“Jangan khawatir. Kita beri pembatas guling.”
Naka yang baru saja terbangun kala merasakan sesuatu menghantam keras tubuhnya, mendengkus sambil mengangkat kaki Zahra kemudian mendorongnya melewati batas guling di tengah ranjang. Pria itu berdecak. “Manis sekali omonganmu,” gumam pelan Naka sambil menatap kesal Zahra yang masih lelap tertidur. Sialan, batin Naka kesal.
Ini bukan pertama kalinya ia terbangun sejak menutup mata. Ini sudah yang ketiga kalinya. Bayangkan, yang ketiga dan itu semua gara-gara wanita yang masih tidur dengan sangat pulas itu. Naka berdecih kala melihat Zahra tersenyum dalam tidurnya. Entah apa yang sedang Zahra mimpikan hinga wanita itu tersenyum dengan kedua mata tertutup.
Naka geleng-geleng kepala. Pria itu menggulir bola mata—mencari keberadaan benda pengingat waktu. Pukul dua dini hari. Naka akhirnya menggeser tubuhnya ke tepi lalu turun dari ranjang. Pria itu kembali menggelengkan kepala melihat perempuan yang berstatus sebagai istrinya itu tidur terlentang dengan bebasnya. Seakan lupa jika mereka berbagi ranjang.
Akhirnya Naka memutuskan keluar dari kamar. Dia akan mencari tempat lain untuk bisa memejamkan mata meskipun hanya sebentar.
****
Zahra menguap lebar sambil meregangkan kedua tangannya ke atas. Setelah sehari tidak bisa tidur, akhirnya ia bisa tidur dengan sangat nyenyak. Jika bukan karena suara adzan, mungkin dia masih belum keluar dari alam mimpi. Tidurnya kali ini benar-benar nyenyak hingga ia merasa tubuhnya segar saat bangun. Zahra mengangkat tubuhnya. Duduk, kedua sudut bibir wanita itu melengkung ke atas. Mimpi apa dia semalam sampai rasanya begitu lega. Seolah beban dalam dadanya hilang seketika.
Zahra merapikan rambut yang berantakan sambil turun dari ranjang. Ah, dimana karet pengikat rambutnya? Wanita itu berjalan memutari ranjang menuju meja di sisi lain ranjang. Begitu tiba di depan meja, sepasang mata Zahra mengedip. Pandangan wanita itu tertuju pada benda penghubung mahal yang jelas bukan miliknya. Mendadak otaknya bekerja dengan cepat dan kedua mata Zahra membesar seketika.
Zahra memutar tubuh. Bola mata wanita muda itu nyaris melompat keluar dari tempatnya begitu menyadari ranjangnya tidak seperti biasa. Dan kemudian semua ingatannya dengan cepat kembali.
Naka. Dimana pria itu? Apa dia membuat pria itu pergi? Apa cara tidurnya ….
Zahra mengumpat dirinya sendiri dalam hati. Wanita muda itu memutar kepala, memperhatikan setiap sudut kamarnya. Kosong. Pria itu tidak terlihat.
Dengan kepala penuh, Zahra bergegas keluar dari dalam kamarnya. Suasana di rumah sudah ramai. Orang-orang sudah bangun. Wanita muda itu menggulir bola mata mencari seseorang.
“Wah, pengantin barunya baru bangun.”
Zahra meringis digoda oleh sepupunya. Wanita itu kembali mengedarkan pandangan mata kala masih belum melihat keberadaan Naka.
“Nyariin mas Naka? Ada di depan, tuh. Barusan pulang dari masjid sama pakde.”
Mulut Zahra setengah terbuka begitu mendengar informasi dari adiknya. Kakinya melangkah begitu saja meninggalkan sang sepupu dan sang adik yang menatap mengernyit.
Keluar rumah, Zahra menoleh lalu menghembuskan napas lega. Ternyata benar. Naka masih ada. Pria itu tidak pergi. Berarti Naka keluar kamar bukan karena tidur pria itu terganggu olehnya. Setelah memastikan Naka tidak pergi, Zahra memutar tubuh lalu kembali berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dia belum melaksanakan kewajibannya.
"Loh, kok masuk lagi? Sudah ketemu mas Naka?" tanya adik Zahra ketika melihat sang kakak berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis yang sedang memakai sepatu lari itu beranjak dari kursi.
"Mau sholat dulu."
"Oh ... jangan lupa mandi besar dulu, Mbak."
Zahra hanya melirik kesal sang adik tapi tidak menyahut. Zahra mendengkus dalam hati. Mandi besar? Memangnya semalam dia melakukan apa?
****
Satu hari lagi Naka harus menahan diri untuk tetap bertahan di rumah Zahra. Bertahan menjadi suami wanita yang baru dikenalnya itu. Dia harus tersenyum setiap kali tamu datang dan memberi ucapan selamat padanya. Oh … rasanya dia ingin memutar waktu lebih cepat.
Satu hari yang terasa begitu lama bagi Naka, hingga akhirnya malam tiba dan ia bisa beristirahat. Seperti malam sebelumnya, Naka harus tidur satu ranjang dengan Zahra dengan pembatas guling di tengah.
Namun, kali ini Naka yang kelelahan setelah malam sebelumnya tidak bisa tidur dengan nyenyak—tidak peduli pada sosok Zahra yang tidur di sebelahnya. Setiap kali merasakan entah tangan atau kaki Zahra melewati pembatas guling, Naka langsung menepis kasar atau menendang sebelum memutar posisi tidur dan melanjutkan mimpinya.
Pagi tiba, dan Naka bangun dengan tubuh yang cukup ringan. Tidak seperti sebelumnya. Pria itu tersenyum dengan lebar. Menoleh ke samping, kedua alis Naka terangkat ketika tidak melihat Zahra berada di atas ranjang. Pria itu mengerutkan sepasang bibirnya.
Sementara itu Zahra duduk di kursi makan dengan wajah kusut dan mata panda.
“Tidak bisa tidur, Ra?” tanya sang ibu sambil meletakkan mangkuk sayur ke atas meja. Wanita itu mengintip wajah sang putri yang sedikit menunduk. Lebih dari setengah jam putrinya itu hanya duduk diam dengan mata mengantuk. Zahra sama sekali tidak membantunya memasak.
Keluarga besar mereka sudah pulang semalam selesai acara. Rumah sudah tidak seramai pagi sebelumnya.
Zahra menggumam menjawab pertanyaan ibunya. Kepalanya pusing. Dia tidak bisa tidur dengan nyenyak lantaran beberapa kali terkejut merasakan tangan atau kakinya dihentak kasar. Zahra melipat kedua tangan ke atas meja kemudian menurunkan kepalanya. Dia mau … tidur.
“Jangan tidur lagi. Ayo, sana panggil suamimu. Ajak sarapan. Gimana sih kamu … suami kok tidak diurus. Ingat Zahra, kamu sekarang sudah jadi istri. Istri itu harus melayani suami.”
“Kan tidak mutlak, Bu.” Zahra menjawab tanpa mengangkat kepala dari lipatan tangannya/ Dia benar-benar ingin tidur.
“Aduh … kalau di jawa, tradisinya begitu. Istri ya melayani suami. Sudah … ayo, bangun. Cepat panggil suamimu. Mungkin dia masih kurang nyaman di rumah kita. Masih tidak enak sama Ibu, sama bapak."
“Nanti dia juga ke sini sendiri kalau lapar, Bu.”
“Aduh, anak ini.” Sang ibu geleng-geleng kepala melihat Zahra masih belum beranjak dari tempat duduknya. Jangankan beranjak, kepalanya saja masih belum diangkat dari atas meja. Wanita itu menarik panjang napasnya.
“Ada apa?”
Ibu Zahra mengalihkan pandangan matanya. “Putrimu tidak bisa tidur semalaman, Pak. Sekarang dia ngantuk.” Wanita itu tersenyum penuh arti.
“Oh … benar begitu, Ra?” tanya sang bapak sambil melangkah ke ujung meja, kemudian menarik kursi dan mendudukinya.
“Naka belum keluar kamar, Pak?” tanya Nurul pada sang suami. Berpikir jika mungkin saja suaminya itu melihat sang menantu. Wanita itu melongok ke arah pintu masuk ruang makan.
“Sudah. Tadi Bapak lihat dia sedang telepon di depan.”
“Dengar tuh, Ra. Sana susul suamimu, ajak sarapan.”
Dengan mata setengah terbuka, akhirnya Zahra mengangkat kepalanya. “Ibu loh … aku tuh ngantuk banget. Gara-gara mas Naka semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Ganggu terus dia. Baru mau merem, udah harus bangun lagi gara-gara dia.”
Sang bapak yang sedang meneguk teh langsung terbatuk mendengar ocehan sang putri. Pria itu mengusap dadanya.
“Ya maklum, Ra. Namanya juga laki-laki habis nikah. Pasti lagi ganas-ganasnya.” Ucapan ibu Zahra membuat mata Zahra yang sebelumnya masih enggan terbuka itu, langsung membesar seketika. Apa dia salah bicara? Apalagi ketika dia melihat ibunya tersenyum menggoda.
Zahra berdehem. “Bu-bukan itu maksud, Zahra, Bu.” Wajah Zahra memerah. Ibunya salah paham. Bagaimana menjelaskannya?
“Itu juga tidak apa-apa, Ra. Kamu sudah menikah. Membahas tentang malam pertama bukan hal yang aneh. Yang penting jangan bahas dengan orang asing.”
"Sudah malam kedua, Buk. Malam pertama mereka kemarin. Kemarin Naka yang tidak bisa tidur." Lalu bapak dan ibu Zahra tertawa.
Sedangkan wajah Zahra semakin memerah. “Ya Allah … beneran bukan itu. Maksud Zahra—”
“Selamat pagi.” Naka menyapa tiga orang yang duduk melingkari meja makan.
“Nah, orangnya datang. Ayo sarapan dulu, Nak. Nanti habis sarapan kalian bisa lanjutkan tidurnya. Kalian berdua pasti masih mengantuk, iya, kan?” Ibu Zahra mengulum sepasang bibirnya sambil memperhatikan penampilan sang menantu yang sudah rapi dengan rambut setengah basah.
Dengan kening mengernyit, Naka menatap bergantian sepasang orang tua dan putrinya. Melihat Zahra meringis saat tatapan mata mereka bertemu, lipatan di dahi Naka bertambah.
“Memangnya semalam kuat berapa ronde sampai Zahra sekarang tepar?”