“Kita putus!”
“Iya, iya! Emang itu yang aku mau. Aku sudah bosan sama kamu! Bosan bahas itu itu aja dari dulu, yang nggak boleh merokoklah, nggak boleh nongkrong lama-lamalah, nggak boleh kasih numpang cewek lainlah!”
“Iya, kan aku pacar kamu dan aku wajar nggak bolehin kamu!”
“Oke! Dan sekarang kita putus dan nggak ada hubungan apa-apa lagi!”
Mata Icha memanas, ini sudah kali ke151 dia meminta putus dari Geo, laki-laki yang sudah dia pacari sejak lima tahun lalu, sejak sama-sama sekolah di SMA yang sama.
“Aku bisa bebas dari ocehan sampah kamu!” desis Geo sambil membuang puntung rokoknya yang sudah pendek ke atas jalanan, lalu memijaknya. Dia pergi dengan wajah kesal.
Akhirnya tangis Icha tumpah, menangisi kepergian Geo dengan mobil sport mewahnya.
Sebenarnya wajar Geo geram dengan Icha selama berpacaran. Gadis itu terkadang mempermasalahkan hal-hal kecil, dan kata putus sudah seringkali dia ucapkan. Namun, dua atau tiga hari kemudian, Icha pasti meminta kembali. Dan sepertinya kali ini Geo sudah benar-benar bosan dan marah, dia tidak ingin lagi kembali ke pelukan Icha, yang baru saja mempermasalahkannya karena lambat menjemputnya ke rumah menuju kampus. Tidak lama, sepuluh menit terlambat, tapi bagi Icha itu sangat lama, dan membuatnya kesal, hingga marah sampai kata-kata putus pun terucap.
Icha memperbaiki posisi tas ransel di punggungnya, lalu melangkah cepat menuju kelasnya yang akan mulai tiga menit lagi.
Sesampai di dalam kelas, Icha duduk di bagian depan, karena kursi di bagian belakang sudah penuh, padahal biasanya dia duduk di bagian belakang. Icha mengikuti mata kuliah pagi itu dengan perasaan tidak karuan. Pikirannya melayang ke kejadian barusan, bertengkar hebat dengan Geo.
“Pasti berantem lagi,” tegur Tesa, sahabat Icha saat kuliah baru saja selesai.
Tesa duduk di samping Icha yang wajahnya cemberut tidak semangat.
“Udah, sebentar lagi juga selesai kuliah lo. Fokus penelitian, nggak usah mikirin Geo lagi. Dia mah emang b******k. Lo aja yang sok baik bin geblek. Udah berapa kali dia slengki juga, masih juga lo baikin. Herman gue.”
Icha diam sambil memasukkan alat-alat tulisnya ke dalam ranselnya. Geo sebelumnya pernah tiga kali ketahuan selingkuh dengan anak sekolahan, dan Icha memang memaafkannya setelah Geo berjanji tidak mengulanginya lagi. Terakhir Geo selingkuh, sekitar enam bulan lalu, setelahnya dia benar-benar memenuhi janjinya, setia dengan Icha. Tapi hari ini, Geo sangat kesal karena Icha yang memarahinya hanya karena terlambat menjemput Icha di rumah. Icha marah-marah di sepanjang jalan, sampai menyinggung kelakuan Geo selama berpacaran, mengungkit perselingkuhannya, kegemaran rokoknya, sampai menyinggung teman-teman nongkrongnya, sehingga Icha berucap putus. Lucunya, dia yang meminta putus, dia pula yang galau, sampai-sampai tidak bisa mengkuti kuliah dengan baik.
Tesa mengikuti langkah Icha menuju kantin. Tesa adalah sahabat Icha sejak semester pertama kuliah. Dialah yang tahu kisah kasih Icha dan Geo yang penuh dengan drama. Tapi sebagai sahabat yang baik, dia tidak pula bosan menasihati Icha, karena Icha sosok sahabat yang baik baginya. Icha selalu membantunya di saat dirinya sedang kekurangan, terutama saat uang bulanan dari orang tuanya yang berada di kota Makassar, terlambat datang. Icha bersedia meminjamkannya, dan Tesa tidak lupa pula mengembalikannya tepat waktu.
“Masalah apa lagi yang bikin lo marah-marah?” tanya Tesa setelah memesan dua porsi kwetiau goreng sapi asap dari kantin kampus, makanan kesukaan Icha.
“Dia telat jemput gue, Tes.”
“Yaela … perkara telat jadi manyun gitu.”
“Gue kesel. Trus … gue minta putus.”
“Dan lo galau kan?”
Icha mengangguk dengan wajah cemberut.
Icha mengambil ponsel dari dalam tasnya.
“Eh eh … eit. Jangan minta balikan. Lo udah minta putus, trus lo minta balikan?”
Icha mengangguk lemah.
Tesa tatap wajah Icha geram.
“Always selalu tidak pernah Never.” Tesa pasrah tidak mau memaksakan pendapatnya agar Icha tidak memulai meminta balikan.
Icha tampak menghubungi seseorang, dengan ponsel yang dia dekatkan ke telinganya. Sebentar kemudian, dia mendengus kasar, karena panggilannya sepertinya tidak dibalas-balas.
Icha makan kwetiaunya dengan malas.
“Udah, Cha. Kita tinggal satu semester lagi nih, habis tuh harus fokus buat laporan akhir, mikir KKN juga. Harus lebih serius. Ntar jadinya nilai lo nggak maksimal, kayak semester lalu, cuma gegara dia nggak bales chatan lo, nilai lo jadi C,” ujar Tesa yang yakin bahwa Icha pasti sedang menghubungi Geo.
Icha tidak menghabiskan kwetiaunya siang itu, karena pesannya tidak dibalas Geo, padahal sudah dibaca.
Icha menghempaskan napasnya sebal, lalu menyender di bahu Tesa.
“Gue tau lo udah deket banget ma Geo, lo udah sayang banget ma dia. Tapi kalo lo begini terus-terusan, lo juga yang susah hati, kan?”
Icha mengangguk lemah.
“Lo fokus urus kuliah, lo katanya mau KKN sama gue. Kita bisa urus sama-sama. Jadi, yang semangat dong.”
Tesa terus menghibur Icha yang galau dan kesal hari itu.
Bersambung