BAB 4. BERUBAH

1088 Words
. . Tahun berganti tahun, banyak yang berubah dari seorang Allicia dari bocah cilik periang, selalu berceloteh ini itu, gadis cilik yang kritis dan menggemaskan suka bertanya banyak hal, hangat dan tidak suka duduk diam. Yang senang melakukan aktivitas dengan ketiga saudaranya dengan riang gembira, tak ada lagi rengekan penuh kemanjaan darinya. Jangan harap bisa melihat senyuman manisnya lagi atau tatapan penuh kebahagiaan miliknya. Sejak kejadian beberapa tahun yang lalu merubahnya menjadi pribadi yang tertutup. Hanya dengan Austinlah kadang senyum tulusnya dia perlihatkan, itu pun hanya senyum di ujung bibirnya. Dia masih berinteraksi dengan saudaranya dan mommynya tapi tak ada senyuman ataupun celoteh lucunya. Saat dia bermain basket dengan Austin dia hanya memperhatikan anjuran Austin tanpa bertanya atau mengeluh, dia hanya mengangguk tanda mengerti. Di sekolah pun dia selalu menyendiri, seakan dia punya dunianya sendiri. Walau begitu tidak ada yang berani mengganggunya, karena saudaranya selalu menemaninya layaknya bodyguard. Mereka selalu bergantian entah dengan Daffa kadang Bella tapi Austin yang lebih sering menemaninya, dia selalu mengajaknya bicara, dia tidak pernah lelah bercerita banyak hal pada adiknya kadang hal yang konyol, jika adiknya menanggapi dengan tersenyum itu sungguh kebahagiaan baginya. Begitu pula saat Bella mengajaknya memasak dengan mommynya, gadis itu tidak membantah. Dia mengikuti kakaknya ke dapur, dia duduk di meja dapur memperhatikan kakak dan mommynya memasak kadang dia membantu mengupas atau memotong sesuatu. Setiap gerak gerik dan instruksi mommynya diperhatikannya dengan cermat. Saat menunggu pun dia hanya duduk menopang dagu, jika lelah dia meletakkan kepalanya di meja dapur. Tapi sesaat ada dua anak perempuan yang satu serupa dengannya memasuki arah dapur, tanpa perlu meminta ijin gadis ini beringsut pergi tanpa kata. Tanpa melirik, dia akan pergi entah itu ke kamarnya, entah ke taman belakang. Yang dia tahu dia tidak mau satu ruangan dengan dua gadis itu dan juga daddynya. Baginya luka itu masih membekas, apalagi tak ada permintaan maaf dari mereka yang menorehkan luka. Hatinya terkoyak, batinnya teriris sembilu... Dia berjalan ke taman belakang. Dia menuju gazebo yang dibangun menyatu dengan kolam ikan milik keluarganya. Ada dek kecil, dia duduk disana sambil sebagian telapak kakinya terkena air. Diambilnya makanan ikan, ditaburkannya didekat kakinya. Rasa geli disana membuatnya terkikik geli, itulah baru terlihat seperti Allicia yang dulu. Itulah kenapa dia betah berlama-lama disana, kadang berbicara dengan ikan mas yang ada dikolam itu. Hanya ikan-ikan itulah pendengarnya. Tanpa disadarinya ada sosok yang masih gagah diusianya yang sudah setengah baya, dari balkon kamarnya melihat interaksi putri kecilnya yang kini beranjak dewasa yang dulu selalu minta dimanjanya. Jashon sedih kini gadis itu menjauhinya. Ada perasaan sakit dihatinya, apalagi melihat kondisi putrinya yang sangat berubah. Bukan hanya padanya tapi pada seluruh orang. Rasa sesalnya tak pernah tersampaikan, hanya terpendam dalam hatinya, dan itu menyiksanya. Rasa takut ditolak oleh putri kecilnyalah yang menghalangi langkahnya. Hanya dari jauhlah dia bisa puas menatap putrinya itu. Senyumnya yang sangat jarang terlihat dan juga suaranya. Dia bahkan menaruh CCTV yang canggih di gazebonya itu hanya untuk melihat putrinya yang suaranya tidak pernah terdengar lagi memeriahkan suasana di rumah. Sekarang rumahnya suram tak ada gelak tawa lagi. ** Akhirnya kemarin daddy mengajakku berobat untuk terakhir kali, dan akhirnya dokter menyatakan darahku bersih dari penyakit yang ditularkan mommy padaku. Aku bahagia sudah pasti. Sekarang tujuanku satu, menghancurkan keluarga yang sudah menyakiti mommy ku... Pertama membuat putri mereka saling benci, dan membuat daddy sendiri yang akan mengusir putri tercintanya. Dan hari ini saatnya.... Senyum iblis terukir di bibir manisnya. ** Dia mengajak Aurora bermain di gazebo tempat Allicia bermain dengan ikannya. Dia membawa sekeranjang buah apel kesukaan Aurora, dan sebuah pisau untuk mengupas. Senyum iblisnya terbit mengingat rencananya. Dia sudah merencanakan jauh hari, dia memperhatikan kebiasaan Cia, dan dia sudah mengatur semuanya sebaik mungkin. Dia sangat yakin untuk kali ini rencananya pasti akan berhasil. "Kita kemana?" tanya Aurora "Gazebo dekat kolam,” sahutnya datar. Memang jika dia hanya berdua maka dia akan berubah dingin, tapi jika ada anggota keluarga yang lain maka dia memasang expresi Angelnya. "Tap... tapi di sana ada Allicia,” cicitnya. Bukannya dia benci dengan Cia, bukan. Tapi dia tahu dia sudah menyakiti saudara kembarnya itu dan tidak mau mengganggunya. Rasa bersalahnya membuatnya ikut tersakiti setiap kali menatap tatapan kosong Cia. Dia bisa merasakan rasa sesak dihatinya dan dia yakin itu bukan dari dirinya tapi rasa itu yang dirasakan kembarannya. Walau mereka tidak pernah berinteraksi, tapi setiap Cia sedih maka dia juga merasa jantungnya ikut teremas. Rasa ngilu dia rasakan dan juga sesak saat beberapa tahun lalu daddy memarahi Cia, tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, Cia maaf...Aku tidak berdaya, lirih batinnya. "Hai bukannya kau rindu ingin bermain lagi dengannya?" tanya Angel penuh ejekan. Bibirnya mencibir Rora tanpa takut ketahuan siapa pun "Iya, tapi_” Rora mencoba mencari alasan. Dia takut Angel mempunyai rencana untuk menyakiti Cia, dan dia tidak mau ikut campur. Setidaknya dia tidak mau semakin dibenci oleh kembarannya sendiri. Selama ini dia juga sangat merindukan kembarannya, ingin bermain bersamanya dan saudaranya yang lain. Tapi kak Angel selalu melarangnya, kak Angel selalu memperlakukannya buruk, dia selalu mengancamnya. "Sudah ayo, kita akan memberinya apel,” Ajaknya sambil menggandeng tangan Rora, menuju ke arah Cia yang sedang asik dengan dunianya sendiri. Mereka mendekati Cia yang tak menyadari kedatangan keduanya, telinganya tertutup headseat matanya memejam, menikmati musik kesukaannya. Mata Jashon memicing, kenapa mereka berdua mendekati Cia? Perasaannya jadi tidak enak, dia merasa ini tidak baik... Jashon yang melihat itu menjadi panik. Ada perasaan yang tidak enak melihat Angel dan Rora mendekati Cia. Dia berlari menuruni tangga. Dia terus berlari, menuju taman belakang. Tiba-tiba terdengar teriakan Angel. Dia terus menerobos keluar rumah, tak dipedulikannya kakinya yang bahkan tidak menggunakan alas kaki. Tak dihiraukannya tatapan bertanya dari istrinya, yang melihatnya Pontang panting tergopoh gopoh, istrinya mengikutinya begitu pun dengan ketiga anak mereka. Dia mempercepat langkahnya dan sesampainya di tempat anak-anaknya sontak matanya membesar tak percaya dengan apa yang dilihatnya, nafasnya terengah engah. Dadanya bergemuruh hebat, dia tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Dengan perasaan kalut, dia mengatakan hal yang akan disesalinya. "Kau... menyakiti saudaramu Cia... Aku pernah bersalah padamu, Aku minta maaf untuk itu, tapi apa ini? kukira kamu sudah berubah. Aku menyesal pernah memanggilmu anak, aku berharap kau bukan putriku!!" bentaknya tak peduli dia sudah menyakiti putrinya. Seketika tubuh Cia bergetar, bukan karena takut, tapi karena ucapan Jashon yang sangat menusuk batinnya. Saat ini JASHON membopong tubuh Rora yang bersimbah darah, berderap membawanya ke rumah sakit. Tak peduli ada hati yang tersakiti. LAGI... Hatinya berdarah LAGI... Orang yang sama menyakitinya LAGI... Kenapa tidak ada yang mempercayainya? Kenapa? tangisnya pilu... Mereka keluarganya kan? Kenapa mereka meragukanku, kenapa? tanyanya pada diri sendiri... ~BERSAMBUNG~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD