Daripada panik, perasaan gue sekarang lebih ke marah nggak keruan.
Atau, apa pun deh lo nyebutnya, panik + marah + jengel + lain-lain = mau gila gue detik ini.
Gimana enggak coba, di saat gue lagi take foto buat endorse pakaian---udah mana makin hari Devi makin menggila dengan perfeksionis bukan main, tiba-tiba ada telepon dari pacar Biyas ngabarin sambil nangis kalau Jamet b*****t satu itu berantem hebat sama kakak tingkatnya.
Bukan cuma itu, emosi gue ditambahi dengan kiriman sebuah video perkelahian tanpa edit dan sensor.
Melihat adek gue yang badannya nggak kekar itu ditendang dan ditonjok bikin darah di sekujur tubuh gue kayak mau muncrat keluar semuanya. Gue nyampe sana, gue bakalan hajar lo b*****h sialan!
Gue tinggalin Devi dengan pesan dia olah tuh hasil foto dengan sense perfeksionisnya dia. Jangan ganggu gue sebelum gue berhasil memenangkan peperangan ini. Lo lihat nanti ya, Met Jamet, nggak cuma kakak tingkat lo yang gue hajar, tapi lo juga!
Ah, lampur merah sialan!
Ayo dong, ijo. Please, meski kadang adik gue itu nggak berguna, gue masih mau menyaksikan dia tumbuh jadi dewasa dan gue pengen lihat apa yang dia bisa lakukan nanti.
Ikut menghitung detik lampunya, akhirnya gue memang udah resmi jadi warga Jakarta yang nggak sabaran ketika detik bahkan masih di angka 5. Gue bunyiin klakson kencang.
3.
2.
"Jalan woy!" Teriakan yang nggak guna sebenarnya.
Gue memastikan sekali lagi lalau jalan yang gue tempuh ini benar ke lokasi yang dikirim Nikita: pacar Biyas.
Dan, benar aja, mereka berantem di tengah lapangan mini soccer. Herannya nih ya, di lapangan itu ada banyak orang. Bukan sebanyak di stadion juga, tapi untuk ukuran latihan, di dalam yang jelas ada lebih dari 10 orang, dan ... semuanya seolah nggak peduli.
Yang melingkari mereka berantem mungkin hanya yang dekat dengan mereka, dan malah banyak yang sibuk ngerekam.
Kepala gue makin pusing dan gue langsung lari ke tengah mereka. "Berhenti, g****k semuanya!" Gue lihat mata Biyas melotot dengan ujung bibir berdarah, rambut berantakan. Sok keren lo ya, setan cilik. "Lo apain adek gue?" Gue natap si kakak tingkatnya yang sekarang malah ketawa sambil membersit hidungnya. "Ngerasa keren banget lo sebagai kakak tingkat?"
"See, nggak sekalian ajak mamanya, Mbak? Kasian Biyas, sebagai anak mami, rasanya nggak cukup kalau cuma kakaknya yang dateng."
Gue mendengus. "Lo kalau cuma mau jadi b*****t, nggak usah kuliah deh. Buang-buang uang dan waktu." Gue mundur, berbalik ke arah Biyas yang kedua tangannya udah mengepal sambil mukanya kelihatan marah banget natap gue. J*mb*t nih bocah, kesurupak setan apa sampai badan gue tiba-tiba sedikit kaku karena was-was. "Lo juga sekeren apa, Bi? Merasa bangga berantem di tempat umum kayak gini? Apa sih yang kalian berantemin? Hah?" Gue tatap semuanya. Pada mingkem. "Coba yang sibuk ngerekam tolong otaknya dipake. Mending panggil polisi ketimbang sibuk viralin doang, dungu! Lagian ini masa nggak ada tenaga profesionalnya sih!"
"Lo ngapain ke sini?" Biyas ngomong sambil mulut gemeretak. "Lo ngapain ke sini?"
"Jemput lo!"
Suara tawa menggelegar. "Pulang aja dulu, Bi. Yakinin diri sendiri dan keluarga kalau lo emang udah gede, abis itu baru buktiin ke gue." Si b*****t kakak tingkat mendekat ke arah Biyas lagi, memperagakan gestur hormat. "Sampai ketemu di kampus, Adik Kecil yang Manis."
Kemudian dia pergi, diikuti beberapa orang yang ... kok rata-rata ikut dia semua? Apa tempat ini dibayar khusus buat berantem?
"Pulang, Bi." Gue pegang tangannya yang langsung dia kibasin kuat sampai gue refleks bilang 'aduh'. "Bi---"
Dia nggak mendengarkan, malah jalan menghampiri pacarnya yang masih terisak-isak. Tangannya ngelus pipi si cewek dan entah ngomong apa tiba-tiba dia udah nyelonong perti. Gue cuma bisa mengangguk, mencoba bilang ke Niki kalau semuanya akan baik-baik aja, dan gue buru-buru nyusul tuh bocah.
Ternyata, dia udah berdiri di samping mobil gue.
"Kenapa muka lo kayak gitu?"
"Jangan pernah campuri urusan gue lagi."
"Nggak usah belagu deh lo. Apa-apa masih orang tua, dipeduliin malah---"
"Sejak gue mimpi basah, artinya gue memang udah dewasa!"
"Mana tahu gue kapan lo mimpi basah! Bisa jadi memang belum!"
Dia diam.
Gue langsung masuk ke dalam mobil, terus dia nyusul nggak lama setelahnya. Sebelum menyalakan mesin, gue ambil tisu basah non alkohol dan non perfume, gue kasih ke dia. Dia nggak bergerak atau sekadar natap gue, pandangan lurus ke depan, memeluk ranselnya.
Gue tarik lagi tisunya, gue taro di atas dashboard. Baru nyalain mesin, siap-siap uang parkir, gue lihat tangannya ngambil tuh tisu, dan mengelap mukanya sambil meringis.
Okay, ngerti, dia marah. Entah karena apa.
Gue taruh lagi sebotol air mineral, dan dia ambil lagi minuman itu, ditenggak sampai habis.
Kalau aja keadaan normal, udah gue banting nih anak. Dikasih baik-baik malah minta dengan cara nggak benar. Berhubungan masih begini, gue ngalah, diam di sepanjang perjalanan hingga akhirnya kami sampai di rumah.
Biyas masih nggak mengeluarkan kata apa pun, masuk rumah, papasan sama Ibu yang lagi buka kerudung karena abis dari pengajian. Biyas ngacir ke lantai atas, Ibu teriak heboh melihat kondisi anak bujangnya.
Dengan dalaman kerudung yang masih nempel di kepala, Ibu datengin gue yang merebahkan diri di sofa. "Anak itu kenapa? Mukanya kok kayak abis berantem? Rambut baru dicukur sebulan udah kayak hidup di hutan. Inilah Ibu nggak suka rambut Ayah yang nurun ke dia. Gampang banget panjang."
"Dia abis berantem."
"Astaghfirullah. Bener ternyata apa kata pak Ustadz tadi. Anak zaman sekarang aneh-aneh aja hidupnya."
Gue memutar bola mata. Zaman dulu dan sekarang namanya manusia ya pasti ada ajalah anehnya. Cuma beda versi doang. Dulu Vs sekarang.
"Ibu samperin dulu dia di kamar."
"Dia marah sama Miya tuh. Ditolongin bukanya makasih malah ngambek. Dasar Jamet."
"Kamu tuh sehari nggak berantem sama Biyas bisa nggak sih? Lama-lama beneran Ibu masukin ke dalam perut lagi salah satu dari kalian."
Setelah memberi ancaman, Ibu berdiri, berjalan hendak menyusul sang bujangan.
Gue teriak, "Kalau nanti udah siap, Miya aja yang dimasukin ke dalam perut!" Biar kembali suci, kan lumayan, samaan kayak Om-nya Azriel.
O-ow. Rupanya gue udah mulai bisa memasukkan Tarangga dalam kehidupan pribadi. Bukankah itu suatu kemajuan pesat yang dimulai dengan ketidaksadaran gue?
Mantap.
Gue niatnya buka w******p mau chat Tarangga, yang muncul duluan malah chat dari Devi.
DEVI
fotonya jelek semua.
kalau masalah lo udah kelar, besok kita take ulang.
B*ngs*t.
Devi akan tetap jadi Devi sampai kiamat.
Bodo amat, gue cuma baca doang chat-nya, dan sekarang gue buka percakapan gue dan Tarangga.
ME
hai, Mas.
sibuk?
Gue menghitung, kira-kira berapa lama dia akan balas pesan di handphone-nya. Kalau lama, berarti memang lagi sibuk. Hm, seingat gue sih dia nggak ada omongan mau ke mana hari ini. Eh, tapi kan logikanya, ngapain juga dia bilang ke gue?
Gue memukul kepala sendiri.
Tepat 3 menit kemudian, dia membalasnya.
OM AGA
hai, Miya.
engga sibuk. ini lagi nyiapin sesuatu.
kamu lagi ada agenda apa?
Gue senyum lebar.
ME
di rumah aja.
Gue kirim dulu. Mau ngetik tambahannya sampai nggak sempat lagi, karena tiba-tiba teriakan Ibu dari lantai atas. Ibu udah menuruni tangga dengan terburu-buru, menyincing rok gamisnya dan sekarang berdiri di depan gue.
Gue salah apa?
"Biyas itu laki-laki. Egonya tinggi. Ibu udah sering jelasin kan gimana bedanya ngurusin dua anak beda kelamin? Kamu jangan selalu bertindak seolah semua hal harus sesuai pandanganmu, Ya. Yang hidup di dunia nggak cuma kamu."
Lo tahu, gue cuma bisa melongo.
"Ibu paham, kamu orang yang nggak suka segala sesuatu jadi drama. Kamu bakalan omongin hal yang nggak kamu suka, kamu akan merasa tindakanmu baik. Tapi, Sayangku, Samiya Eila yang budiman, tolong dong ah, Biyas itu baru mau tumbuh jadi dewasa, disamperin kakaknya di ring tinju kayak gitu menjatuhkan harga dirinya." Selesai gue menelan ludah, Ibu duduk di samping gue, mengurut keningnya. "Sekarang gini aja, Ibu tanya, kalau kamu lagi berantem sama temen cewekmu, rebutan cowok seksi yang kalian naksir, terus Ayah dateng belain kamu, kamu senang?"
"Ya enggaklah. Miya udah gede, Bu. Bisa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri."
"Kenapa menurutmu Biyas nggak sama begitu?"
Okay, sekarang gue ngerti kenapa Si Jamet matanya melotot dan merah waktu gue datang tadi. Kenapa dia nggak mau ambil barang yang gue kasih langsung darin tangan gue. Kenapa dia nggak mau ngomong sama sekali.
Harga diri.
Mau cewek dan cowok, harga diri adalah harga mati.
Goblok banget, Miya. Kenapa hal sesimpel ini aja lo nggak kepikiran sejak tadi? Emosi aja digedein.
"Maaf, Bu. Miya tadi emosi."
"Sekarang paham kan? Dia baru mau tumbuh, egonya masih tinggi-tingginya. Kamu bisa nasehatin dia pas nyampe rumah. Tunggu dia pulang."
"Kalau dia sampe kenapa-napa gimana?"
"Ya, ketika Biyas melawan, artinya dia masih merasa dirinya sanggup. Kalaupun tadi kamu dateng, cukup perhatiin dari jauh, kalau memang udah nggak wajar, kamu cari pertolongan profesional."
Gue mengangguk.
"Sekarang minta maaf ke Biyas, bujang Ibu yang semanis itu masa kalah berantem, nggak mungkin."
Lagi, gue cuma memutar bola mata, tetapi nurut apa kata Ibu. Jadinya gue merasa bersalah banget nih sama Jamet. Mana tadi omongan Kakak tingkatnya minta diulek mulutnya.
Kalaupun gue nggak bisa hajar tuh orang, gue akan mendukung Biyas buat jadi kuat. Adik gue pasti bisa membela harga dirinya. Gue bantuin!
Gue baru sampai di anak tangga ketiga, suara bel rumah berbunyi. Berhenti melangkah, gue memastikan kalau Ibu dengar itu. Dan, setelah yakin Ibu berjalan ke arah pintu, gue melanjutkan langkah. Masalahnya, langkah gue terhenti lagi saat Ibu berseru ....
"Hai, Om-nya Azriel! Ada angin apa sore-sore datang ke sini? Yuk, masuk."
Om-nya Azriel?
"Rame banget! Azriel dan Riana tumbenan ke sini juga."
"Mau liat ikannya Kakung!"
Dengan badan yang tiba-tiba terasa kaku, jantung deg-degan karena panik, gue berbalik, menemukan Tarangga yang mengenaskan jeans biru dan kemeja putih, tersenyum manis ketika matanya menemukan gue. Sementara Riana, dengan cerianya menggandeng tangan Azriel untuk diajak lari ke belakang, andalannya adalah kolam kecil milik Ayah.
Gue nggak menggelinding aja udah syukur banget ini.
Om-nya Azriel memang benar-benar bikin gue kehilangan rencana. Kalau dia begini, gue harus menjelaskan apa ke Ibu nanti?
Hai, Bu. Dia Tarangga. Calon cowok yang aku ajak senang-senang tapi dia katanya tipe orang serius.
Sialan. Menyiapkan sesuatu yang dia maksud tadi, apakah ini? Dia rencanain ini bareng siapa? Ya Tuhan Miya, meninggal lo sekarang juga.