menghargai Geo. Bukan seperti tadi, Papa datang, Geo sendirian di rumah.”
“Makan malam saja Bibi yang harus siapin, padahal semua itu tugas kamu.”
Siren memutar kedua bola matanya jengah. Selalu itu yang papanya katakan padanya. Ia sudah bosan mendengar nasehat demi nasehat yang keluar dari mulut papanya. Dimana nasehat itu hanya akan masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri.
Tak ada satu nasehat pun yang menyangkut di otaknya, karena Siren memang sangat benci dinasehati, karena baginya dirinya sudah paling benar, apalagi itu menyangkut hidup dan masa depannya sendiri.
“Aku lelah, Pa. Aku mau mandi dulu.” Siren yang tak ingin mendengar ceramah sang papa lebih banyak lagi, akhirnya memilih untuk beranjak dari duduknya dan melangkah menuju tangga.
“Sial! Malam ini aku harus tidur sekamar sama Geo! Kenapa sih Papa pakai datang gak bilang-bilang dulu! mana harus menginap selama satu minggu lagi!” sambil terus mengomel, Siren melangkah menuju kamarnya.
Saat membuka pintu kamarnya, Siren terkejut saat melihat Geo yang ternyata sudah bergerak cepat dan kini sudah berada di dalam kamarnya.
“Ngapain kamu disini?” Siren melihat Geo yang tengah memasukkan pakaiannya ke dalam lemari.
“Kamu gak amnesia kan? Papa akan menginap disini selama satu minggu, itu artinya selama satu minggu ini aku harus tidur di kamar utama.”
“Aku tau, tapi kamu juga gak perlu memindahkan semua pakaian kamu kesini. Lagian Papa akan tidur di kamar tamu yang ada di bawah. Papa juga gak akan lihat kamu saat masuk ke dalam kamar kamu untuk mengambil pakaian ganti.”
“Ck, kenapa kamu gak ngomong dari tadi?”
“Makanya punya otak itu dipakai. Percuma kuliah tinggi-tinggi kalau otak gak pernah dipakai.”
Geo mengepalkan kedua tangannya. “Selama ini aku diam, tapi bukan berarti kamu bisa menghinaku seperti itu!” serunya dengan rahang yang mulai mengeras mencoba menahan amarahnya yang sudah mulai membuncah.
“Tapi memang itu kenyataannya kan? Aku gak mau debat sama kamu, aku capek. Lebih baik sekarang kamu keluar, aku mau mandi.” Siren melempar tas selempangnya ke sofa, lalu melangkah menuju kamar mandi.
Geo menghela nafas panjang. “Kesabaran aku lama-lama juga bisa habis, Ren. Kamu sama sekali tak pernah menghargai aku sebagai suami kamu,” lirihnya lalu melangkah keluar dari kamar itu.
Saat menuruni tangga, Geo melihat sang mertua yang tengah berjalan menuju kamar tamu. Ia lalu bergegas menghampiri papa mertuanya itu.
“Papa sudah mau tidur?”
“Hem. Papa capek. Oya, kamu harus ekstra sabar dalam menghadapi Siren ya. Tapi, kalau dia memang sudah kelewat batas, kamu bisa menegurnya agar dia tau kesalahannya. Papa juga sudah lelah terus menasehatinya, tapi sepertinya nasehat Papa hanya Siren anggap angin lalu.”
“Baik, Pa.”
“Kalau begitu Papa tidur dulu.” Roy lalu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar yang akan dirinya pakai selama menginap di rumah itu.
Geo memilih untuk pergi ke dapur untuk membuat kopi. Rencananya malam ini dirinya akan lembur di ruang kerjanya, dengan begitu dirinya tak harus melihat wajah Siren yang ngeselin.
“Untung gue tadi bawa semua pekerjaan ke rumah, dengan begitu gue gak perlu menghabiskan waktu di kamar itu bersama dengan Siren.”
Geo lalu meletakkan secangkir kopi yang ada di tangannya ke atas meja. Ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi kerjanya.
Geo mengambil berkas-berkas dari dalam tas kerjanya, lalu meletakkannya di atas meja kerjanya. Ia lalu mulai menyibukkan dirinya dengan berkas-berkas itu.
“Besok ada meeting penting, apa Hito sudah mempersiapkan semua berkas yang diperlukannya? Lebih baik gue hubungi dia saja.”
Geo lalu mengambil ponselnya dari dalam saku celananya, lalu segera menghubungi sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
“Lo udah tidur?” tanya Geo setelah panggilan itu mulai tersambung.
Geo mendengar suara desahan dari seberang sana.
“b******k lo! Kalau lo lagi enak-enak, ngapain lo angkat telepon dari gue, hah!”
Geo sontak langsung mengakhiri panggilan itu. Sepertinya ia menyesali keputusannya untuk menghubungi Hito, karena setelah mendengar desahan tadi mampu membuat suhu tubuhnya meningkat.
“Sial!”
Sedangkan di dalam kamar, Siren baru saja selesai mandi. Saat keluar dari kamar mandi ia tak melihat Geo ada di dalam kamar itu.
Siren lalu melangkah menuju lemari pakaiannya untuk mengambil piyama, lalu memakainya. Ia melangkah menuju meja rias, mendudukkan tubuhnya di kursi yang ada di depan meja rias itu.
Siren mengambil sisir untuk menyisir rambutnya, setelah selesai ia beralih mengambil cream malam yang biasa dirinya pakai sebelum tidur.
Setelah semua kegiatannya sebelum tidur selesai, Siren beranjak berdiri dan melangkah menuju ranjang, merebahkan tubuhnya di ranjang itu.
Tapi, saat Siren ingin memejamkan kedua matanya, ia mendengar suara dering ponselnya. Ia pun bangun dan beranjak turun dari ranjang untuk mengambil ponselnya yang ada di dalam tas selempangnya.
Siren melihat siapa yang menghubunginya malam-malam begini.
“Nicho!” Siren sontak langsung menjawab panggilan itu.
“Halo, Nich,” sapanya setelah panggilan itu sudah mulai terjawab.
“Sayang, apa kamu bisa datang kesini sekarang?”
Siren mendengar suara Nicho seperti orang yang tengah menahan sakit.
“Kamu kenapa?” tanyanya cemas.
“Aku tadi jatuh dari motor. Kamu bisa kesini gak? Aku butuh kamu.”
Kedua mata Siren membulat dengan sempurna.
“Apa! tapi kamu gak apa-apakan? Apa ada yang luka? Apa kamu sudah ke rumah sakit?”
“Kaki dan tangan aku sakit. Aku butuh kamu, Sayang. Aku kesakitan.”
“Ok. Aku akan kesana sekarang.” Siren lalu mengakhiri panggilan itu.
“Sial! Kenapa sih Papa pakai acara menginap disini segala! Sekarang gimana caranya aku bisa keluar dari rumah ini.”
Siren lebih dulu mengganti pakaian yang dipakainya, setelah itu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya, lalu bergegas keluar dari kamarnya.
Siren tersenyum, saat melihat semua lampu sudah dipadamkan dan diganti dengan lampu yang lebih temaram.
“Papa pasti sudah tidur. Geo pasti menyibukkan diri di ruang kerjanya. Aku bisa pergi dengan diam-diam.”
Siren berjalan mengendap-endap menuju pintu utama, membukanya secara perlahan, lalu melangkah keluar dari rumahnya. Ia juga menutup pintu rumahnya dengan perlahan sebelum berlari menuju mobilnya.
Siren melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbangnya. Ia tak tau, kalau ada sepasang mata yang melihat kepergiannya.
“Mau kemana lagi dia? Jangan salahkan gue, Ren, kalau sampai bokap lo tau kelakuan lo.”
Geo awalnya merasa jenuh dengan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Apalagi dirinya harus berusaha keras untuk meredam suhu tubuhnya karena ulah Hito.
Jadi ia memilih untuk berdiri di depan jendela ruangan itu yang langsung memperlihatkan pemandangan halaman rumahnya.
Geo terkejut saat melihat Siren yang tengah berlari menuju mobilnya, lalu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumahnya.
“Selama ini gue diam, saat lo terus menerus menginjak harga diri gue. Tapi kali ini, gue gak bisa diam aja. Gue akan minta hak gue sebagai suami lo.”
Keesokan paginya, Geo sudah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Semalam Siren tak pulang ke rumah. Geo tak terlalu memusingkan itu, karena itu bukan pertama kalinya.
Geo mengambil ponsel dan kunci mobilnya yang tergeletak di atas nangkas. Ia lalu melangkah keluar dari kamar yang biasanya Siren tempati seorang diri.
Tapi selama satu minggu ini, dengan terpaksa dirinya harus tidur dengan istri yang sama sekali tak bisa menghargainya itu.
“Pa,” sapa Geo saat melihat papa mertuanya sudah duduk di kursi meja makan.
“Dimana Siren, Geo?” sejak tadi pagi dirinya belum melihat putri semata wayangnya itu.
“Siren pagi-pagi sekali pergi, Pa. Katanya ada urusan penting.” Geo terpaksa berbohong, karena ia tak tega melihat raut wajah kecewa papa mertuanya saat mengetahui tentang putrinya yang tak pulang semalam.
“Kenapa kamu biarkan Siren pergi? kamu itu kepala rumah tangga di rumah ini, kamu bisa melarang Siren pergi karena dia istrimu sekarang. Kalian sudah menikah selama tiga tahun, tapi Papa lihat kamu terlalu lunak pada Siren.”
“Pa, maafkan aku, kalau aku gak bisa memenuhi harapan Papa. Tapi aku sudah berusaha untuk menjadi suami yang baik buat Siren. Tapi Papa lebih tau bagaimana Siren, dia memang sangat sulit untuk diatur, Pa.”
“Kamu harus bisa tegas, Geo! Kalau gak, selamanya Siren gak akan pernah menghargai kamu sebagai suaminya. Papa menikahkan kamu dengan Siren, dengan harapan kamu akan bisa merubah Siren menjadi lebih baik.”
“Papa gak mau sampai kalian bercerai nantinya, karena hanya kamu harapan Papa, Geo.”
Geo menghela nafas panjang. “Maafkan aku, Pa. Aku janji, aku akan mencobanya lagi, Pa.”
Setelah sedikit berdebat, Geo dan Roy memulai sarapan.
Hari ini Roy sengaja tak masuk bekerja dengan harapan dirinya akan melihat keromantisan antara Geo dan Siren yang sangat ingin dilihatnya.
Tapi semua harapannya ternyata hanyalah mimpi, karena ulah putrinya yang kembali memperlakukan Geo dengan tidak baik.
“Geo, kalau kehadiran Papa disini membuat kamu gak nyaman, Papa akan pulang hari ini. Papa gak jadi menginap disini. Tapi, Papa harap kamu bisa menepati janji kamu itu.”
Geo menganggukkan kepalanya. “Maafkan aku sama Siren ya, Pa. Nanti biar aku suruh Siren mengunjungi Papa di rumah.”
“Hem. Bukankah kamu mau berangkat ke kantor?”
“Iya, Pa.” Geo melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Kalau begitu aku berangkat dulu, Pa. Maaf, aku gak bisa menemani Papa di rumah. Nanti aku akan hubungi Siren untuk pulang lebih cepat.”
“Gak usah, Papa akan pulang sekarang. Papa lupa kalau ada pekerjaan penting hari ini.”
Geo hanya mengangguk, karena ia tak mau lagi membahas masalah apapun dengan papa mertuanya itu.
Ada rasa lega saat mendengar sang papa mertua tak jadi menginap di rumahnya, dengan begitu dirinya tak harus berbohong kepada papa mertuanya itu.
Geo mengantar sang papa mertua sampai di mobilnya.
“Tolong bawa mobilnya jangan kencang-kencang ya. Pastikan Papa sampai rumah dengan selamat,” ucapnya kepada supir pribadi sang mertua.
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Pria paruh baya itu lalu masuk ke dalam mobil, lalu menyalakan mesin mobilnya, melajukan nya keluar dari pintu gerbang rumah Geo.
“Maafkan aku, Pa. Maaf, kalau akhirnya aku gak bisa merubah sifat keras kepala Siren.”