“La, tolongin aku dong,” pinta Anindyaswari, teman mengajar lain kelas, tapi dia sahabat Pelangi.
“Ada apa?” tanya Pelangi. Dia orang yang paling ringan tangan.
“Ada satu anak yang dia kalau sudah tantrum nggak ada yang bisa menangani. Aku dan Endah sudah nggak bisa nangani. Kamu kan biasanya telaten sama anak seperti itu. Tolongin dong. Hampir tiap hari dia seperti itu,” jelas Anin.
“Tapi Ani belum datang, lalu kelasku siapa yang pegang?” Lala bingung karena kelasnya belum ada guru. Di sekolah itu satu kelas TK memang diajar dua guru, walau jumlah siswanya hanya 15 anak per kelas. Tapi ditangani oleh dua guru. Pelangi bersama dengan Magani atau yang biasa dipanggil Ani, sedang Anindyaswari atau Anin, dia mengajar bersama Hanenda atau yang biasa dipanggil Endah.
“Biar Endah saja yang menangani kelasmu sampai Ani datang. Kamu oper ke tempatku dulu. Aku benar-benar nyerah sama anak ini.”
“Aku nggak berani janji ya, tapi aku akan tolong kamu. Semoga saja dia mau sama aku,” kata Lala berjalan ke ters kelas sebelah.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Pelangi menghampiri teras kelasnya Anin, anak tersebut bahkan belum mau masuk ruangannya dan menangis menjerit duduk di lantai. Ada seorang lelaki yang ikut jongkok di sebelah lelaki kecil itu yang kemungkinan ayah anak tersebut.
Pelangi mendekati siswa itu. Papa si anak membujuk tapi anak itu tetap saja menangis menjerit-jerit tidak mau masuk kelas.
“Wow ada jagoan nangis nih. Kalau jago nangis kayaknya bukan jagoan lagi ya,” kata Pelangi. Dia melihat sosok Gerhana di tubuh lelaki kecil itu. Sama seperti Gerhana sebelum meninggal, anak itu berusia empat tahun. Andai Gerhana ada, pasti dia sekarang sudah berusia 6 tahun. Sudah masuk SD.
‘Mama kangen sama kamu Nak, padahal hampir tiap minggu Mama selalu menemuimu di makam. Tapi selalu saja rasa kangen itu nggak bisa hilang. Hampir dua tahun kamu pergi Nak, sebentar lagi papamu bebas mendekati mama, karena masa dia tak boleh dekat dengan radius 500 meter hanya hingga dua tahun saja,’ pedih Pelangi berkata dalam hatinya.
Anak tersebut mendengar suara yang sangat lembut di telinganya, suara yang tulus bukan membujuk karena tugas seorang ibu guru agar muridnya diam. Tapi suara seorang ibu yang menginginkan anaknya diam. Itu sangat beda di telinga Senja. Nama anak yang sedang menangis itu adalah Senja Lazuardi Syahab.
Tanpa disuruh diam anak tersebut langsung menghentikan tangisnya. Lelaki kecil itu menatap mata Pelangi. Lalu melihat ke samping Pelangi.
‘Jadi ibu ini ibumu?’ tanya Senja dalam bahasa batin
Lelaki kecil disamping Pelangi mengangguk dengan senyum manis.
Senja pun tersenyum pada lelaki kecil itu
‘Aku akan menjaganya untukmu Kak,’ janji Senja pada lelaki kecil di samping Pelangi. Mereka berdua bergandeng tangan
Senja adalah anak indigo, kecuali daddy serta opanya, yang lain tidak ada yang mengerti tentang mengapa dia sering seperti demikian. Sehingga tidak mau dipegang oleh siapa pun. Semua pembantunya selalu dia tolak karena dia tahu dalam batin semuanya selalu membenci dirinya yang mereka bilang merepotkan.
Baru dengan Bu Siwa satu-satunya pembantu yang bisa bertahan. Sudah hampir dua tahun terakhir ini. Yang lainnya sejak dia bayi selalu dia tolak.
“Kita masuk kelas yuk. Kalau kamu mau belajar di kelasnya Bu Anin kamu akan semakin pintar dan semakin hebat,” kata Pelangi. Dia memberikan telunjuknya untuk digandeng oleh lelaki kecil tersebut. Tidak ada keinginan Pelangi membujuk apalagi menggendong siswa itu.
Semua Pelangi lakukan agar anak itu terbiasa mandiri, tanpa harus digendong oleh semua guru. Tentu saja ini adalah pengecualian. Pengecualian di mata Biru daddy dari Senja.
Karena biasanya guru-guru lain akan membujuknya dengan menggendong anaknya, bukan memberi telunjuk untuk digenggam oleh anaknya. Ini benar-benar kenyataan baru buat Biru dan anaknya dengan manis menurut sang ibu guru.
Biasanya semua guru, sampai kepala sekolah dan ketua Yayasan akan berlomba menarik hati Senja dan berupaya agar bisa menggendong Senja sehingga sekolah mendapat tambahan dana darinya.
“Aku tidak ingin di kelas Bu Anin. Aku ingin di kelas Mommy saja,” cetus anak tersebut tanpa takut.
“Kamu tidak boleh memanggilku Mommy seperti itu. Aku adalah gurumu jadi panggil aku Miss seperti pada Miss Anin atau Miss Endah. Kamu ada di dalam kelasnya Miss Endah kan? Nanti di kelas kamu akan bersama Miss Anin ya,” ucap Pelangi dengan sabar.
‘Dia tak berupaya menarik perhatianku. Bahkan tak menegurku. Semua perempuan berlomba ingin kenal denganku. Tapi dia tidak. Siapa dia? Apa dia takt ahu kekuatanku?’ Biru merasa ‘direndahkan’ Pelangi.
“No, aku tidak mau. Aku hanya mau di kelas Mommy saja,” bantah Senja.
“Baik kamu boleh berada di kelas saya dengan catatan kamu memanggil saya dengan sebutan Miss Lala. Tidak boleh dengan sebutan Mommy,” kata Pelangi dengan tegas. Dia tak enak nanti bila ibu anak tersebut protes atau ayah anak tersebut marah karena dia mau dipanggil Mommy oleh anak didiknya.
Biru mengikuti dari belakang dan mendengar semua perdebatan putranya dengan guru yang baru hari ini dia lihat.
“Oke deal, tapi kalau di luar sekolah aku boleh panggil Mommy kan?” anak itu tetap saja memaksa bahwa dia akan memanggil Mommy pada Pelangi.
“Whatever you say,” kata Pelangi, dan anak tersebut pun menurut.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
“Nin, dia minta ada di kelas aku, gimana dong?” tanya Pelangi pada Anin.
“Dengan senang hati aku limpahkan, itu berkah buat aku,” kata Anin dengan sangat senang. Tentu saja dia sudah hilang akal tiap hari memikirkan anak tersebut tantrum.
“Baiklah aku masuk kelasku ya,” ucap Pelangi, dia masih tetap menggandeng anak tersebut.
“Oh iya siapa namamu? Tadi ibu belum berkenalan kan?”
“Senja Lazuardi,” kata anak tersebut.
“Baiklah Senja, kamu bisa duduk di sini. Kita mulai pelajaran hari ini. Mari kita berdoa bagaimana mencintai diri kita sendiri dengan mencintai sesama dan tentu berterima kasih kepada Allah bahwa kita diberi kesehatan sehingga bisa bertemu semua teman hari ini. Juga bertemu dengan ibu di sini sebagai guru kalian,” lalu Ani dan Lala mulai mengajar kelas mereka hari ini.
Karena ada Senja maka jumlah siswanya menjadi 16 padahal standarnya mereka 15 tak apalah daripada satu orang dioper ke kelas Anin, nanti orang tuanya marah karena tidak terima. Jadi lebih baik biarkan saja satu yang masuk ke kelasnya Lala tanpa perlu bertukar siswa lainnya.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Biru memperhatikan Senja yang aktiv di kelas guru baru itu. Dia bingung sendiri bagaimana putranya bisa sedemikian normal seperti anak lainnya. Tak pernah Senja seperti itu sebelumnya.
Biru melangkahkan kaki menuju kantor kepala yayasan. Dia lewati kantor kepala sekolah. Biru ingin tahu siapa guru yang bisa menangani putranya tanpa perlu adu argumentasi sama sekali.
≈≈≈≈≈≈≈≈≈≈
Namanya Pelangi Mustika Maliq atau biasa dipanggil Miss Lala. Dia hanya berijazah kursus guru TK, walau masih terdaftar sebagai mahasiswi Pendidikan guru TK. Dia menguasa bahasa Arab, Inggris dan Mandarin dengan aktif, bahasa Jepang pasif. Pernah kuliah di fakultas kedokteran tapi terhenti.”
“Dia menguasai seni tari, bisa memainkan alat music gitar, piano dan seruling dengan mahir. Dia bisa beladiri pencak silat. Itu data yang ada di lembar akademisnya Pak,” ucap ibu Fianni Sisma, ketua yayasan.
“Lembar keluarganya? Suami? Anak? Orang tua?”
“Dia yatim piatu. Hanya itu yang tercantum Pak,” ucap bu Sisma.
Biru tak yakin dengan data itu, dia akan cari data Pelangi selengkapnya.