DUA BELAS

990 Words
"Ini es lemon tea, Nak Aga. Ih enak banget ini. Seger. Ayahnya Miya tuh kalau udah dikasih ini, semangat bukan main." Gue dari tadi cuma bisa memijat kening, kemudian meringis doang kalau tatapan mata kami---gue dan Tarangga maksudnya---ketemu. Sumpah, gue nggak lagi sok polos, sok iye, atau sok apalah, tetapi gue beneran nggak ngerti ini harus gimana. Logikanya kan gini, pacaran zaman sekolah, orang tua pasti mikir cuma cinta monyet walaupun gue ngerasanya udah cinta mati saat itu. Jadi, ketika putus, orang tua santai aja woy, gue yang rasanya mau meninggal detik itu juga. Terus waktu Reza ketemu sama Biyas, ayolah, Biyas si Jamet gitu lho, yang pasti belum concern juga ke komitmen sesungguhnya. Makanya gue nggak panik. Nah ini, sekarang ini, coba deh lo di posisi gue. Umur 20-an itu memang mulai rawan ya. Dibilang remaja udah enggak banget, dikatain dewasa juga masih jauh sanggup melawan masalah. Soalnya, gue nggak ngerti gue harus bersikap gimana. Dugaan sementara gue sih, Ibu bakalan memborbardir dengan segala asumsi dia kalau gue dan om-nya Azriel punya hubungan khusus selain dari hubungan pertemanan Riana dan Azriel. Gue nggak yakin mereka cuma teman. "Yang di sebelah kanan Nak Aga itu kan, kue kering tuh, kalau yang ini kesukaan Biyas, namanya bolu ketan hitam. Hm, rela gelut sama Kakaknya cuma perkara ini." Yang diajak ngobrol ketawa kecil sambil liatin gue. Dia ambil sepotong dan mulai ngunyah. Balik lagi mgobrol sama Ibu dengan pembahasan yang gue sama sekali nggak mau terlibat. Kerja apa, Nak Aga? Maka Tarangga menjawab. Lingkungan kerjanya enak? Maka Tarangga menjelaskan betapa anak-anak di tempatnya sangat menyenangkan. Media itu suka bohong ya, Nak Aga? Maka Aga bak pembicara seminar menerangkan dengan serius, sementara Ibu dengan jiwa masyarakat pengajian mendengarkan dengan saksama. Menjanjikan ya kerja begitu, Nak Aga? Tarangga memaparkan gambaran-gambaran tentang penghasilan beserta segala analogi supaya---mungkin---Ibu paham. Terakhir, sudah punya gandengan resmi, Nak Aga? Kemudian Tarangga tertawa salah tingkah, matanya terang-terangan menatap gue. Yang jadi pertanyaan, gue nggak mau terlibat memang, tetapi sejak mereka membuka pembicaraan kali pertama, telinga gue mendengar, otak gue mencerna dan gue menyimpulkan. Ngapain gitu lho. "Pernikahan memang nggak mudah ya, Nak Aga. Masalahnya banyak." Padahal nggak ada yang bahas pernikahan, tetapi dengan ajaibnya, Ibu tiba-tiba ngomong begitu. "Dulu, untuk mulai bangun usaha cuci kendaraan itu, Ibu ikut berkorban banyak. Ayahnya Miya mungkin yang kelihatan dan dibanggain orang dengan berangkat pagi pulang petang. Tapi mereka nggak tahu gimana rasanya emas satu-satunya harus dijual, gimana rasanya nahan kangen suami, rasanya ngidam sendirian, rasanya kontraksi sendirian dan melahirkan sama mama sendiri karena suami masih di luar kota. Pulang ke sini anak udah brojol." Iya, Bebs, Ibu gue cerita itu tanpa jeda. Gue cuma memilih menyimak meski rasanya kayak ... hal itu nggak perlu dia ceritain ke orang asing, kan? Namun, gue ingat tadi dia bilang nggak segala hal harus sesuai dengan pandangan gue. Mana Tarangga antusias banget, walaupun gue nggak tahu kalau dia hanya mencoba menghargai atau memang kisah masa lalu Ayah-Ibu sangat menarik untuk didengarkan. So, I shut my mouth. Sampai akhirnya, Ibu pamitan pada Tarangga, mungkin merasa sudah puas berbagi cerita. Sebelum benar-benar meninggalkan kami, ia sempat menyenggol-nyenggol kaki gue sambil mengedipkan sebelah mata. Abis gue. Kalau suatu saat gue dan Tarangga bubar bahkan sebelum menjalin hubungan apa-apa, gue nggak tahu alasan apa yang cocok untuk Ibu terima. "Kamu kaget nggak aku datang ke sini?" Gue butuh banget juru bicara dalam kondisi kayak gini. Maksudnya, untuk sesuatu yang bertentangan banget dengan jawaban asli gue, tolong biarkan orang lain yang berdosa dengan menjawab kebohongan. Sayangnya, itu cuma angan-angan, yang di depan makhluk seksi ciptaan Tuhan ini adalah gue. "Kaget banget." Setelah bermenit-menit diam. Akhirnya gue jawab yang membuat senyumannya lebar. "Gue pikir menyiapkan sesuatu tadi, Mas mau ke mana gitu. Ha ha." Tawa hambar juga dikeluarkan. Oh Miya .... "Ceritanya gini." Bakalan panjang nih. Berhubung suaranya gurih mirip Vino G Bastian yang bucin mampus sama bininya itu, gue buka telinga lebar-lebar untuk mendengarkan. "Aku udah siap mau pergi ke tempat gym, Azriel lari ke kamar sambil megang handphone dan bilang 'Om, plis, Riana bilang, dia pengen banget ke rumah Kak Miya. Ada ikannya, Om. Banyak! Yuk, Om!' Mukanya berbinar banget. Aku pikir waktu Riana telepon pake handphone Mbak-nya, mereka beneran ngobrolin tugas. Kamu tahu, aku belum ngerti gimana caranya bilang 'ngga' untuk Azriel." Aneh nih orang. Setiap ngikutin suara Azriel, gue malah melihat dia semakin seksi dan menarik. Buru-buru gue nyengir. "Setelah gue kasih info ini, mungkin Mas bisa punya senjata buat bilang 'nggak' untuk Azriel atau pun Riana." "Apa itu?" "Masalah simpelnya, Riana ke sini naik ojek online kalau mbak Zia nggak bisa hubungi aku atau Biyas sementara dia kerja. Karena ingat, Mbaknya Riana di sana nggak bisa naik motor." Gue tersenyum lebar. Mengacungkan jari telunjuk di depan muka gue sendiri. "Kesimpulannya, Mas selalu dimanipulasi oleh mereka berdua yang memang pengen main bareng." Azriel dan Riana, wahai manipulator cilik, rasakan karir kalian hancur mulai detik ini di mata Om Aga. Dia tertawa lebar. Gue malah deg-degan. Kaget, senang, tertarik, semuanya menjadi satu. "Menurutmu mereka udah jago manipulasi?" "Banget." Gue ingat banget Riana memang bukan gadis cilik polos lagi. "Riana bisa jadi sangat menyebalkan meski dia memang kadang gemesin dan bikin melas kalau lihat mukanya. Gue rasa Azriel nggak jauh beda." "Menurutmu gitu?" Gue mengangguk antusias. "Kenapa nggak berpikir sebaliknya, Miya?" "Maksudnya? Dia nggak manipulatif? Atau Azriel? Dua-duanya samaaaaa. Sama banget. Jodoh tuh berdua." "Bukan," Kepalanya menggeleng sambil tetap tertawa. "Gimana kalau yang manipulatif ternyata adalah Om-nya Azriel ini dengan sedikit memanfaatkan mereka berdua buat bisa dateng ke rumah Kak Miya-nya?" B*ngs*t. Gue melongo makin kelihatan bego. "Kenapa aku selalu nggak diperbolehkan main ke sini sementara kamu mau aku bawa ke rumah dan kantorku?" Seolah ada sinar hidayah yang nyerang muka gue, dan meminta gue untuk jujur saat ini juga. Bagusnya, mulut gue tetap kekunci, dan gue lebih memilih senyum penuh perjuangan, berusaha untuk tetap tangguh dan seksi dalam waktu yang sama. Dan, gue bersyukur banget, karena sebelum sempat membuka mulut, suara ribut langkah seseorang menuruni tangga terdengar. Biyas, berdiam di tengah-tengah tangga. "Sori, nggak tahu ada tamu." Untuk pertama kalinya, gue merasa adik gue tersayang, Biyas Devandra, adalah harta berharga yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan bumi. Dia benar-benar penyelamat. Karena selanjutnya, Tarangga seolah lupa pertanyaannya, dia malah mengajak ngobrol Biyas dan itu gue jadikan alasan untuk pamit melihat Riana dan Azriel di belakang. Gue tahu, kemenangan dan kebebasan gue ini cuma sementara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD