Dikta's PoV
Azka, anak pertamanya Maudy dan Fero ulang tahun hari ini. Awalnya, aku tak berniat datang karena pasti akan ada Melisha juga di sana. Melisha sudah menjadi sahabat Aya dan Maudy juga walau pada awalnya aku yang mengenalkan mereka kepadanya. Aku sudah berjanji untuk tak muncul di sekitar Melisha. Di sisi lain, aku tak enak juga dengan Fero dan Maudy jika tak datang. Aku juga dekat dengan Azka, anak pertama mereka itu. Setelah menimang-nimang, aku memutuskan untuk datang. Sore hari, aku mencari kado ke sebuah pusat perbelanjaan. Terasa sekali bedanya, sekarang aku mencari kado untuk anak dari temanku itu sendirian. Sebelumnya, aku pasti membeli kado bersama Melisha. Aku berputar-putar selama 2 jam di dalam mall karena bingung ingin membeli apa. Setelah itu, aku langsung melajukan mobilku ke tempat acara di sebuah hotel ternama.
Aku menghela napas berkali-kali sebelum memasuki ballroom hotel. Melisha itu biasa on time, jadi bisa dipastikan kalau dia sudah ada di dalam sana lebih dulu. Jantung ini masih berdegup dengan kencangnya, bahkan sebelum melihat perempuan itu. Sangat wajar, 5 tahun kami bersama dan aku begitu mencintainya. Tentunya bukan hal yang mudah melupakan sosoknya—kebersamaan kami juga.
Sesuai ucapanku malam itu, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Tapi, minggu lalu aku melanggar dan menghubunginya gara-gara mendengar berita jika Melisha menangani kasus client seorang artis. Aku tak ingin saja namanya jadi tercoreng jika membela artis tersebut. Pasalnya, artis itu menurutku manipulatif. Dia berada dalam situasi yang salah juga, jika dibela maka presentase kemenangannya hanya sekitar 10%. Sebelumnya, dia sudah mendatangi kantorku, berbicara denganku juga. Aku dengan tegas menolaknya setelah menganalisa kasusnya.
Perlahan, aku melangkahkan kaki memasuki ballroom. Benar dugaanku, Melisha sudah berada di dalam sana. Mungkin karena pikiranku dipenuhi olehnya, jadi di antara keramaian pun, aku masih bisa menemukan sosoknya. Dia selalu terlihat berbeda dari yang lain. Ah, mungkin karena aku yang selalu terfokus padanya saja sehingga tak pernah memperhatikan sosok lain di sekitar.
Ada Yoga dan Aya juga di dekat Melisha. Yoga melambaikan tangan begitu melihat kehadiranku. Dengan detak jantung berdegup dengan kencangnya, aku melangkah ke arah sana dan berusaha untuk terlihat tenang. Padahal di dalam hatiku, kacau sekali rasanya. Gatal sekali tangan ini ingin melingkar di pinggang Melisha, seperti biasanya saat kami menghadiri acara pesta begini. Aku menghela napas lagi, untuk ke sekian kalinya. Tiba di dekat sana, mau tak mau aku tetap menyalami semuanya termasuk Melisha juga. Melisha awalnya terlihat ragu menyambut uluran tanganku. Dan selanjutnya, hatiku semakin pedih di saat Yoga bilang kalau lelaki yang berada di dekatnya saat ini adalah pasangannya Melisha. Aku tahu Melisha memang tengah dekat dengan seseorang, Aya bilang waktu aku ke rumah mereka kala itu. Aku berjabat tangan dengan lelaki itu, menatap lurus padanya sampai tak menyadari jika meremas kuat jemarinya kalau tak ada deheman dari Yoga.
Aku menarik napas pelan, berusaha mengontrol emosi yang rasanya ingin meledak. Aku berkata kepada Melisha agar dia mencari lelaki lain yang bisa membahagiakannya, bukan seperti aku yang tidak jelas begini. Kenyataannya, di saat melihat langsung Melisha bersama lelaki lain, hatiku sakit sekali rasanya. Mana lelaki itu tampan, jauh dari padaku jika dibandingkan fisik. Lebih tinggi juga, tampak berwibawa.
"CEO dia ini, Dik." Yoga berbisik pelan padaku.
Aku terkekeh miris di dalam hati. Perbedaan yang jauh sekali dibanding denganku. Aku memang berasal dari keluarga yang cukup berada, akan tetapi pastinya lelaki yang bersama Melisha saat ini jauh lebih segalanya dibanding denganku. Awalnya hendak berlama-lama di sana melihat Melisha, tapi aku rasanya tak akan kuat. Aku beralasan akan ke luar kota menjelang subuh, makanya tak bisa lama di sana.
Fero menepuk-nepuk bahuku sebelum aku beranjak pulang. Aku tahu, dia mengerti apa yang tengah aku rasakan hingga buru-buru ingin pulang. Aku hanya terkekeh pelan, segera beranjak dari sana.
"Loh, kok udah pulang aja jam segini?" Kak Fani, membukakan pintu rumah untukku. "Tumben. Biasanya, ada acara teman gengmu itu pulangnya pasti lama."
"Patah hati," jawabku singkat. Kemudian melangkah masuk, duduk merebahkan diri di sofa dengan kepala bersandar.
"Ketemu Melisha?"
Aku berdehem. "Dia udah bersama seseorang yang baru."
"Bukannya itu yang kamu inginkan waktu itu? Kamu bilang membiarkan Melisha bersama lelaki lain karena kamu merasa nggak pantas? Ngerasa nggak akan bisa bikin dia bahagia? Kenapa sekarang jadi begini?"
Mataku kembali terbuka dan terkekeh kecil. Aku memang menginginkan begitu sebelumnya, akan tetapi saat menyaksikannya langsung bersama lelaki lain, hatiku terasa begitu sakit. Tak rela rasanya. Tapi, mau tak mau aku harus merelakan...
"Nggak apa-apa sakit. Nikmati dulu aja sakitnya dan nanti akan terbiasa, lalu semua akan baik-baik aja."
Kak Fani ikut duduk di sebelahku. "Are you sure?"
Aku mengangguk. "Ikhlas itu fasenya tersiksa, terpaksa, lalu terbiasa. Dan semua akan terasa baik setelahnya."
"Memang begitu fasenya ikhlas. Tapi nggak semua bisa kayak gitu, apa lagi kamu. Aku tahu kamu sesayang apa sama Melisha. Dan kalian bersama sekian tahun, bukan waktu yang sebentar."
"Aku harus gimana lagi emangnya? Aku nggak mau egois menahan dia, sementara aku nggak bisa janjiin apa-apa."
"Kamu hanya perlu berdamai dengan diri kamu sendiri."
Aku seketika menoleh.
"Aku punya kenalan orang yang aku bilang sama kamu kemarin ini. Ayo, Dik, ini demi kebaikan kamu. Nggak mungkin selamanya kamu hidup sendiri tanpa menikah, bukan?" Kak Fani tersenyum penuh arti. "Barangkali masih ada waktu, nanti kamu bisa membawa Melisha kembali. Sekarang, yuk fokus sama diri kamu sendiri dulu. Baru setelah itu kejar lagi dia.”
"Apa aku bisa, Kak?"
"If you never try, you'll never know. Aku yakin, kamu pasti bisa."
***
Aku terbangun karena mendengar gedoran pintu di kamarku. Terdengar suara seorang cempreng seorang perempuan berteriak kencang dari luar sana. Aku memutar bola mata malas. Aku mengenali suara itu.
Dari pada berisik, aku melangkah menuju ke arah pintu.
"Berisik! Ganggu orang tidur aja," dengusku setelah membuka pintu. "Ngapain lo ke sini pagi-pagi?"
Keyra, anak dari teman mamaku itu berdiri di depan pintu dengan wajah menyengir tanpa merasa bersalah sudah mengganggu waktu tidur orang.
"Aku mau minta diajarin. Mumet banget otakku, pusing pokoknya. Butuh bantuan kamu, Mas.”
"Sepagi ini?" decakku.
"Pagi apaaan? Udah jam 9 tahu!"
"Masih pagi bagi gue!" Aku mengucek mataku. "Udah sana! Gue masih ngantuk."
Lagi, ini siapa yang membiarkan bocah ini menggedor-gedor pintu kamarku?
"Nggak boleh tidur lagi!" Keyra menarik kencang tanganku dan aku segera melepasnya. "Aku udah dikasih izin sama si Tante buat gedor-gedor pintu kamarnya kamu sampai kamu bangun."
Aku memutar bola mata. "Lo nggak ada hak meski disuruh nyokap gue."
"Ada dong! Kan aku calon istrinya, Mas. Harus perhatiin kamu dari sekarang. Ya udah sana, kamu mandi atau cuci muka dulu terus sarapan." Perempuan itu mengedipkan sebelah matanya. “Aku tunggu di meja makan ya… calon suami.”
Tanpa berkata apa pun, aku kembali masuk dan menutup pintu. Kembali merebahkan diri di kasur. Semalam, aku tak kunjung bisa tidur. Apa lagi setelah melihat story-nya Aya. Salah satu story di sana menunjukkan jika lelaki bernama Pras itu telah menggantikan posisiku. Aya mengunggah foto kebersamaan mereka semua berpasangan, lengkap dengan anak mereka juga.
“Dikta… “ Terdengar ketukan pintu dan suara memanggil namaku beberapa saat kemudian. Kali ini, bukan suara si cempreng lagi terdengar.
Aku menuju ke arah pintu dan membukanya. Ada mama yang sudah berdiri di sana.
“Kenapa, Ma?” tanyaku.
“Boleh Mama masuk?”
Aku mengangguk. Aku memberi jalan untuk mama masuk ke dalam.
“Mama yang nyuruh Keyra buat bangunin aku?”
“Iya. Mama bilang, gedor-gedor aja pintunya. Habis udah siang begini, tumben kamu belum bangun.”
“Ngantuk, Ma.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?” tanyaku mengernyit.,
“Kamu beneran udahan sama Melisha? Belakangan ini, Mama perhatiin kamu kelihatan beda.”
“Hmmm.”
“Mama udah sayang banget sama dia, Dik. Mama suka Melisha, ingin dia jadi bagian dari keluarga kita.”
Mama memang belum tahu apa penyebab persisnya hubunganku dengan Melisha kandas. Aku hanya bilang jika kami tak ada kecocokan lagi.
“Kan aku udah bilang kemarin ini alasannya, Ma.”
“Semudah itu bilang nggak ada kecocokan setelah bertahun-tahun bersama?” Mama menatapku dengan penuh selidik.
“Ya gitu kenyataannya.” Aku menatap ke arah lain, karena berbohong.
“Terus, kalau Keyra gimana?”
Aku tertawa. “Kenapa jadi Keyra?” tanyaku setelah tawaku reda.
“Kalau bukan bersama Melisha, Mama nggak apa-apa kalau penggantinya si Keyra. Dia anak yang baik, meski tingkah suka random.”
“Ma, aku anggap dia sebagai adek aja. Nggak lebih.”
“Kamu mau cari yang kayak gimana lagi emangnya?”
“Aku cuma lagi pengen sendiri, Ma.”
“Umur kamu udah pantas untuk menikah.”
“Aku sama sekali nggak kepikiran menikah untuk saat ini.”
“Patah hati karena putus dari Melisha?”
“Hmmm. Ya namanya udah berhubungan lama, pasti ada rasa sedihnya karena udah nggak bareng. Tapi nanti akan baik-baik aja seiring berjalannya waktu.”
Mama menatapku dengan mata menyipit.
“Kenapa ngelihatin aku begitu?”
“Ada sesuatu yang kamu sembunyiin?”
“Nggak ada.” Aku mengusap-usap hidungku, tak berani menatap matanya mama.
“HP kamu nyala tuh layarnya! Ada telepon dari Melisha kayaknya.”
Aku seketika menoleh pada ponselnya yang terletak di atas nakas. Layar ponsel tersebut tidak menyala.
Terdengar kekehan kecil dari mama. “Kalau masih cinta, kenapa kamu nggak berusaha untuk pertahanin dia?”
Andai mama tahu, aku tak akan melepas Melisha jika bisa menjanjikan sebuah kebahagiaan untuknya.
Terdengar helaan napas dari mama beberapa saat kemudian. “Dik, apa yang udah Mama atau kakak kamu alami, itu semua adalah takdir. Kenapa kamu jadi malah berpikir jika kamu nggak akan bisa jadi membahagiakan hidup seseorang, karena melihat apa yang terjadi kepada kami? Mama sedih dengar cerita kakak kamu semalam. Mama jadi merasa bersalah sama kamu.”
“Ma, a-aku… “
“Kamu pasti bisa, Nak. Ayo, ciptakan kedamaian sama diri kamu sendiri. Mana Dikta yang dulu Mama kenal, yang selalu percaya diri?”