Jantung Udin berdebar-debar keras tak karuan. Seluruh tubuhnya tegang dan keringat dingin bercucuran. Dia melihat ke arah kiri kanannya terus menerus dengan pandangan penuh curiga dan ketakutan.
Setelah merasa yakin semuanya benar-benar aman, Udin mulai mengayunkan cangkulnya ke gundukan tanah yang penuh dengan taburan bunga di atasnya. Dua buah nisan kayu yang menancap di gundukan itu sudah terlebih dahulu disingkirkan oleh Udin entah kemana.
Udin tak tahu berapa lama dia menggali, tapi yang pasti, semuanya terasa begitu lambat dan menegangkan. Dia tak pernah berhenti menolehkan kepalanya ke sekeliling untuk memastikan tak ada orang yang datang.
Krrakkkkk.
Tiba-tiba, suara kayu yang terkena ayunan cangkul membuat pikiran Udin seperti tersadar seketika. Dengan gerakan cepat, dia langsung merunduk dan menggunakan kedua tangannya untuk mengorek-ngorek tanah, memastikan kalau galiannya telah benar-benar mengenai papan kayu penutup di atas jenazah yang baru tadi siang dikebumikan di bawahnya.
Sesaat kemudian, seperti kesetanan, Udin menggali makin cepat karena dia tahu kalau pekerjaannya akan segera selesai. Dia ingin menyelesaikan semua ritual ini dan pergi dari tempat ini secepatnya.
Hanya dalam hitungan menit, semua papan yang melindungi jenazah itu terlihat di bawah kaki Udin. Udin lalu membuka papan di sebelah utara, di bagian kepala. Ketika papan itu terbuka, bau kapur barus tercium di hidung Udin seketika. Belum ada bau busuk menyengat karena daging yang membusuk dari mayat yang ada di bawahnya.
Udin lalu mengarahkan nyala senter kepalanya ke arah si mayat dan menggunakan tangan kanannya untuk memutar kepala mayat itu. Sesaat kemudian, dia bisa melihat wajah pucat dari si mayat yang dia kenal dengan akrab dengan mata terpejam ke arahnya, wajah Haji Imron.
Udin menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya lalu menggunakan tangan kirinya untuk membuka kain kafan yang sebagian masih menutupi kepala dan wajah jenasah Haji Imron. Tangan kanannya masih memegangi kepala mayat agar tak kembali berpaling menghadap ke barat seperti tubuhnya.
Setelah berhasil membuka kain kafan yang menutupi kepala Haji Imron dengan tangan kiri, Udin meraih gunting di sakunya dan memotong rambut beruban di kepala Haji Imron beberapa helai. Udin memegang rambut itu lalu menutup kembali papan yang digunakan untuk penutup mayat seperti sebelumnya.
Dengan raut muka pucat pasi, Udin menegakkan badan supaya dia bisa melihat kondisi sekeliling makam yang sedang dia gali ini. Dia menarik napas lega setelah tak menemukan tanda-tanda mencurigakan di sekitarnya. Setelah memastikan kembali bahwa semuanya aman untuk yang kedua kalinya, Udin kembali merunduk ke dalam lubang makam. Kali ini dia berjingkat ke belakang dan turun ke bagian bawah tubuh jenazah Haji Imron.
Tak lama kemudian, Udin membuka papan yang letaknya berada di bagian tengah tubuh jenazah yang ada di bawahnya. Udin sedikit kesal ketika melihat bahwa papan yang dia buka ternyata sedikit meleset dari sasaran. Dia lalu mengembalikan papan itu dan membuka lembaran papan yang ada di sebelah bawahnya.
Setelah berhasil membuka papan itu, Udin lalu menggunakan kedua tangan kanannya untuk membuka kain kafan putih yang membungkus mayat Haji Imron. Dia menyibakkannya ke bagian belakang mayat dan membuat tubuh bagian pinggang Haji Imron terlihat. Udin lalu menggunakan gunting dengan tangan kanannya dan menggunting beberapa helai rambut kemaluan Haji Imron yang tidak tertutupi lagi oleh kain kafan.
Setelah berhasil, Udin lalu segera menutupkan papan kayu yang tadi dia buka ke posisi semula. Dia sama sekali tak membetulkan posisi kain kafan Haji Imron yang tadi dia buka. Udin kembali menarik napas lega sesaat kemudian. Bagian terberat dari ritual yang sedang dia lakukan sudah dilewati, kini dia hanya perlu melakukan langkah selanjutnya.
“Jumlah helainya tidak penting, yang penting, kamu harus benar-benar bisa mendapatkan rambut bagian kepala dan rambut bagian kemaluan dari mayat yang kamu jadikan sasaran.”
“Setelah itu, kamu masukkan rambut-rambut itu ke dalam gelas berisi air putih.”
“Baca mantra ajian yang Bapak ajarkan sebanyak tiga kali, tiupkan ke dalam air putih itu lalu minum bersama semua rambut yang ada dalam gelas itu.”
Kalimat-kalimat itu terus terngiang di kepala Udin saat ini. Dia lalu mengeluarkan botol air kemasan mineral yang isinya tinggal separuh dari saku jaketnya lalu dengan tangan bergetar, dia memasukkan beberapa helai rambut yang sedari tadi dia pegang hingga tangannya berkeringat dingin.
Udin melihat dengan tegang ke arah helaian rambut yang dia masukkan secara perlahan-lahan ke dalam botol. Saat melihat beberapa helai tak jatuh ke dalam air, Udin menggoyang-goyangkan botolnya hingga semuanya luruh tenggelam ke dalam air.
Setelah yakin bahwa semua helaian rambut dari jenazah Haji Imron tercelup air di dalam botol mineral, Udin menarik napas panjang lalu mulai melafalkan mantera yang diajarkan oleh Bapak dengan suara lirih.
“Niat ingsun amatek aji, ajiku…”
Saat Udin melafalkan mantranya untuk yang pertama kali, dia sama sekali tak merasakan apa-apa. Hanya ada rasa tegang dan ketakutan karena melakukan sebuah ritual yang bakalan membuatnya masuk penjara atau dihajar orang sekampung jika Udin tertangkap basah ketika melakukan aksinya saat ini.
Berbeda dengan yang pertama kali, ketika Udin mulai melafalkan mantra untuk yang kedua kalinya, bulu kuduk di sekujur tubuh Udin tiba-tiba merinding berdiri seketika.
Udin anak seorang penggali kubur. Sejak kecil, kuburan sudah menjadi tempat mainnya sehari-hari. Dia juga sering mengalami kejadian-kejadian janggal yang mungkin tak bisa dijelaskan dengan nalar dalam hidupnya.
Tapi…
Ini kali pertama dalam hidup Udin mengalami sebuah kejadian dimana seluruh bulu dan rambut di tubuhnya meremang berdiri serentak. Sesaat kemudian, Udin merasakan ada puluhan bahkan ratusan pasang mata melihat ke arahnya dari atas lubang kuburan yang dia gali.
Tubuh Udin membeku kaku di tempatnya. Dia yang duduk dalam posisi berjongkok di atas papan kayu penutup jenazah Haji Imron tak berani sedikit pun melirik atau mengangkat kepalanya untuk melihat ke atas. Mulut Udin yang tengah membaca mantra untuk yang kedua kalinya pun berhenti. Terbersit sebuah pikiran dalam kepala Udin untuk membuang botol di tangannya dan meloncat keluar dari lubang kuburan ini.
“Ingat, Din!! Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap lanjutkan ritual itu sampai selesai.”
“Apa pun yang terjadi!!”
Kata-kata Bapak muncul dalam kepala Udin seakan mengingatkannya. Udin yang gemetaran karena ketakutan, menggigit keras bibirnya sendiri. Dia ingin menekan rasa takut yang kini menyergapnya dengan rasa sakit di bibirnya. Usahanya itu membuahkan sedikit hasil. Diiringi rasa sakit perih di bibirnya yang bercampur asin anyir dari darahnya sendiri, Udin melanjutkan lafalan mantra untuk kedua kalinya yang sempat terhenti tadi.
Ketika Udin selesai melafalkan mantra untuk yang kedua kalinya, apa yang dia alami tidak berhenti dan justru makin bertambah kuat. Bulu kuduknya terus meremang. Kini, tak lagi hanya sekedar sebuah perasaan bahwa ada puluhan pasang mata yang menatapnya, Udin bahkan mulai mendengar berbagai suara-suara aneh yang terdengar lirih namun jelas di telinganya.
Udin mendengar suara tangisan seorang wanita, Udin mendengar tawa seorang anak-anak, Udin mendengar suara teriakan seorang laki-laki tua, Udin mendengar desahan nafas tersengal wanita tua renta, Udin mendengar semuanya.
Keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Udin karena rasa takut yang semakin mencekam. Dia menggenggam erat botol mineral di tangannya hingga bentuknya tak lagi sempurna karena kuatnya remasan tangannya tanpa dia sadari.
“Niat ingsun ama-“
Baru dua kata dari mantra yang dia lafalkan untuk pengulangan yang ketiga dan terakhir kalinya tapi tiba-tiba lidah Udin menjadi kelu. Mulutnya masih menganga tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari sana. Tubuh Udin membeku kaku dengan wajah memucat tak ubahnya seperti mayat.