YOUR FRIENDS

933 Words
   Aku melirik jam yang melingkar di tanganku. Pukul delapan lewat lima menit. Aku lanjut berjalan sesaat setelah melihatnya. Aku berjalan sangat santai, meski kini sudah sangat sepi, juga langit berubah semakin gelap, aku tak takut sama sekali. Aku tak terpikir jika aku akan dirampok, diculik, atau apalah. Tidak sama sekali. Aku baru pulang dari jalan-jalanku di mall tadi bersama Melly. Pakaian yang kukenakan kini pun masih seragam sekolah. Sejujurnya, aku berharap untuk bisa mengulur waktu lebih lama lagi, aku sempat terpikir untuk pulang di sekitar jam sebelas sampai dua belas malam, tapi gagal. Sebenarnya, Melly sudah pulang sekitar jam empat sore tadi, ia sungguh takut akan dimarahi orang tuanya. Aku sudah merayunya untuk berjalan-jalan lebih lama lagi bersamaku, tapi ia beralasan:    "Key, kata nyokap gue, cewek itu nggak boleh main lama-lama. Anak perawan itu harusnya di rumah, bantuin ibunya, bukannya keluyuran kayak gini."    Itu ucapan Melly siang tadi yang masih kuingat. Ia sungguh takut jika ia akan dimarahi orang tuanya jika pulang lebih lama. Alhasil, ia pun pulang lebih dulu daripada aku. Sementara aku, siang tadi lanjut mengelilingi mall, hingga saat jam setengah delapan tadi, aku memilih pulang karena bosan. Tok... Tok... Tok...    "Hey Keyrina," sapa tante Victor sesaat setelah membuka pintu untukku.    Seperti biasa, aku menerobos dirinya dan segera masuk ke dalam rumah tanpa izin. Tau kan rumah siapa? Tentu saja rumah Papa. Aku menaiki anak tangga mencapai lantai dua, aku segera membuka pintu berwarna putih itu. Masih ingat itu ruang apa? Ruang kerja Papa. Clak!    Baru saja aku ingin berkata "Hi dad"  tapi langsung tertunda karena aku tak melihat seorang pun di sini. Papa tak ada di kursi kerjanya seperti biasa. Ruang ini kosong. Aku menutup pintu ruang itu, dan kembali melangkahkan kakiku. Aku baru saja ingin menginjak anak tangga untuk turun, namun tertunda sesaat setelah aku melihat pintu kamar yang tepat terletak di sebelah ruang kerja Papa. Itu kamar Jackson. Aku berbalik arah, dan mengurungkan niatku untuk turun. Lantas aku memasuki kamarnya. Tanpa mengetuk pintu, aku membukanya begitu saja, dan segera masuk tanpa izin terlebih dahulu. Terlihat jelas kini, Jackson tengah duduk di kursi meja belajarnya seraya mengerjakan sesuatu di bukunya.    Aku menutup pintu. Lalu aku melangkah menghampirinya, dan duduk di tepi ranjang tepat di hadapan Jackson.  "Masih mau menindas?" tanyaku pelan.    Ia terdiam dan pura-pura fokus pada tugasnya. Aku terkekeh. "Kamu bilang kamu jagoan."    Masih terdiam.    "Hey, jawab! Kamu masih mau menindas? Atau kamu sudah takut?"    Ia masih saja terdiam.    "Kamu takut dihukum kan?" aku tertawa kecil. "Kakak sudah bilang, kamu akan rasakan akibatnya. Sekarang terbukti kan, akibat sudah hadir di hidup kamu."    Aku menyeringai menatap Jackson yang kini terdiam kaku menghadapiku. Setetes cairan bening bahkan kini sudah mengalir di pipinya. Aku terkekeh, lalu beranjak berdiri dan keluar dari kamar Jackson, lantas berjalan menapaki lantai satu.    "Papa di mana?" tanyaku pada tante Victor yang tengah asik menonton TV.    Ia tersenyum. "Papa lembur hari ini."    "Ohh."    Aku kembali melangkahkan kakiku, mencoba berjalan menuju kamar, tapi ucapan tante Victor berhasil membuat langkahku kembali terhenti.    "Have you eaten?" Aku menoleh, menatapnya sejenak, lalu mengangguk. ***    Aku berjalan santai menaiki anak tangga kini. Rambutku basah karena aku baru saja selesai mandi dan keramas. Kini, aku berada di hadapan sebuah pintu berwarna coklat tanah. Aku tak langsung membuka knop pintu itu, aku menatapnya sesaat.  Clak!    Berselang beberapa waktu aku mematung di hadapan pintu itu, aku pun lantas membukanya. Ini kamar Jackson. Aku membuka sedikit celah dari pintu itu, aku melihat sejenak keadaan di dalam kamar ini. Jackson masih di sana. Di atas kursi meja belajar, namun kini posisinya telah berubah. Ia tak lagi terlihat tengah mengerjakan sesuatu, tapi ia kini terlihat tengah membaringkan kepalanya di atas meja belajar. Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar ini, dan dengan sangat perlahan aku kembali menutup pintunya. Aku kini berjalan menghampiri Jackson di meja belajarnya, dan menatapnya sejenak, lalu aku melambaikan tanganku ke depan wajahnya, mencoba memastikan apakah ia pura-pura tidur atau memang benar-benar tidur?    Tak ada respon.    Ia masih saja tertidur dengan beralaskan sebuah buku di bawah kepalanya. Aku menghela napas pelan, lalu aku duduk di sisi ranjang dan masih menatapnya yang kini terlelap.  Lantas, lagi-lagi secara perlahan, aku mengangkat kepalanya lalu mengambil buku yang entah dari kapan telah ia tiduri.  Setelahnya, aku menatap sejenak buku tersebut. Sepertinya ini sebuah tugas. Tugas Matematika. Terlihat jelas dari seluruh catatannya terdapat banyak angka juga rumus, selain itu, beberapa rangkaian materinya juga menunjukkan materi Matematika.    Aku masih menatap buku itu. Dan kulihat, dari sepuluh soal di buku itu, hanya tiga soal yang ia jawab, itupun hasilnya semua salah. Aku tertawa kecil, lalu aku meraih sebuah pulpen di atas meja belajarnya, dan sesegera mungkin aku menjawab semua soalnya.  Ternyata, tak butuh waktu lama untuk menyesaikan soal matematika semudah itu. Semua soal dalam buku itu sungguh mudah hingga hampir dapat kujawab dalam sesaat. Jangan heran dengan aku, meski aku adalah gadis yang bisa dibilang tak sopan juga trouble maker, aku juga gadis yang pintar. Meski aku adalah murid malas, aku selalu meraih peringkat tiga besar. Hebat kan???    Aku kini beranjak berdiri dari posisiku, lalu aku berjalan menuju rak buku Jackson dan melihat kertas jadwal yang tertempel di sana.    Matematika    Ilmu Pengetahuan Alam    Bahasa Indonesia    Bahasa Inggris    Aku lalu mencari buku mata pelajaran tersebut dalam rak, setelahnya, aku memasukkan semua buku tersebut dalam tas Jackson, lalu menutupnya. Lantas, aku kembali berjalan menghampiri Jackson yang masih terlelap dalam posisinya, aku lalu meraih selimut yang tergeletak rapi di atas ranjang tidur, dan setelah itu aku menyelimuti tubuh Jackson.    "Have a nice dream," bisikku.    Aku tersenyum kecil, lalu aku mematikan lampu ruang kamar ini, dan lagi-lagi secara perlahan, aku menutup pintu kamar ini. Keluar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD