Siren membuka kedua matanya secara perlahan, dirinya menatap sosok yang saat ini masih terlelap sambil memeluknya.
Dirinya mulai mengingat semua kejadian kemarin, dimana dirinya kemarin sudah menyerahkan tubuhnya yang memang sudah tak suci lagi kepada Nicholas kekasihnya.
Siren dengan lembut membelai pipi Nicholas, hingga membuat tidur sang empu terganggu lalu membuka kedua matanya secara perlahan.
Apa yang diimpikannya selama ini kini menjadi kenyataan.
Dimana dirinya sangat ingin melihat wajah cantik sang kekasih saat membuka kedua matanya untuk pertama kali setelah tidur nyenyaknya semalam.
Nicholas mengecup bibir mungil Siren.
“Morning kiss, Sayang,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Nich, kemarin....”
Nicholas membelai lembut rambut Siren.
“Kenapa? apa kamu menyesalinya?”
Nicholas melihat kepala Siren menggeleng.
“Aku janji, Sayang, aku akan bantu kamu untuk terbebas dari pernikahan yang sama sekali tak kamu inginkan.”
“Tapi gimana caranya? Papa sangat mempercayai Geo. Sekarang saja semua keuanganku Paap serahkan kepada Geo.”
Nicholas tak menyangka, papanya Siren akan bersikap sejauh itu untuk menjauhkan Siren darinya.
Padahal dirinya tak pernah menyinggung perasaan papanya Siren, tapi kenapa papanya Siren begitu membencinya?
“Kalau begitu kamu harus bersandiwara di depan suami kamu itu.”
Siren mengernyitkan dahinya. Ia benar-benar tak mengerti maksud ucapan Nicholas.
“Sandiwara? Maksud kamu?”
Nicholas menyikap rambut yang menutup wajah cantik sang kekasih.
“Bersikaplah seperti istri yang baik.”
“Gak!” Siren tak akan mungkin mau melakukan itu. Melihat wajah Geo saja sudah membuat darahnya naik, apalagi dirinya harus bersikap seperti istri yang baik.
“Dengerin aku dulu, Sayang.”
“Nich, apa kamu mau aku melayani Geo? Kamu rela tubuhku kembali dinikmati Geo!”
Nicholas menggelengkan kepalanya, lalu memeluk Siren ke dalam dekapannya.
“Aku gak akan rela, tapi kamu sekarang istri Geo. Tapi, aku ada cara agar kamu gak harus melayani Geo, Sayang.”
Nicholas lalu melepaskan pelukannya, membelai lembut pipi Siren, lalu mengecup keningnya dengan lembut.
“Karena hanya aku yang harus kamu layani,” godanya sambil mencolek hidung mancung Siren, hingga membuat kedua pipi Siren merona karena malu.
“Sayang, tubuh kamu hanya milikku. Tapi kamu bisa membuat perjanjian dengan suami kamu itu.”
“Perjanjian?” dahi Siren mengernyit.
“Hem. Perjanjian. Bukannya Geo masih membutuhkan uang papa kamu?”
“Hem.”
“Kalau begitu kamu buat perjanjian, kalau kamu akan menuruti semua kata-katanya, tapi dengan satu syarat, tak ada kontak fisik di antara kalian berdua. Kalian memang suami istri, tapi kalian tak harus melakukan hubungan suami istri.”
“Tapi, apa Geo mau melakukan itu?”
Nicholas menyunggingkan senyumannya. Dirinya teringat akan video yang semalam dirinya kirim ke nomor Geo.
“Dia pasti setuju, karena yang dia butuhkan hanya uang papa kamu, bukan kamu.”
“Geo tak akan sudi mau menyentuh tubuh kamu lagi, Sayang, karena aku sudah menyentuh apa yang menjadi miliknya. Kecuali dia mau berbagi lubang yang sama denganku,” gumam Nicholas dalam hati.
Siren diam sejenak. Dirinya mulai menimbang-nimbang saran yang Nicholas berikan padanya.
Menurutnya apa yang Nicholas katakan ada benarnya, karena yang Geo inginkan memang hanya uang papanya agar perusahaan keluarganya bisa kembali bangkit.
Selain itu, dirinya bisa dengan bebas memadu kasih dengan sang kekasih tanpa diketahui oleh sang papa, karena dirinya sudah berperan menjadi istri yang baik di depan Geo dan papanya.
“Em... ok. Aku akan lakukan apa yang kamu sarankan,” ucap Siren dengan menepiskan senyumannya.
Dirinya tak punya pilihan lain, kalau masih ingin menjalin kasih secara diam-diam dengan sang pujaan hati.
Bahkan dirinya tak peduli akan dosa besar yang telah mereka lakukan semalam, dan kemungkinan akan mereka ulang nantinya.
“Ini baru Siren yang aku kenal. Siren yang aku kenal gak akan pernah menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Siren memeluk tubuh Nicholas dengan erat.
Nicholas mengecup puncak kepala Siren.
“Kenapa? apa kamu mau mengulang candu yang semalam? Karena jujur, rasanya begitu nikmat dan aku ingin mengulanginya lagi, lagi, dan lagi.”
Siren menggelengkan kepalanya. Meski jujur, dirinya juga sangat menikmati permainan Nicholas semalam. Bahkan rasa yang dirinya rasakan sangat berbeda dengan saat dirinya melakukannya dengan Geo.
Siren akui, semalam dirinya benar-benar memasrahkan tubuhnya untuk dinikmati oleh Nicholas, tanpa ada paksaan dan juga rasa terpaksa saat melakukannya. Sangat berbeda dengan dirinya yang merasa hancur dan terpaksa saat melakukannya dengan Geo malam itu.
“Kenapa? apa kamu menyesalinya?” tanya Nicholas sambil mengernyitkan dahinya.
Siren menggelengkan kepalanya, karena dirinya tak pernah menyesali keputusannya saat menyerahkan tubuhnya kepada sang pujaan hati.
Dirinya lebih rela, jika tubuhnya dinikmati oleh Nicholas, ketimbang harus dinikmati oleh Geo, pria yang sangat dirinya benci.
“Aku harus pulang, Nich. Bukannya kamu tadi memintaku untuk menjadi istri yang baik?”
“Tapi aku tak rela kamu pergi, Sayang. Aku masih sangat merindukan kamu,” ucap Nicholas sambil membelai lembut pipi Siren.
“Aku juga. Tapi aku harus tetap pulang. Aku janji, nanti malam aku akan datang kesini lagi untuk mengulang candu yang semalam,” ucap Siren dengan senyuman di wajahnya.
“Kamu janji?” wajah Nicholas terlihat berseri-seri saat mendengar janji yang Siren ucapkan. Dirinya sudah tak sabar ingin mengulang candu yang membuatnya tubuhnya panas dingin.
“Hem.” Tapi entah kenapa Siren merasa ragu kalau dirinya bisa keluar dari rumahnya nanti malam. Tapi, dirinya tak ingin melihat Nicholas kecewa.
“Kalau begitu aku mandi dulu.” Siren lalu beranjak dari ranjang dan langsung melangkah menuju kamar mandi.
Tapi, kalau Siren berpikir Nicholas akan diam begitu saja dan membiarkan dirinya mandi dengan tenang, maka dia salah besar, karena saat ini Nicholas sudah tak bisa menahan gejolak yang sudah membara dalam tubuhnya saat melihat kemolekan tubuh Siren yang melenggang begitu saja menuju kamar mandi.
Setelah satu jam, Siren baru bisa keluar dari kamar mandi, karena Nicholas benar-benar menghajar tubuhnya habis-habisan sampai dirinya tak mempunyai tenaga lagi untuk sekedar berdiri.
Sehingga, mau tak mau Nicholas harus membopong tubuh Siren keluar dari kamar mandi dan memakaikan bajunya satu persatu.
Nicholas mengecup kening Siren dengan lembut. Dirinya merasa bersalah karena sudah memaksakan kehendaknya kepada kekasihnya itu.
“Maafin aku ya, seharusnya aku menahan diri tadi,” ucapnya sambil berjongkok di depan Siren, dirinya bahkan menggenggam tangan Siren dan mengecup punggung tangannya dengan lembut.
Siren mengangguk mengerti, karena dirinya tadi juga menikmati apa yang Nicholas lakukan padanya. Ia lalu mengusap lembut pipi Nicholas.
“Aku mengerti perasaan kamu.”
Nicholas beranjak berdiri.
“Sayang, aku akan mengantar kamu pulang.”
“Gak.” Siren beranjak dari duduknya.
“Aku bisa pulang sendiri. Aku gak mau membuat masalah nanti, kalau sampai Geo ketemu sama kamu. Bisa-bisa dia lapor sama Papa kan jadi berabe nanti.”
“Iya sih. Yaudah, kamu hati-hati ya.”
Siren menganggukkan kepalanya. Ia lalu mengambil tas selempangnya. Tapi, dirinya mengernyit saat melihat ponselnya ada di atas nangkas.
Seingat dirinya semalam dirinya sama sekali tak menggunakan ponselnya.
Nicholas menatap kemana arah mata Siren menatap. Dirinya mengumpat dalam hati, karena semalam dirinya lupa mengembalikan ponsel Siren ke dalam tas selempangnya.
“Ada apa, Sayang?” Nicholas melangkah mendekat.
“Ah... gak ada apa-apa kok,” ucap Siren dengan menepiskan senyumannya.
Siren lalu melangkah menuju nangkas untuk mengambil ponselnya.
“Aku pergi dulu,” pamitnya lalu mencium kilas bibir Nicholas.
“Hem. Hati-hati ya. Hubungi aku kalau sudah sampai rumah.”
Siren menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah keluar dari apartemen Nicholas.
Saat melewati koridor menuju pintu lift, Siren menyalakan ponselnya, dirinya masih penasaran, kenapa ponselnya bisa berada di atas nangkas.
Siren membulatkan kedua matanya, saat dirinya membuka aplikasi w******p. Dimana tertera kontak Geo. Padahal seingatnya dirinya sudah menghapus chat dirinya dan Geo.
Kedua mata Siren semakin membulat dengan sempurna, saat membuka pesan video yang dikirim ke nomor Geo.
Dimana didalam video itu dirinya tengah mendesah nikmat saat Nicholas menikmati kedua aset miliknya.
“Astaga! kenapa Nicholas melakukan ini? apa dia sengaja ingin memanas-manasi Geo!”
Siren menghela nafas lega, karena sampai saat ini Geo belum membuka pesan video yang Nicholas kirim dari ponselnya. Dengan cepat ia langsung menghapus pesan video itu sebelum Geo membukanya.
“Aku akan tanyakan soal ini nanti sama Nicholas. Sekarang aku harus segera kembali ke rumah.”
Sementara ini, Geo baru saja selesai mandi. Dirinya bahkan tak peduli dengan Siren yang tak kembali ke rumah, karena dirinya yakin, semalam Siren menghabiskan waktunya bersama dengan kekasihnya.
Geo mengambil ponselnya yang semalam dirinya isi daya baterainya di atas nangkas. Ia mengernyitkan dahinya saat ada pesan masuk dari Siren. Tapi, dirinya semakin mengernyitkan dahinya, saat ternyata pesan itu sudah dihapus oleh Siren.
“Sebenarnya apa yang dia tulis, kenapa sudah dihapus sebelum gue membacanya? Apa dia salah kirim?”
Geo tak mau ambil pusing, karena saat ini ada hal yang lebih penting yang harus dirinya lakukan selain mengurus istrinya yang keras kepala dan pembakang.
Dimana hari ini Geo akan membantu sang papa untuk mengurus perusahaan sampai perusahaan keluarganya bisa kembali bangkit seperti sedia kala.
Setelah selesai bersiap-siap, Geo melangkah keluar dari kamarnya.
“Bi, apa sarapannya sudah siap?” Geo melangkah menuju meja makan.
Meski Siren tak melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, Geo masih tetap bisa makan karena asisten rumah tangganya setia untuk melayaninya.
“Sudah, Tuan.”
Geo menarik salah satu kursi meja makan, lalu didudukinya.
“Terima kasih, Bi.” Geo lalu mengisi piring kosongnya dengan nasi, sayur, dan lauk.
Geo lalu mulai memasukkan satu suap makanan ke dalam mulutnya. Masakan asisten rumah tangganya memang terasa sangat lezat di lidahnya. Dirinya tak yakin, Siren bisa memasakkan makanan selezat ini untuknya.
Setelah selesai sarapan, Geo melangkah keluar dari rumahnya. Tapi, saat dirinya ingin membuka pintu mobilnya, dirinya melihat mobil Siren masuk melewati pintu gerbang rumahnya.
“Ingat pulang juga dia. Aku pikir dia gak akan pernah kembali ke rumah ini.”
Geo mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobilnya. Ia lalu melangkah menghampiri Siren yang sudah keluar dari mobil.
“Aku pikir kamu gak akan kembali ke rumah ini,” sindirnya dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
“Ini rumah aku, kalau kamu lupa itu. Yang seharusnya angkat kaki dari rumah ini itu kamu, bukan aku!” seru Siren sambil mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Geo.
Geo tersenyum sinis. Ia lalu menyingkirkan jari telunjuk Siren dari depan wajahnya.
“Apa kamu lupa, kalau sekarang aku kepala keluarga di rumah ini? bahkan semua keuangan kamu aku yang atur.”
Geo menarik tangan Siren, hingga tubuh Siren berada dalam dekapannya.
“Ingat satu hal, apa yang sudah menjadi milikku, akan selamanya menjadi milikku, termasuk tubuh kamu.”
Siren mendorong tubuh Geo dengan kasar, hingga tubuh Geo bergeser beberapa langkah ke belakang.
“Jangan harap aku akan biarkan kamu menyentuh tubuhku lagi!”
Setelah mengatakan itu Siren melangkah masuk ke dalam rumah.
Geo tersenyum menyeringai, entah mengapa melihat Siren yang selalu menolaknya membuatnya semakin tertantang untuk menaklukkan istrinya itu.
“Lihat saja nanti, siapa yang akan bertekuk lutut nantinya.”
Geo lalu melangkah menuju mobilnya, membuka pintu pengemudi, melangkah masuk ke dalam mobilnya.
Geo lalu melajukan mobilnya keluar dari pintu gerbang rumahnya. Tapi, dalam perjalanan menuju kantor sang papa, Geo menghentikan mobilnya di sebuah swalayan untuk membeli sesuatu.
Geo turun dari mobil, lalu melangkah menuju swalayan. Saat masuk ke dalam swalayan ia melihat sosok yang dulu pernah dirinya lihat saat di club bersama dengan Hito.
“Bukannya itu gadis yang kerja di club itu ya? apa dia tinggal di daerah sini?”
Sedangkan gadis yang ditatap Geo yang tak lain adalah Leta hanya cuek, karena dirinya tak ingat dengan Geo, pria yang dulu pernah berniat untuk menolongnya.
“Berapa semuanya, Mbak?” tanya Leta pada kasir swalayan itu.
“Lima puluh ribu, Mbak.”
Leta mengambil dompet dari dalam tas selempangnya, lalu mengambil selembar lima puluh ribuan dan diberikan kepada kasir itu.
“Terima kasih, Mbak.” Leta mengambil barang belanjaannya, lalu membalikkan tubuhnya.
Leta melangkah menuju pintu, tapi kini tatapannya bertemu tatap dengan kedua mata Geo. Tapi dirinya tak peduli dan terus melangkah keluar dari swalayan itu.
Geo menyunggingkan senyumannya, menatap Leta yang bahkan sudah keluar dari swalayan itu.
“Serius nih dia gak ingat sama gue? Gue yang waktu itu setengah mabuk aja masih ingat sama dia. Dasar!”
Geo lalu melangkah masuk dan menuju rak tempat barang yang ingin dibelinya. Setelah membayar apa yang dibelinya, ia keluar dari swalayan itu.
Tapi saat melangkah menuju mobilnya, Geo terkejut saat melihat gadis yang tadi melihatnya di dalam swalayan tengah menjerit kebingungan.
Geo sontak langsung berjalan cepat menghampiri gadis itu.
“Kamu kenapa?” tanyanya setelah berdiri tepat di samping gadis itu.
“Tas... tas aku dijambret,” sahut Leta dengan terisak sambil menunjuk kemana jambret itu lari.
Geo menatap ke arah tangan kanan Leta menunjuk. Tapi dirinya sudah tak melihat siapa-siapa.
“Mana di dalam tas itu ada uang untuk Ibu aku. Sekarang apa yang harus aku lakukan.” Leta terduduk pilu. Hasil jerih payahnya harus raib begitu saja.
Geo sendiri juga bingung, karena dirinya juga tak mengenal gadis itu, meski dirinya pernah bertemu dengan gadis itu di club malam.
“Berapa uang kamu yang hilang?”
Leta yang semula menunduk, kini mendongakkan wajahnya guna menatap wajah pria yang berdiri di sampingnya.
“Dua juta,” lirihnya.
“Aku gak bawa uang sebanyak itu.” Geo lalu mengambil dompet dalam saku celananya, lalu mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan.
“Ini buat kamu. Mungkin gak seberapa, tapi bisa kamu pakai dulu,” ucap Geo sambil menyodorkan uang itu kepada Leta.
Leta beranjak berdiri. Ia tatap uang yang ada di tangan Geo.
“Maaf, aku bukan pengemis. Aku gak bisa ambil uang kamu,” ucapnya lalu mendorong tangan Geo.
Geo mengernyitkan dahinya, ia lalu tersenyum sinis.
“Aku tau kamu butuh ini uang. Yakin kamu gak mau menerima bantuan dariku?”
“Maaf. Kita bahkan tak saling mengenal. Kenapa kamu mau bantu aku?” kini kedua matanya bertemu tatap dengan kedua mata Geo.
“Dasar! Udah dibantu malah sok jual mahal!” umpat Geo dalam hati.
Geo melihat jam di pergelangan tangannya. Gara-gara gadis itu dirinya sudah terlambat ke kantor.
“Kamu yakin gak mau uang ini?” Geo bertanya sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang uang.
“Gak. Sekali lagi aku bukan pengemis. Permisi!” Leta lalu pergi dari hadapan Geo.
Geo menghela nafas, lalu menyunggingkan senyumannya.
“Dasar! Tau gini gue gak perlu berbaik hati tadi! Kalau gue ketemu sama dia lagi, gue akan kasih pelajaran nanti!”
Dengan kesal Geo melangkah menuju mobilnya. Moodnya menjadi hilang gara-gara gadis sialan tadi.
Geo melajukan mobilnya menuju kantor sang papa.
“Sialan itu cewek, jual mahal banget jadi cewek. Padahal jelas-jelas lagi butuh duit. Padahal gue ngasihnya ikhlas, gak minta balik juga.”
Sepanjang perjalanan Geo masih mengumpat. Bahkan sampai mobilnya berhenti di basement kantor sang papa mulutnya masih komat kamit tak jelas.
Marco mengernyitkan dahinya, saat melihat sang putra masuk ke dalam ruangannya dengan wajah masam.
“Kamu kenapa Geo? Wajah kamu masam gitu?”
Geo mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi yang ada di depan meja kerja sang papa.
“Gak apa-apa kok, Pa.” Geo juga tak mungkin bilang kalau niat baiknya ditolak mentah-mentah sama Leta.
Malu dong, mau ditaruh dimana itu muka nanti.
“Yakin? Kok muka kamu kayak kesel gitu.”
“Papa minta aku kesini ada apa? yakin Papa minta aku untuk kerja di perusahaan Papa?”
“Hem. Hanya kamu anak Papa satu-satunya. Kamu bisa bantu Papa. Tapi kalau kamu mau buka usaha sendiri juga gak apa, nanti Papa bantu carikan klien.”
Geo memang pernah mempunyai pikiran untuk membuka usaha sendiri agar dirinya bisa mandiri dan tak terus menerus mengandalkan uang dari mertuanya.
Tapi untuk saat ini dirinya memilih untuk membantu sang papa membangkitkan perusahaannya kembali.
“Aku bantu Papa dulu aja. Sekalian aku mau belajar bisnis. Selama ini aku kan gak paham soal bisnis.”
Marco mengangguk setuju.
“Ok, kalau begitu kamu bisa jadi manager di perusahaan Papa untuk sementara.”
Geo mengangguk mengerti. Dirinya juga tak mungkin bisa langsung jadi direktur atau CEO dengan pengalamannya yang minim.
Ia juga tak ingin membuat perusahaan keluarganya kembali mengalami kebangkrutan karena kecerobohannya.
“Kapan aku bisa mulai kerja, Pa?”
“Terserah kamu. Hari ini juga bisa. Papa akan minta sekretaris Papa untuk mengantar ke ruang kerja kamu.”
“Ok.”
Geo dan Marco lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu.
Geo membuka pintu, dirinya meminta sang papa untuk keluar lebih dulu, setelah itu baru dirinya mengikuti langkah sang papa menuju meja sekretaris.
“Gue akan buktikan sama lo, Ren, kalau suatu saat gue bisa balikin duit yang bokap lo kasih ke keluarga gue. Sekarang lo bisa hina gue, tapi setelah gue sukses nanti, gue gak akan biarin lo ngehina gue lagi,” gumam Geo dalam hati.