◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦
⠀
✒️ ❝ Kita tidak pernah tahu, kapan ucapan,
doa atau bahkan sumpah itu berlaku.
Hati-hati dalam setiap pintamu.
Jika itu berakhir buruk,
jangan pernah menyesal.
Karena tidak akan pernah ada cara, untuk membalik waktu. ❞
⠀
{ Notes 4 - Wim — Swearing oath (Sumpah serapah) } ✒️
⠀
⠀
"Loe TE-LAT ...!"
Kedatangan Wim disambut mata Daimon yang menyipit. Tangannya menyilang di d**a dengan raut wajah seperti Voldemort.
"Katanya cuma lima belas menit?! Ini kok lebih 60 detik?!"
"Enam puluh detik aja rewel. Kayak cewek PMS aja loe!" balas Wim cuek sambil mencopot helm-nya.
Daimon mengikuti langkahnya. "Baju yang harus loe pake udah gue taruh di ranjang. Cepet siap-siap, jangan sampai kita telat!”
Wim mendesah lelah. Melirik kakaknya yang perfeksionis.
"I'm OK with this fit (Gue nggak masalah sama pakaian ini)," ucapnya menantang, mengibas pakaian yang ia gunakan.
Daimon mendekatinya, mengendus, lalu berkacak pinggang. "Loe udah bau keringet dan masih mau pake baju ini?! Loe ganti sekarang atau gue tolong pelorotin!"
Wim berdecak kesal. Memelototi Daimon kemudian membanting pintu kamarnya.
⠀
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
⠀
Dengan kecepatan kilat dan petir bersahut-sahutan, mobil sport hitam itu akhirnya melaju membunuh kabut malam menuju pusat kota – tempat bertemu dengan sang produser galak. Lampu-lampu jalan raya nampak berpendar ketika mereka melewatinya.
Daimon mencengkeram seat bealt (sabuk pengaman)-nya lebih erat. Ia menyesal kenapa tadi menyuruh Wim untuk ngebut. Anak itu kalau sudah pegang kemudi bisa kesurupan. Apalagi setelah dikasih SIN (Surat Izin Ngebut) oleh Daimon, makin kesetanan dia!
Seandainya ini diiklankan dan kalau mobil mereka nggak pakai atap, pasti kesannya kayak iklan yang diperankan si Komeng. Bisa-bisa baju jadi sobek-sobek, bibir jadi dower, kiri kanan jalan seperti diterpa torpedo. Daimon berjengit ngeri menutup mata dan mulutnya ketika mereka menikung nyaris menghantam tembok pembatas jalan.
Oh, God (Oh, Tuhan)! Aku tidak ingin muntah di sini ...!!! Jeritnya dalam hati seraya merapalkan doa-doa. Meniupkannya perlahan ke arah adiknya yang sedang kalap menyetir. Syukur-syukur bisa mengusir setan yang sedang merasuki tubuh berandal tengil itu.
Pukul delapan kurang lima menit mereka telah sampai di parkiran Azure Restaurant. Daimon berjalan sempoyongan keluar dari mobil. Perutnya terasa diaduk-aduk sekarang.
"Hoeeeekkkk ...!" Sialan! Akhirnya! Akhirnya!
Ia mendelik mendengar tawa ngakak di belakangnya.
"Lemah amat perut loe, kayak banci! Hahahahahahaha ...."
Si bocah tengil menertawakannnya! Awas saja nanti kalau ia sudah lebih kuat dari ini! Gue pitiiiing ...! maki Daimon dalam hati.
Daimon mengumpulkan tenaganya. Mendelik kesal pada adiknya yang masih cengengesan. Berdiri, lalu berjalan duluan masuk ke restoran. Ia melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan. Mencoba menemukan sosok produser kondang itu. Dengan langkah mantap ia menuju meja nomor sebelas. Wim yang masih terkekeh cengar-cengir membuntuti di belakangnya.
Di sana sudah menunggu seorang pria paruh baya menjurus tua, dengan rambut tipis beruban. Nyaris botak malah. Pria itu tersenyum ramah.
Sama sekali tidak terlihat galak, batin Wim.
“Jam delapan kurang satu menit, cukup tepat waktu,” sapa pria itu.
“Maaf Pak Bram. Sudah lama menunggu?” tanya Daimon manis semanis gula – tak semanis muntahannya.
“Saya sengaja datang lebih awal.” Pria itu mengalihkan perhatian pada Wim yang masih berdiri mematung di belakang kakaknya.
Daimon seolah ingat ia seharusnya juga memperkenalkan Wim pada Pak Bram.
“Kenalkan, ini adik sepupu saya, Pak. Wim. Wimala Kurnia.”
Bukan hanya kening Pak Bram yang mengernyit. Wim juga! Sejak kapan dia jadi sepupunya Daimon?
“Wimala? Wajah tampan tapi kenapa namanya begitu feminim?” ceplos pria itu tergelak. Bukan bermaksud mengejek, tapi lebih niat ke arah bercanda. Tetapi, karena tampangnya serius, kelihatannya memang begitu.
Daimon ikut tertawa meskipun lewat sudut matanya ia melihat bibir Wim berkedut dan mata amber itu menyipit tajam pada Pak Bram.
“Justru itu, Pak. Saya ingin merekomendasikan sepupu saya ini sebagai pemeran ke dua. Menurut saya, dia memenuhi semua persyaratan. Karena itulah, saya meminta pertimbangan Bapak.”
Wim terperanjat menghujam mata Daimon. Pemeran kedua? Hell (j*****m)! Ia paham sekarang!
“Kamu tidak bermaksud mengatakan kalau sepupumu ini sebenarnya … perempuan, 'kan?” tanya Pak Bram sambil meneliti setiap lekuk tubuh Wim dari bawah hingga ke atas berulang kali. Kemudian berjengit tak yakin. "Tidak ada tanda-tanda perempuan."
Bagus! Sekarang aku badut disini, batin Wim.
"Hmmm ..., tapi wajahnya cukup manis kalau didandani jadi perempuan."
Excellent (Luar biasa)! Ini baru pujian di atas cacian! batin Wim dongkol.
"Syukurlah kamu berhasil menemukannya, kalau tidak ..., mungkin saya harus mengganti sutradara saya karena kurang profesional!" lanjut pria nyaris botak itu seraya terbahak. Menertawakan jokes (lelucon) nya sendiri.
Daimon ikut tertawa suram.
Fix! Pria tua ini ASLI menyebalkan!
Baru saja Wim ingin membantah kekeliruan ini, Daimon sudah menyerobot bicara lebih dulu. Melayangkan tatapan memohon sekilas padanya. Wim menarik napas menahan amarahnya.
"Jadi, kalau Bapak setuju, mungkin kita bisa segera tanda tangan kontrak dan semacamnya?"
“Ya tentu saja. Kita sudah terlalu lama menunda karena masalah ini. Satu minggu lagi, filmnya harus segera digarap. Nanti serahkan saja naskahnya untuk dipahami. Dan karena sepupumu masih pemula … tolong ajari dia secepat mungkin. Saya yakin, dia dapat dengan mudah belajar. Seperti kakaknya,” puji pria itu. Tapi Wim yakin, itu pasti tantangan sekaligus tekanan untuk Daimon.
Wim semakin paham. Ia telah diperalat oleh kakaknya. Kenapa ia harus tergoda dengan ajakan makan malam GRATIS? Ternyata ia malah terperangkap dan harus bermain di film garapan Daimon.
Kenapa harus aku! Wim terpukul.
Ia benar-benar marah!
Daimon. Akan kubalas! batin Wim penuh amarah.
Tangannya mengepal, namun ia masih berusaha mengendalikan emosinya agar tetap tenang. Seolah berita itu telah ia dengar sebelumnya. Meski dari luar tampak kalem, hatinya benar-benar sudah terbakar dan ingin segera membenamkan wajah Daimon ke dalam piring spaghetti carbonara di hadapannya.
Ia yang tadinya berminat datang karena ada embel-embel makan gratis di restoran mahal, sudah kehilangan nafsu makannya. Wim menyayat-nyayat steak-nya dengan ganas – mengabaikan lirikan Daimon dan Pak Bram yang menatapnya ngeri – mengambil botol merica, lalu melemparnya ke piring Daimon sebanyak mungkin begitu Daimon lengah!
Wim sama sekali tidak habis pikir, mengapa Daimon tega berbuat begitu padanya.
Menjebaknya!
Ia menatap berang Daimon. Kakaknya masih pura-pura tidak tahu. Entah apa yang sekarang mereka perbincangkan. Wim tidak peduli! Mau si nona Walen datang malam ini atau tidak, terserah!!!
⠀
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
⠀
“b******k!!!” amuk Wim ketika mereka baru saja sampai di halaman rumah.
“Tenang, Wim!" Daimon mengejar Wim dengan kaki gemetaran. Wim ngebut lagi sepanjang perjalanan dan Daimon harus masuk ke dalam rumah sebelum Wim kelewat marah – mengunci pintu, lalu membiarkannya teronggok di luar.
"Main film itu bukan hal yang buruk, 'kan. Katanya loe pengen cari duit. Kok udah dapet kerjaan malah marah-marah,” ucap Daimon. “Lagian paling cuma ngapalin dialog! Daripada loe wara wiri nggak jelas tapi income (penghasilan)-nya dikit,” rayu Daimon lagi. Rasanya saat ini ia melihat Wim lebih tinggi lima belas senti darinya ketika sedang marah. Padahal sebetulnya tinggi Wim kurang lima centi darinya.
“TAIK KUCING LOE!” umpat Wim. “Enak loe ngomong! Cuma ngapalin dialog. Loe pikir akting itu mudah! Semudah bilang rolling, action, terus cut!” sembur Wim. “Loe udah ngadalin gue, Dai! Gue nggak bakalan mau main di film sial itu!”
Daimon berjengit shock.
“Jangan gitu, dong. Kalau loe nggak mau, bisa-bisa gue dipecat dan nggak bisa lagi ngembangin karier gue, Wim. Please ...! Gue nggak mau terus-terusan jadi sutradara film-film kecil,” bujuknya. “Ini film layar lebar perdana gue yang diproduksi Mars Entertainment. Loe tahu 'kan, film-film yang diproduseri mereka selalu booming. Please, I'm begging you (Tolonglah, gue mohon sama loe) ...,” ujar Daimon dengan tatapan dan suara memelas.
Wim mendengus. Bagus, ia sudah dimanfaatkan lagi oleh Daimon!
Sudah cukup semua! Sejak kecil Wim terus yang mengalah pada Daimon. Segalanya diberikan untuk Daimon, mainan, kasih sayang orang tua. Segala-galanya. Sampai tak ada satu pun yang tersisa untuknya.
Wim hanya punya tekad. Tekad untuk membuktikan pada Mamanya, bahwa ia bukan anak sial! Kalau memang Mama tidak pernah menganggapnya ada, sekalian saja ia menyingkir dari mereka. Mama dan Papa tidak perlu melihat Wim lagi, karena mereka sudah punya Daimon. Wim akan buktikan bahwa ia bisa hidup mandiri. Tidak akan bergantung pada uang keluarga.
Tapi kenapa Daimon selalu datang mempersulit hidupnya? Setiap kali Daimon mendekat, Wim pasti sial. Ia bahkan sudah berusaha untuk menjauh. Tidak pernah memberitahukan alamat atau kabar, tapi kakaknya ini selalu saja berhasil menemukannya.
⠀
“Wim … come on (ayolah). Gue nggak tahu mesti kemana lagi nyari tokoh yang pantes untuk meranin cewek tomboy itu. Dan sosoknya gue liat sama elo, Wim.”
Wim menatap Daimon nyalang.
“Loe pikir gue lesbi?!" ucapnya bergetar. Ada rasa kecewa yang begitu dalam dari lubuk hatinya. Daimon kakaknya. Kenapa setega itu mempermainkannya? "Atau emang itu yang loe mau, supaya gue beneran jadi lesbi?!” geramnya.
Daimon terpaku mendengar amukan Wim. Ia sama sekali tidak mengharapkan Wim jadi begitu.
“Loe kakak gue apa bukan sih, Dai?” keluh Wim pelan, seraya beranjak membanting pintu kamarnya.
⠀
Beberapa saat kemudian ia keluar. Masih dengan memasang muka Battosai si pembantai (tanpa codet X di pipi tentunya).
“Mau kemana lagi, Wim? Ini udah jam sebelas malam,” tegur Daimon yang ternyata masih duduk di sofa depan televisi.
“Band,” sahut Wim ketus.
“Nggak bisa ditunda dulu? Kita perlu ngobrol.”
Wim menggeleng. Ia membanting pintu kemudian melajukan motornya dengan kecepatan luar biasa. Tidak peduli dengan orang-orang yang berlalu lalang. Tidak peduli dengan kendaraan lain, lampu merah dan sekelilingnya. Bahkan Wim tidak menyadari, air matanya telah mengalir dengan sendirinya. Yang penting ia harus pergi dulu. Menjauh. Menjauh dari ketidakadilan yang diterimanya sejak bayi.
Kenapa?
Kenapa selalu terjadi padaku? batinnya merana.
Ia terisak di roket motornya. Kalau seandainya masih ada kecepatan yang lebih tinggi, pasti akan dipacunya. Biar pun matanya sudah pudar melihat sekeliling karena digenangi air mata, Wim terus melaju.
Biar saja. Siapa tahu dengan ngebut aku bisa ditabrak mobil, truk, atau apalah! Lalu mati!
“Kalau aku mati, Mama, Papa dan Daimon pasti akan menyesalinya! Sangat menyesal sampai-sampai laut pun tidak akan mampu menampung tangis dan penyesalan mereka!” Wim mengutuk.
⠀
Namun sayangnya, saat ini Wim sudah masuk ke parkiran Ozone Club dan ia masih tetap hidup.
Sehat walafiat.
.
.
.
◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦