WORST DAY

2083 Words
This is the worst day of my life!    Aku menghela napas panjang sesaat ketika kalimat tersebut terdengar lirih di telingaku. Aku segera memperbesar volume musik yang kudengar lewat earphone, tapi sia-sia, volume besar itu tak mempengaruhi suara lirih yang menghantui pendengaranku. Aku mendecit kesal, lalu aku mematikan musik yang menggema di telingaku itu. Aku lagi-lagi menghela napas panjang, lalu aku menatap sekelilingku. Sebenarnya sekarang ini aku tengah berada di dalam toilet sekolah, duduk di atas closet yang sebelumnya sudah kututup. Dan sebenarnya, saat ini di kelasku tengah berlangsung jam pelajaran kedua, yaitu bahasa Inggris. Jangan heran dengan aku. Ini adalah salah satu kebiasaan burukku dalam bersekolah. Aku memang seperti ini jika pelajaran tersebut dilaksanakan, keluar kelas dan berdiam diri di toilet bahkan kadang hingga tertidur, dan akan kembali jika bel selanjutnya berbunyi. Aku begini karena aku berpikir, untuk apa ada pelajaran bahasa Inggris jika seluruh murid di sekolah ini fasih berbahasa Inggris? Namun meski begitu, sepertinya hanya aku yang bersikap dan berpikir semacam itu. This is the worst day of my life!    Kalimat itu kembali terdengar lirih di telingaku. Entah kenapa setiap mendengarnya, seakan rasa bersalah datang merasuki jiwaku. Itu kalimat yang dikeluarkan dari mulut Jackson pagi tadi ketika kami tiba di sekolah. Sebuah masalah besar datang menimpa Jackson hari ini, meski Jackson tak menyalahkan diriku, aku tetap merasa bersalah dan beranggapan bahwa masalah besar Jackson hari ini bersumber dari aku. Kring... Kring... Kring...    Bel harapanku sudah berbunyi. Bukan bel pulang sekolah, melainkan bel istirahat. Aku segera beranjak dari posisiku, lalu keluar dari toilet ini. Aku berjalan pelan menuju area itu lagi. Ya, seperti biasa, jam istirahat kali ini, aku kembali memasuki area SMP.    Kalian tau? Suasana sekitarku saat ini sungguh membuatku tak nyaman. Sebagian besar murid yang lewat senantiasa membicaran adikku, Jackson. "Gue jadi benci sama adek kelas kita itu, ternyata sikapnya amit-amit."    "Sok jagoan banget sih tuh anak, kalo gue ketemu dia nanti gue tonjok dah."    "Lu tau kan si Jackson? Adek kelas kita di SMP, ternyata sikapnya ngelebihin gue njir."    "Ganteng sih, tapi bikin gue nggak tertarik."    "Sekarang kejelekannya udah kesebar. Biarin aja dia tau rasa."    Aku terdiam sesaat, mematung di depan sebuah dinding penyangga. Aku sudah cukup sabar menahan amarahku karena mendengar orang lain menggunjing adikku seperti itu, tapi sepertinya kesabaranku kembali diuji ketika melihat poster tak berguna itu tertempel di dinding penyangga yang kutatap kini. Poster itu menampilkan foto Jackson yang dicoret dengan garis silang berwarna merah. Cukup menjelaskan bahwa poster itu bertujuan menghina Jackson secara tidak langsung. Aku kembali menghela napas panjang, dan lanjut berjalan menerobos orang lain seolah aku tengah seorang diri kini.    Kalian tau apa alasan yang membuat Jackson mengeluarkan kalimat yang sedari tadi lirih di telingaku?    Ini alasannya.    Saat aku dan dia tiba di sekolah pagi tadi, pemandangan buruk segera menyapa penglihatan kami. Ketika kami baru saja menapaki kaki di area sekolah, cacian juga menimpa Jackson bertubi-tubi. Di setiap sudut sekolah, poster tak berguna yang memperlihatkan wajah Jackson itu terpajang. Di depan pagar, di dinding pos satpam, dinding penyangga, bahkan hingga batang pohon yang menghiasi area halaman sekolah pun ikut ditempeli poster tak berguna itu. Dan tak hanya poster, berbagai tulisan cetak maupun tulisan tangan juga tersebar dimana-mana. Aku tak akan memusingkan jika tulisan-tulisan tersebut mendeskripsikan hal lain, tapi tulisan tangan yang ditulis oleh sebagian besar murid di sekolah ini menuju pada hinaan untuk Jackson. Hinaan dengan pendeskripsian pendek maupun panjang ada di berbagai sudut sekolah ini.    Awalnya, aku menghibur Jackson untuk tidak sedikitpun peduli pada hinaan tidak langsung untuknya tersebut, namun seluruh orang yang ada di sekitar kami pagi tadi terus mencaci maki Jackson sesuka mereka, membuat Jackson hampir saja lagi-lagi melakukan k*******n, tapi untungnya aku berhasil membujuk Jackson terlebih dahulu, dan menariknya menjauh dari sana. Namun lagi-lagi, suatu hal buruk datang pada kami. Tidak! Maksudku, datang untuk Jackson. Saat aku mengantar Jackson menuju kelas, bermaksud menjaganya agar tetap aman, tapi lagi-lagi kami menemukan hal buruk. Foto Jackson ketika ia menerima hukuman di tengah lapangan dengan kertas karton menggantung di lehernya, ingat kan? Ya, foto yang memang sudah dijepret banyak murid kala itu, dan kini salah satunya terpajang besar di mading sekolah. Tak hanya satu, namun beberapa. Mading SMP yang tadinya penuh dengan poster berguna kini berganti menjadi penuh dengan foto memalukan Jackson dan berbagai tulisan tangan yang lagi-lagi mengarah pada hinaan untuk Jackson.    Pagi tadi saat melihat seisi mading, Jackson hampir saja menangis, namun ia menahan air matanya, mungkin ia malu menangis di hadapanku. Dan pagi tadi juga, tatapan berkaca-kaca yang baru pertama kali ia perlihatkan padaku hadir. Ia menatapku sungguh memelas, matanya yang bergelinang cairan bening tersebut seolah menghipnotisku, tatapan yang semakin lama terus terselimuti air mata itu sungguh menyayat hati, rasanya tatapan mata itu membuat hatiku terus bergumam bahwa tangisannya ini terjadi karena aku.    "This is the worst day of my life!"    Itu ucapan yang ia keluarkan dari mulutnya pagi tadi. Ucapan yang tepat ia katakan ketika tetesan air mata pertamanya hadir di penglihatanku.    "Dek, liat Jackson nggak?" tanyaku pada seorang siswi ketika aku tiba di area SMP.    Ia terlihat berpikir sejenak. "Ooh, Jackson yang tukang bully itu ya, nggak liat kak," balasnya.    Aku segera berjalan pergi setelah mengatakan terima kasih padanya. Sesaat ketika aku lanjut berjalan, kakiku kembali berhenti melangkah. Tepat di depan sebuah mading yang tadi pagi menjadi saksi bisu kejadian di mana Jackson pertama kali menangis di hadapanku. Aku menghela napas panjang, lalu menatap gambar-gambar tak berguna itu sejenak.    "Tuh dia tukang bully sekolah kita!"    Aku mendengar suara teriakan sekaligus hinaan di sekitarku. Aku segera menoleh mencari sumber suara tersebut. Aku melihat Jackson di sana, tengah berjalan sendirian seraya menunduk karena malu akan hinaan untuknya. Aku melangkahkan kakiku, mencoba berjalan menghampiri dirinya. Namun, aku tak langsung memanggilnya agar ia menoleh dan menghampiriku, aku mengikutinya dan bungkam sejenak.    "Heh Jackson, lo punya muka berapa sih?! Nggak ada malu-malunya!" hina seorang murid lelaki, lalu ia tertawa.    Jackson mempercepat langkahnya, begitupun aku yang masih mengikuti dirinya.    "Ganteng tapi nggak tau diri! Percuma lo hidup!"    "Heh tukang bully, berani-beraninya lo hina orang lain, lo pikir lo udah perfect?!"    "Kalo gue jadi lo sih, mendingan gue pulang ke rumah terus tidur!"    "Kalo lo mau ngehina orang harusnya lo ngaca dulu, emang lo udah bener?! Atau lo nggak punya kaca di rumah?! Sini gue beliin!"    "Bisanya cuma ngehina orang! Sampah lo!"    Itu sedikitnya ucapan yang dilontarkan untuk Jackson bertubi-tubi. Sebagian besar murid di sekitar sini kini tengah menghina Jackson sesuka hati. Mengolok-olok dirinya yang lalu diiringi dengan tawa penghinaan. Tak hanya itu, sebagian dari mereka juga berbicara diam-diam tentang Jackson dengan temannya, dan yang lebih parah lagi, beberapa murid di sekitar sini melempari Jackson dengan sampah bekas jajanan mereka tanpa sedikit pun merasa bersalah. Dan kembali pada Jackson, ia kini semakin mempercepat langkah kakinya, mencoba menjauh dari kerumunan murid yang mengolok-olok dirinya tersebut.    Aku berlari kecil mengikuti Jackson yang semakin cepat, tapi aku masih terdiam dan enggan untuk memanggilnya. Kerumunan murid di sekitar sini semakin berisik, tak henti-hentinya mereka menghina Jackson sesuka mereka, sejujurnya aku pun risih dengan keadaan ini, tapi mau bagaimana lagi?! Buk!    Ah s**l! Aku telat. Menyesal aku karena tak kunjung memanggil Jackson sedari tadi. Kini ia telah memasuki ruang toilet laki-laki di sana itu. Aku mendecak kesal setelah mendapati kini ia telah di dalam. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu di luar area toilet hingga Jackson keluar.    "Kakak ngapain di sini? Mau ngintipin siapa?!" tanya murid lelaki yang baru saja keluar dari toilet.    Aku lantas tertegun. "Eh... Engga dek, kakak nggak ngapa-ngapain."    Tanpa basa-basi, ia segera pergi dari hadapanku. Dan aku, masih saja menunggu Jackson dari luar area toilet ini. Ya Tuhan, aku sungguh malu. Pesan masuk! 09.13 Melly    Lu dimana?    Aku kembali memasukkan handphone ku kedalam saku baju, tak peduli dengan pesan singkat yang Melly berikan padaku. Paling-paling pesan itu Melly kirim untuk memberitahu padaku bahwa aku dipanggil oleh salah satu guru karena telah membolos pelajaran untuk yang kesekian kalinya. Aku kini mencoba mengintip sedikit ke area toilet. Dari beberapa pintu toilet yang ada di sana, hanya ada dua pintu yang tertutup. Meski sepi, aku masih tetap takut dan ragu, jika ada murid lain yang melihat, bisa-bisa aku dipermalukan olehnya. Tidak! Clak!    Aku secepatnya berlari keluar setelah mendengar suara knop pintu yang terbuka itu, lantas, aku kembali menunggu di luar area toilet ini. Aku bersandar pada dinding di luar area toilet ini, aku menyentuh dadaku dan mencoba mengatur napas juga rasa 'deg-degan' yang aku rasakan kini. Aku benar-benar malu jika saja orang yang tadi membuka pintu melihatku.    "Kakak?"    Aku menoleh kaget ketika mendengar sapaan itu. Mataku terbelalak lebar ketika ia menatapku bingung.    "Kakak ngapain di sini? Ini kan toilet cowok?" tanyanya, dia Vikar.    Aku kembali tertegun. "Eh... Enggak dek, kakak nggak ngapa-ngapain, cuma lagi...    Aku memotong pembicaraanku ketika sebuah pemikiran cemerlang datang mendarat di otakku. "Dek, mau tolongin kakak nggak?" tanyaku.    "Apa?"    Aku sedikit mendorong tubuh Vikar untuk kembali berbalik menuju toilet. "Kamu tolong panggil Jackson ya, di toilet yang itu," ujarku seraya menunjukkan satu-satunya pintu toilet yang masih tertutup.    "Kak Jackson yang waktu itu?" tanyanya kembali.    Aku mengangguk. "Iya."    "Tapi kak...    Aku tersenyum sehangat mungkin padanya. "Nggak pa-pa kok, kalo kamu diapa-apain, kan ada kakak di sini. Sekarang kamu masuk, panggil Jackson dan suruh dia keluar, kakak tunggu di sini," perintahku. Tanpa berpikir panjang, ia berjalan pelan menuju pintu toilet yang diapit oleh dua pintu toilet lain di kanan dan kirinya. Sementara aku, lagi-lagi hanya menunggu di luar. Tok... Tok... Tok...    Aku mendengar Vikar mengetuk pintu toilet itu.    "Kak Jackson?" Tok... Tok... Tok...    "Kak Jackson keluar." Tok... Tok... Tok...   "Kakak? Kak Jackson keluar, kakak dicariin." Clak!    Aku tersenyum girang sesaat setelah mendengar knop pintu itu terbuka.   "Anjing! Berisik!" Buk!    Aku mengernyit ketika mendengar suara pintu dibanting itu. Aku pun semakin menajamkan pendengaranku.     "Heh b******k! Mau ngapain lo di sini?!! Masih berani lo temuin gua!!"   "Karna lo gua jadi kayak gini! Lo nggak usah belagu dan sok jagoan karena mau temuin gua lagi! Lo waktu itu cuma lagi beruntung karena kakak gua tolongin lo!"    Aku yang merasa gundah pun segera memasuki area toilet, tak peduli lagi jikalau akan ada murid lain yang melihat. Dug!    "b*****t!"    Mataku terbelalak lebar ketika melihat Jackson kembali melakukan k*******n pada Vikar. Tangannya yang mengepal erat berhasil membuat sudut bibir Vikar terluka dan juga membuatnya terjatuh di lantai.    "Jackson!" bentakku.    Jackson segera menoleh menatapkh dengan matanya yang lagi-lagi berkaca-kaca. Ia segera melepas cengkramannya dari Vikar, lantas menghampiriku, dan tanpa alasan, ia memelukku. Erat.    "Kakak," lirih Jackson.    Keheningan toilet ini membuat suara sepelan apapun menjadi mungkin untuk terdengar, termasuk suara isak tangis Jackson dan panggilannya tadi padaku. Jackson semakin melingkarkan tangannya erat. Sementara aku, tak membalas pelukannya. Tanganku masih dalam posisi biasa, tak sedikitpun kulingkarkan pada tubuh Jackson.    Aku begitu karena aku bingung, jika aku membalas pelukan Jackson, bisa-bisa Vikar sedih, karena ia kini tersungkur tepat di depanku, tak mungkin aku membuatnya sedih dengan membalas pelukan Jackson, sementara Vikar juga butuh dipeluk. Namun di sisi lain, jika saja aku tak membalas pelukannya ini, ia akan berpikir bahwa aku mungkin tak menyayangi dirinya. Lantas, aku memilih untuk melepas pelukan Jackson dari tubuhku. Aku tak memihak siapa-siapa. Aku hanya berdiri mematung di hadapan Jackson, dan juga Vikar yang kini berusaha untuk berdiri.    "Kakak."    Ujar Vikar lirih bernada seperti meminta tolong. Ya, minta tolong padaku, untuk membantunya menjauh dari Jackson. Aku terdiam. Aku menatap Jackson dan Vikar bergantian, dan kini terlihat jelas, Jackson menatap Vikar sinis dan penuh kejut.   "Dia kakak gua!" hentak Jackson.    "Bukan! Dia kakak aku," balas Vikar.    Kini Jackson menatapku bingung. "Kakak bilang, kakak nggak kenal sama si cupu ini!" tanya Jackson seraya menunjuk Vikar. Aku menatap Vikar, dan ia pun menatapku. "Kakak juga bilang kalo kakak nggak kenal kak Jackson?" tanya Vikar.    Aku kembali menatap mereka bergantian. Kini aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Jika aku berbohong tak mungkin lagi mereka akan percaya. Bukannya aku tak mau mengakui mereka sebagai adik, aku hanya berbohong untuk membuat hubungan mereka menjadi lebih baik, jika saja waktu itu aku jujur tentang semuanya, mungkin mereka semakin enggan untuk berteman, hanya karena itu aku berbohong, dan kini aku terjebak oleh kebohonganku sendiri. Hanya satu hal yang ingin kukatakan kini: . . . This is the worst day of my life. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD