“Saya terima nikah dan kawinnya Alesha Azzahra binti Andi Suryo dengan mas kawin uang tunai sebesar seribu dollar dibayar tunai.”
“SAH?!!”
“SAH!” Suara beberapa orang saksi terdengar bersamaan, menyatakan jika ijab kabul yang baru saja dilakukan SAH.
Zahra menghembus napas lega. Wanita yang terlihat begitu cantik dengan kebaya dan rambut disanggul tersebut mengangkat kedua tangan. “Aamiin. Aamiin.” Zahra mengaminkan setiap doa yang diucapkan oleh salah satu petugas KUA.
****
Setengah jam sebelumnya.
“Apa maksudmu, Zahra? Calon suami apa?” tanya bapak Zahra yang terkejut ketika mendengar sang putri menyebut pria yang sedang duduk bersama petugas KUA adalah calon suaminya.
“Pak, Bu … dia calon suami yang Zahra pilih. Dia pria yang baik. Dia—”
“Ra, jangan mempermainkan pernikahan. Siapa pria itu sampai tiba-tiba kamu pilih jadi calon imammu? Jangan karena kamu tidak ingin malu pernikahanmu gagal, lalu kamu memilih pria sembarangan untuk menjadi suamimu. Pernikahan itu sakral. Janji di depan Allah SWT. Jangan kamu permainkan, Nak.”
“Tolong percaya sama Zahra, Pak … Bu. Dia pria baik. Dia bukan tukang selingkuh seperti mas Wildan. Zahra percaya dia akan menjadi imam yang baik untuk Zahra. Tolong … tolong percaya sama Zahra.” Zahra menatap memohon kedua orang tuanya bergantian.
Lalu hening beberapa saat. Kedua orang tua Zahra menatap sang putri dengan tatapan yang tidak bisa Zahra raba artinya.
“Siapa namanya?”
“Hah?”
“Siapa nama laki-laki itu?” tanya ulang bapak Zahra.
“Oh … Naka, Pak. Naka.” Zahra menjawab lalu berdehem. Beruntung dia masih mengingat perempuan yang bersama Wildan memanggil pria itu Naka.
“Nama lengkapnya, Zahra. Bapak harus menyebut namanya.”
Lalu Zahra mengerjap. Dia tidak tahu nama lengkap Naka. Zahra tersenyum kaku. “Hm … Pak, Bu. Tunggu sebentar. Zahra mau ngomong sama mas Naka sebentar. Sebentar, ya.” Lalu Zahra berjalan terbirit dengan langkah kaki yang tidak bisa lebar karena kain jarik yang membelit tubuh bagian bawahnya. Meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya bisa menatap punggung sang putri, kemudian mengalihkan perhatian pada sosok pria yang berada di meja akad.
Zahra menghampiri Naka, lalu meminta waktu untuk bicara dengan pria tersebut. Keduanya berjalan sedikit menjauh dari meja akad yang sudah dihuni oleh dua orang petugas KUA.
“Namaku Alesha Azzahra," ucap Zahra tiba-tiba hingga membuat kening Naka mengernyit.
“Aku sudah aku.”
“Oh … aku lupa. Um … maaf, nama lengkap Mas Naka siapa?” Zahra tersenyum tidak enak hati. Naka sudah tahu nama lengkapnya, dan dia belum.
“Tanaka Syafiq Suhendar Hutama.”
“Aduh … panjang banget. Bapak bisa lupa nanti,” keluh Zahra. “Tanaka Syafiq Suhendar Hutama. Benar, itu, kan, Mas?”
Naka menarik panjang napasnya sebelum menghembus pelan karbondioksida keluar. Pria itu memasukkan tangan kanan ke dalam jas, kemudian menarik keluar selembar kartu nama. Dia tahu ini akan terjadi.
“Ini, minta bapakmu membaca saja, daripada terkesan aneh karena salah menyebut nama.”
“Oh ….” Zahra menganggukkan kepala sambil tersenyum. Wanita itu mengambil kartu nama dari tangan Naka sebelum mendongak. “Terima kasih, Mas. Allah yang akan membalas kebaikan Mas Naka karena sudah bersedia membantuku.” Zahra tersenyum sekali lagi sebelum berbalik lalu kembali berjalan cepat ke arah kedua orang tuanya.
***
“Alhamdulillah, sekarang kalian berdua sudah sah menjadi suami istri. Silahkan Mbak Zahra cium tangan suaminya.”
Zahra mengedip lalu melirik pria yang duduk di sebelahnya. Dengan gerak kaku, Zahra memutar sedikit posisi duduk. Bola mata Zahra bergulir hingga bertemu tatap dengan Naka beberapa detik. Zahra kemudian buru-buru mengambil tangan kanan Naka, lalu mencium punggung tangan pria tersebut.
“Tahan sebentar buat diambil fotonya.”
Zarha mengedip cepat. Tarikan dan hembusan napas wanita itu semakin cepat.
“Oke. Sekarang suami boleh mencium kening istrinya.”
Zahra melepas tangan Naka lalu mengangkat kepala. Zahra menatap Naka yang masih diam. Wanita muda itu menahan ringisan. Bagaimana kalau Naka menolak?
Naka menghembus pelan napasnya. Jika bukan karena kasihan, Naka tidak akan melakukan drama pernikahan ini. Naka menatap sepasang bola mata yang masih menatap memohon padanya. Akhirnya pria itu bergerak. Mengikis jarak mereka kemudian menyentuhkan sepasang bibir ke kening Zahra.
“Ditahan dulu.” Naka urung menarik menjauh kepalanya begitu mendengar perintah untuk menahan posisinya. Naka hanya mengumpat dalam hati. Dia tidak berpikir sejauh ini.
“Oke, cukup.”
Naka menghembus napas lega. Berpikir jika semua sudah selesai. Namun, yang terjadi selanjutnya justru membuatnya harus seharian menahan emosi.
Setelah selesai ijab kabul, dia didandani dengan pakaian ala keraton. Beskap dan jarik yang membuatnya sulit berjalan. Belum lagi wajahnya diberi riasan. Semula Naka menolak, namun lagi-lagi ia kalah oleh perasaan kasihan pada Zahra dan keluarganya. Hingga kemudian dia dipajang bersama Zahra selama berjam-jam, menerima ucapan selamat dari para tamu undangan yang datang.
Selesai acara resepsi, Naka pikir dia bisa pergi. Namun, lagi-lagi dia harus tertahan.
“Masih belum selesai. Besok masih ada tamu dari kampung-kampung sebelah yang memang tidak diundang waktu resepsi. Tolong sabar ya, Mas,” pinta Zahra pada Naka yang sudah berniat untuk pergi.
“Kenapa kamu tidak bilang kalau acaranya selama ini? Kalau tahu begini, aku tidak akan mau.”
“Kan kemarin saya sudah bilang dua hari, Mas. Saya minta Mas jadi suami saya dua hari.”
Naka geleng-geleng kepala. Pria yang berdiri di dalam ruangan yang ternyata adalah kamar Zahra itu berkacak pinggang. Hembusan napas panjang pria itu lakukan melihat ranjang yang dihias sedemikian rupa—memakai kelambu warna biru, lalu dihias dengan bunga warna warni.
“Eh, Mas mau kemana?” tanya Zahra saat melihat Naka memutar tubuh. Zahra bahkan langsung berdiri dari tepi ranjang. Khawatir Naka akan tetap pergi. Bisa kacau semuanya jika sampai Naka pergi.
“Ke hotel. Besok aku ke sini lagi.”
“Loh … mana bisa begitu? Di luar banyak tetangga yang masih ngobrol. Biasanya mereka akan ngobrol sambil main kartu sampai pagi.” Zahra menjelaskan.
“Apa?” tanya terkejut Naka. Sepasang mata pria itu memicing.
“Ma-maaf. Memang begitu tradisi di sini, Mas.” Zahra meringis. Sepasang mata wanita itu mengerjap.
“Jadi aku tidak bisa keluar rumah?” Mulut Naka terbuka dengan ekspresi wajah yang membuat Zahra menelan saliva susah payah.
Zahra mengangguk sambil kembali memperlihatkan ringisan.
“Sial,” kesal Naka. Pria itu menggelengkan kepala. Hembusan napas panjang Naka lakukan. Naka kemudian memutar kepala. “Dimana aku bisa tidur? Kamar kosong.”
Zahra meringis sekali lagi. “Hmmm ... Tidak ada kamar kosong. Rumah penuh. Sebagian keluarga yang laki-laki bahkan tidur di ruang tamu dan ruang tengah pakai tikar, karena kamar tidak cukup."
Sepasang mata Naka membesar seketika. “Lalu?” Pria itu menatap Zahra.
Zahra membasahi bibir dengan lidah sebelum menjawab. “Cuma di sini Mas bisa tidur. Di ranjang ini." Zahra memperhatikan ekspresi wajah Naka. "Kita bisa berbagi tempat. Jangan khawatir. Kita beri pembatas guling.”