Falisa terus terisak dalam tangis, dia berada dalam pelukan Yuuya entah sudah berapa lama. Yang jelas wanita itu sedang ingin mengungkapkan kesedihan yang sedang dia rasakan.
Yuuya membiarkan sang kekasih melakukan apa pun yang diinginkannya. Tetap memeluk erat wanita itu seraya mengusap-usap puncak kepalanya, tapi mulut pria itu tetap terkatup rapat, tak ada satu patah kata pun yang keluar karena dia ingin membiarkan Falisa mengeluarkan semua kesedihannya tanpa terganggu olehnya.
"Yuuya, kenapa nasibku begini? Aku datang ke London jauh-jauh dari kampung halamanku karena ingin membantu orang tuaku yang terlilit hutang, tapi kenapa sekarang aku harus mengalami semua ini? Aku dibenci oleh bosku sendiri hanya karena masalah sepele dan sekarang aku harus menemani bosku itu melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri selama 30 hari. Ini benar-benar gila. Aku tidak mau, Yuuya!" Falisa menjerit karena tak kuasa lagi menahan kesedihan sekaligus amarahnya atas nasib buruk yang kini sedang menimpanya.
Yuuya masih mengusap puncak kepala Falisa dengan lembut. "Sudahlah, Fal, jangan mengeluh terus. Anggap saja kau sedang menjalankan tugas, jangan terlalu dipikirkan."
Falisa mendelik tajam pada Yuuya yang seolah menganggap sepele masalahnya. "Tidak bisa begitu, Yuuya. Kau tahu sendiri Pak Juan selalu memusuhiku. Tidak perlu jauh-jauh buktinya saat meeting kemarin, dia begitu sinis padaku dan mempermalukan aku di depan banyak orang. Kau juga tidak lupa kan dia pernah menyuruhku membersihkan apartemennya seperti aku ini asisten rumah tangga daripada karyawan di perusahaannya. Bahkan dia tidak mau menerima jasnya yang kukembalikan padahal jas itu sudah aku cuci sampai bersih. Huh, dia selalu menatapku sinis dan tajam setiap kali kami berpapasan di kantor. Tidak salah lagi, dia memang membenciku. Bisa kau bayangkan akan jadi seperti apa hidup yang kujalani jika 30 hari aku harus menghabiskan waktu dengan orang yang membenciku itu?" Falisa menggelengkan kepala. "Pasti rasanya bagai di neraka."
"Iya, aku paham. Tapi mengeluh pun percuma karena memang ini tugas untukmu. Jadi saranku, kau terima saja, Sayang. Bersikaplah profesional. Bicara dengan Pak Juan jika membahas urusan pekerjaan saja, selebihnya kau abaikan dia. Jangan dipedulikan."
"Kau seperti tidak tahu sifat Pak Juan saja. Dia kan selalu sinis dan bicara pedas padaku. Kata-katanya selalu membuatku sakit hati."
"Lalu sekarang kau mau bagaimana? Mau menolak tugas itu?"
Falisa diam seribu bahasa dengan kepala tertunduk karena tentunya mustahil dia bisa menolak tugas itu di saat ketua divisi keuangan langsung yang memberikan tugas tersebut padanya.
"Seandainya aku bisa melakukan sesuatu untuk membantumu, pasti akan aku lakukan. Tapi ini tugas dari perusahaan yang memang hanya kau yang bisa mengerjakannya, aku jadi bingung sekarang. Tidak tahu harus bagaimana agar bisa membantumu."
Falisa menghembuskan napas berat, sadar keluh kesahnya ini hanya membuat Yuuya ikut pusing dan repot memikirkannya. Tak ingin merepotkan Yuuya lebih dari ini, Falisa pun melepaskan pelukannya. Dia menyeka jejak air mata di wajahnya dengan cepat.
"Hah, kau benar. Aku memang tidak bisa menolak tugas ini. Aku harus belajar bersikap profesional. Walau aku tak yakin sanggup melakukannya."
Yuuya mengulas senyum, lalu membantu Falisa menyeka air mata di wajahnya dengan jari-jari tangannya yang besar. "Kau wanita hebat, kuat dan tegar, Fal. Aku percaya kau pasti bisa menjalankan tugasmu ini dengan baik."
"Bagaimana jika Pak Juan kembali mengatakan sesuatu yang membuatku sakit hati? Atau menyuruhku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak menjadi tugasku?"
"Abaikan saja. Ingat, kau pergi menemaninya karena sedang menjalankan tugas. Jadi lakukan apa yang sudah menjadi tugasmu, tapi jika tidak ada urusannya dengan pekerjaan maka abaikan saja. Kau cukup fokus dengan tugasmu, ok? Abaikan sikap buruk Pak Juan."
Falisa memasang raut memelas di wajahnya. "Akan aku coba. Doakan aku sanggup melakukannya."
"Tentu saja. Doa dan dukunganku selalu bersamamu."
Falisa mengulas senyum, lega hatinya setiap kali mendengar perkataan kekasihnya yang pengertian tersebut.
"Selain itu, Fal, kau harus bersemangat karena setelah kau pulang dari tugas perjalanan ini, aku akan memberikan kejutan besar untukmu."
Kening Falisa mengernyit dalam. "Memangnya kejutan apa yang akan kau berikan padaku, Yuuya?" tanyanya.
Yuuya menyeringai seraya menyentil ujung hidung sang kekasih. "Bukan kejutan namanya kalau aku memberitahumu sekarang. Pokoknya kau sabar saja ya. Kejutannya akan aku berikan setelah kau pulang dari perjalanan dinas ini."
Falisa pun memasang wajah cemberut. "Memangnya kau tidak keberatan aku pergi lama? 30 hari aku pergi ke luar negeri."
"Tentu saja keberatan karena artinya selama 30 hari aku tidak akan bertemu denganmu, tapi mau bagaimana lagi, namanya tugas dari perusahaan, aku harus bersikap profesional."
"Kau tidak takut sesuatu terjadi padaku?"
Kening Yuuya mengernyit dalam. "Maksudnya?"
"Ya, mungkin saja tertimpa sesuatu padaku saat perjalanan itu."
"Hush, jangan bicara sembarangan. Kau pasti akan baik-baik saja. Jangan berpikiran buruk seperti itu, Fal."
"Aku kan hanya bertanya, bukan maksud berpikir buruk."
Yuuya pun lantas memeluk Falisa erat dibandingkan sebelumnya. "Aku yakin kau akan baik-baik saja. Tidak akan terjadi hal buruk apa pun karena aku selalu percaya padamu, Fal. Aku percaya kau bisa menjaga raga dan hatimu. Karena kau itu milikku, kita akan selalu bersama selamanya. Benar, kan?"
Falisa mengangguk tanpa ragu. "Tentu saja, aku selamanya milikmu."
"Cepatlah kembali padaku, Fal."
"Tentu saja. Tunggu aku, aku akan segera kembali ke pelukanmu. Hah, aku pasti akan merindukanmu, Yuuya."
"Aku juga pasti rindu sekali."
Setelah itu entah siapa yang memulainya karena tiba-tiba wajah mereka mendekat dan semakin mendekat, lalu bibir mereka pun saling bersentuhan, tidak ada tuntutan di dalamnya karena ciuman mereka benar-benar tulus mengungkapkan perasaan cinta di hati masing-masing.
***
Falisa menyeka keringat yang bercucuran di pelipisnya, entah kenapa rasanya lelah sekali padahal dia datang ke bandara itu dengan menaiki mobil Yuuya karena pria itu mengantarnya sampai ke bandara.
"Fal, tunggu sebentar di sini. Aku akan menanyakan dulu pesawat tujuan ke Bali sudah siap lepas landas atau belum."
Falisa mengangguk, wanita malang itu tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang karena ini merupakan pengalaman pertamanya melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat.
Merasa pegal karena dia berdiri sambil memegang koper besar berisi semua kebutuhannya selama 30 hari perjalanan ini, Falisa pun memilih mendudukan diri di kursi.
Beberapa menit berlalu Falisa sendirian menunggu di sana hingga akhirnya sosok Yuuya pun kembali.
"Fal, maaf lama. Tadi sedikit mengantre di pusat informasi."
"Tidak masalah. Lalu bagaimana? Pesawatnya kapan akan berangkat?"
Satu alis Falisa terangkat naik karena alih-alih menjawab pertanyaannya, Yuuya justru terburu-buru mengambil alih kopernya dan tiba-tiba saja menarik tangan Falisa agar berdiri.
"Kenapa Yuuya?"
"Kita harus cepat. Pesawatnya akan berangkat sekitar 10 menit lagi."
"Hah?!" Falisa terkejut bukan main sampai memekik keras. "Kenapa bisa? Bukankah pesawat seharusnya berangkat sekitar satu jam lagi? Di tiketnya tertulis begitu, bukan? Kau sendiri yang bilang, Yuuya."
"Ya, tapi ternyata Pak Juan mengganti jam pesawatnya. Dia juga meminta disiapkan tiket yang baru. Ini…" Yuuya memperlihatkan tiket elektronik di layar ponselnya pada Falisa. "Baru saja Bu Erika mengirimkan tiket ini padaku, katanya dia sudah mengirimkannya padamu tapi ponselmu tidak aktif."
Falisa berniat memeriksa ponselnya, dia merogoh saku celana di mana ponselnya disimpan dan benar saja ponselnya memang dalam kondisi mati.
"Oh, My God, aku lupa tidak mengisi daya baterei ponselku semalam."
"Ya sudah tidak apa-apa. Bisa kau isi nanti baterei ponselnya. Yang penting sekarang, ayo kita pergi. Pak Juan pasti sudah menunggumu di pesawat. Jangan sampai kau tertinggal."
Falisa panik bukan main karena waktu yang mereka miliki nyaris habis. Falisa dan Yuuya berlari sambil berpegangan tangan, dan beruntung wanita itu tiba tepat waktu di pesawat yang akan mengantarnya dan Juan ke Bali.
"Hati-hati Falisa. Hubungi aku jika kau sudah tiba di Bali. Aku tunggu," pinta Yuuya.
"Ya, pasti aku akan mengabarimu. Sampai jumpa, Yuuya."
Falisa melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam pesawat, yang dibalas lambaian tangan juga oleh Yuuya sebagai salam perpisahan.
Kini Falisa sudah berada di dalam pesawat, seorang pramugari mengantarkan Falisa menuju kursi yang tertera di tiket miliknya.
Ketika akhirnya Falisa tiba di kursinya, dia melihat tepat di seberangnya sosok Juan sudah duduk sambil bertopang kaki dengan angkuh. Seperti biasa melayangkan tatapan tajam nan menusuk pada Falisa.
"Selamat pagi, Pak," sapa Falisa seramah mungkin meskipun hatinya jengkel.
Alih-alih membalas sapaan Falisa, Juan justru mendengus keras. "Bahkan saat akan menjalankan dinas penting seperti ini kau tetap melakukan kecerobohan. Lihat, kau nyaris tertinggal pesawat."
"Itu karena saya tidak tahu jam penerbangan diubah."
"Bu Erika tidak memberitahumu?"
"Dia memberitahu tapi ponsel saya mati karena saya lupa tidak mengisi daya baterei ponsel saya semalam."
Mendengar jawaban Falisa yang polos itu, Juan semakin mendengus keras sembari memutar bola mata. "Itulah kenapa saya katakan kau ini selalu ceroboh. Semoga kau tidak membuat kekacauan selama perjalanan dinas ini. Lagi pula dari sekian banyak orang kenapa harus kau yang menemani saya melakukan perjalanan ini?"
Dalam hatinya Falisa ingin sekali mengatakan bahwa seharusnya kata-kata itu dia yang mengatakannya, dari sekian banyak orang di kantor ... kenapa harus dia yang menemani CEO arogan dan pemarah itu? Namun, Falisa memilih mengurungkan niat untuk mengatakan itu, lebih baik memendamnya sendiri dalam hati.
Falisa lantas berusaha mengabaikan keberadaan Juan, dia berniat memasukan tas ransel yang dia gendong di punggung ke dalam bagasi pesawat yang ada di bagian atas. Falisa membuka tutup bagasi dengan gerakan kasar karena hatinya masih menahan kesal pada Juan yang untuk kesekian kalinya mengatakan kata-kata pedas yang membuatnya sakit hati.
"Aakkh!"
Spontan Falisa berteriak histeris karena terkejut bukan main, begitu pintu bagasi terbuka, beberapa tas yang ada di dalamnya berjatuhan, menimpa Falisa bahkan ada satu yang menimpa tubuh Juan. Tentu saja kejadian itu membuat Juan marah bukan main. Pria itu bangkit berdiri sambil menggeram kesal.
“Kau ini kenapa?!” bentak Juan sambil memelotot seram pada Falisa yang kini sedang memunguti beberapa tas yang tergeletak di lantai.
“M-maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Tasnya berjatuhan sendiri.”
“Itu karena kau tidak berhati-hati membuka tutup bagasinya. Ck, kebiasaan cerobohmu memang sudah parah, ya. Kau tidak pernah bisa melakukan apa pun dengan benar. Selalu saja melakukan kesalahan. Kau tidak becus melakukan apa pun.”
Falisa marah tentu saja karena ucapan Juan kali ini sudah keterlaluan. Dia menatap Juan nyalang dengan kedua tangan terkepal erat. “Kata-kata Anda keterlaluan, Pak. Saya kan tidak sengaja menjatuhkan tas-tas ini, kenapa Anda semarah itu?”
Juan mendengus. “Tentu saja saya marah. Semua orang juga pasti marah jika memiliki karyawan tidak becus dan tidak kompeten sepertimu.”
“Hanya karena saya melakukan kesalahan kecil ini Anda menganggp saya tidak becus dan tidak kompeten? Perkataan Anda sudah keterlaluan sekali, Pak.”
“Kau berani melawan atasanmu, hah?!”
“Karena saya merasa ucapan Anda sudah keterlaluan, tentu saja saya tidak akan tinggal diam,” sahut Falisa yang tidak peduli lagi walau pria di hadapannya itu merupakan bosnya di kantor. Falisa merasa harga dirinya sedang diinjak-injak oleh Juan saat ini, dan tentu saja dia tidak terima.
“Yang saya katakan itu memang benar. Ini buktinya, hanya membuka bagasi saja tidak becus sampai isi di dalamnya berjatuhan begini.”
“Saya tidak sengaja, Pak. Apa Anda tidak mendengarnya? Sudah sejak tadi saya mengatakan ini.”
Juan tampaknya akan membalas ucapan Falisa hingga mulutnya sudah terbuka, tapi dia katupkan kembali begitu melihat ada seorang pramugari yang datang menghampiri, menawarkan bantuan pada Falisa untuk merapikan kembali tas-tas yang berjatuhan itu ke dalam bagasi.
Setelah selesai, Falisa pun mendudukan diri di kursi, mengenakan sabuk pengaman karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
“Huh, belum juga sampai di Bali, kau sudah membuatku kesal saja,” gerutu Juan yang bisa didengar Falisa dengan jelas.
Namun, Falisa tak mengatakan apa pun lagi, memilih diam karena dia tak ingin kembali beradu mulut dengan Juan yang selalu berhasil menyulut emosinya. Hanya saja kini Falisa berpikir… sekarang saja belum apa-apa pria itu sudah marah-marah, apalagi nanti? Falisa hanya bisa pasrah dan berharap tak akan terjadi hal yang buruk selama 30 harinya bersama sang CEO.