Sidang perceraian terakhir akhirnya selesai juga, Andra pun bisa menghela lega. Dalam tiga tahun terakhir, rumah tangganya mengalami keretakan dan tidak bisa lagi diselamatkan, padahal dia sudah mati-matian mempertahankannya. Tapi, karena campur tangan Mama mertua, dia tidak berdaya sama sekali, dan harus merelakan rumah tangganya kandas, setelah sepuluh tahun.
Andra mengingat pertengkaran hebatnya dengan Siska, perempuan yang kini sudah menjadi mantan istrinya, yang telah melahirkan seorang putri cantik dan manja yang bernama Vanya Silvencha, buah hati mereka.
“Aku menyesal tidak menuruti kata-kata Mama, seharusnya aku nggak menikah dengan kamu dari dulu. Mama benar, bahwa kamu nggak bisa diandalkan, nggak bisa menghasilkan banyak uang. Selama sepuluh tahun ini, hanya rumah dan mobil butut saja yang kamu hasilkan. Bagaimana aku bisa bertahan dan mempertahankan kamu kalo kamu nggak berusaha maksimal. Kamu nggak mikir masa depan rumah tangga! Masa depan Vanya! Kerjaan kamu hanya mengetik-mengetik. Apa hasilnya?! Nggak ada!!”
Fransiska Irawan atau Siska adalah seorang pengusaha butik. Sebelum menikah, dia berpacaran dengan Andra kurang lebih dua tahun. Sebenarnya dia telah dijodohkan dengan seorang pengusaha bus kaya raya oleh mamanya, akan tetapi, dia menolak dan memilih menikah dengan pacarnya, Andra, yang bekerja sebagai dosen biasa di kampus swasta di kawasan Jakarta Selatan.
Setelah menikah dengan Andra, Siska tidak semangat karena ternyata uang Andra tidak setampan wajah dan tubuhnya. Siska berpikir bahwa uang adalah segala-galanya dan dia tidak bisa terlepas darinya. Apalagi dia adalah seorang pengusaha butik yang memerlukan modal yang cukup besar agar usaha dan bisnisnya tidak bergerak di tempat.
Siska tahu bahwa Andra memang tidak kaya, ayahnya adalah seorang pensiunan guru, dan mamanya seorang ibu rumah tangga, dan keduanya tinggal di kota Magelang. Saat hendak menikah, Andra sudah bekerja sebagai dosen. Satu-satunya alasan Siska mau menikah dengan Andra ialah Andra mengenyam pendidikan S2 nya di Amerika, dan S3nya di Inggris, juga sudah memiliki rumah dan sebuah motor saat itu. Siska mengira bahwa Andra akan bisa seperti teman-temannya yang sukses sebagai dosen sekaligus pemilik lembaga penelitian beromset milyaran rupiah, karena Andra pernah menceritakan tentang proyek besarnya tersebut dan dana penelitian yang akan cair segera. Tapi, setelah ditunggu-tunggu, bahkan sepuluh tahun lebih, ternyata Andra tidak pernah mendapatkan dana tersebut. Andra beralasan dirinya ditipu teman-temannya yang tidak transparan tentang dana penelitian.
“Vanya kapan lagi ya, bisa main di apartemen Papa?” tanya Vanya setelah turun dari motor papanya. Gadis itu menyalami tangan kanan Andra dan menciumnya.
Andra usap-usap kepala Vanya sembari menatapnya penuh kehangatan, “Bulan depan. Tapi jangan lupa izin Mama dulu. Kalo nggak dibolehin, Vanya jangan maksa ya?”
Vanya mengangguk, lalu dia melangkah pergi setelah tidak lupa memberi senyum ke papanya.
Andra tertegun melihat punggung gadis kecil kesayangannya yang sudah mendekati gerbang sekolah. Sedikit merasa bersalah karena dia pada akhirnya tidak bisa menyelamatkan masa kecil gadis itu, yang harus menghadapi perceraian orang tua. Andra sendiri lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang melimpah, sampai sekarang Ayah dan ibunya masih terus menanyakan kabarnya. Tidak ada kata-kata lain yang diucapkan ayah dan ibu selain “sabar” setelah Andra menceritakan kisruh rumah tangganya yang berujung perceraian, dan Andra memang harus sabar menghadapi persoalan rumah tangganya.
Sudah hampir enam bulan menduda, dan Andra tinggal di sebuah apartemen sederhana di dekat kampus tempatnya mengajar. Rumah yang dia diami dulu dia serahkan kepada istrinya karena tidak mau berpolemik mengenai harta gono gini perceraian. Andra masih bisa menghasilkan dan juga tetap memberi nafkah kepada anak dan istrinya sesuai dengan hasil sidang perceraian. Siska masih dianggap sangat beruntung, karena Andra masih mau bertanggung jawab, meskipun dia yang menggugat. Ada banyak janda yang bernasib tidak mujur, dicerai dan mantan suami yang enggan bertanggungjawab memberi nafkah, tapi Andra bahkan memberinya lebih.
“Eh, Pak Duda.”
Andra tersenyum tipis saat ditegur rekan kerjanya, Inka, sebelum memasuki kantornya. Di kampusnya, Andra menjabat sebagai sekretaris jurusan.
“Habis antar Vanya, Dra?” tanya Inka sebelum pintu kantor ditutup Andra. Dia melihat Andra membawa goodie bag warna pink, yang biasa diisi dengan makanan ringan. Tapi, tampaknya saat itu tas itu sudah kosong.
“Ya.” Andra lalu menutup pintu kantornya.
Andra dikenal pendiam di kantor, jadi dia tidak banyak bicara, dan akan banyak bicara jika diperlukan. Sebagai orang yang cukup dekat dengan Andra, Inka sangat mengenal kepribadian Andra. Dia ikut menyesalkan perceraian Andra dan Siska, tak menyangka Siska yang dulunya baik hati berubah menjadi sosok yang materialistis ketika menikah. Andra menyebut bahwa Siska mulai berubah sejak tiga tahun terakhir, saat mengetahui bahwa dana penelitian yang Andra janjikan dipastikan tidak cair.
Andra menghela napas panjang saat melihat tumpukan surat penunjukkan dirinya sebagai dosen pembimbing laporan akhir mahasiswa tingkat akhir, di atas meja kerjanya. Tahun ini dia meminta kurang dari sepuluh mahasiswa saja yang dia bimbing dan tidak lebih dari itu, karena dia memiliki tugas tambahan selain sebagai dosen, yakni menjabat ketua jurusan di Fakultas.
Andra menyusun surat-surat itu dan melanjutkan pekerjaannya.
***
“Lo terlalu baik, Dra. Nggak lu tanyain si Ferdi b******k, tuh? Gila, dana penelitian dimakan semua.” Inka menyalakan rokoknya dengan ujung rokok yang dihisap Andra. Dia menyesalkan Andra yang terkesan mendiamkan haknya. Setidaknya dia mendapat bagian empat ratus juta dari dana penelitian tersebut.
Inka dan Andra sedang menikmati makan siang di luar kampus. Inka adalah perempuan berperawakan tomboy, ada bekas tato di lengan kirinya. Setelah bekerja di dunia akademik, Inka berusaha menghilangkan sebagian tato di tubuhnya. Dia berteman dengan Andra sejak sama-sama kuliah S1 di Yogyakarta. Inka juga lulusan Amerika, beda kampus dari Andra.
“Salah gue sih. Iyain pembagian dana.”
“Maksudnya?”
“Yah … dia bilang soal dana penelitian biar dia yang atur, gue iyain aja karena gue percaya.”
Inka tergelak. “Hah! Soal duit lo percaya aja ama orang. Orang tuh berubah kalo udah berurusan sama duit. Noh! Lo liat aja mantan lo, berubah drastis ketika liat duit, sampe minta cere, kan?”
Inka menggelengkan kepalanya dan tersenyum sinis ke wajah tampan putih Andra. Dilihat dari segi penampilan, Andra cukup sempurna, dia tampan, cerdas dan baik hati. Meskipun tubuhnya agak kurus, tapi berisi dan atletis, juga sedikit berotot, dan tubuh Andra yang lumayan tinggi. Dari sisi sikap, dia terlalu permissive dan gampang mengiyakan, juga agak lemah. Namun, menurut para mahasiswa, Andra lumayan tegas dalam mengajar.
Bersambung