Divisi Keuangan

2420 Words
Falisa seolah lupa cara menggerakan tubuh karena kini dia hanya berdiri mematung dengan tatapan yang sepenuhnya tertuju pada sosok pria di depannya. Sebenarnya pria itu menawan. Memiliki paras tampan di atas rata-rata, tubuh atletis yang menandakan pria itu begitu menjaga kebugaran tubuhnya. Pakaian yang dikenakannya pun terlihat dia bukanlah orang sembarangan, tentu saja karena dia merupakan pemimpin di perusahaan tersebut. Tatapan pria itu pun begitu tajam dan menusuk, tengah menatap Falisa yang masih membeku di tempatnya berdiri. Bagi banyak wanita mungkin ditatap seperti itu oleh seorang Juan Mario Luther merupakan sesuatu yang luar biasa dan menyenangkan. Namun, tidak demikian dengan yang dirasakan Falisa. Wanita malang itu ketakutan bukan main. Dia meneguk ludah berulang kali dan merutuki dalam hati kenapa pula di hari pertama dia bekerja, justru dia langsung dipertemukan dengan sang CEO. “Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menyapanya?” batin Falisa gelisah dan bingung bukan main. “Ah, dia kan pemimpin perusahaan ini, aku harus bersikap sopan. Aku harus menyapanya dan meminta maaf atas kejadian kemarin. Ya, aku harus berani menyapanya lebih dulu.” Falisa sudah mengambil keputusan seperti itu, dia akan memberanikan diri menyapa sang CEO. Mulut Falisa sudah terbuka siap untuk melontarkan kata-kata sapaan penuh basa basi. “Pak Juan, mari, Pak. Meeting-nya akan segera dimulai.” Namun, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah samping kanan Falisa, sosok seorang wanita yang sepertinya sekretaris pribadi Juan baru saja memberitahukan hal tersebut. Detik itu juga Falisa mengatupkan mulutnya kembali terutama ketika dia melihat Juan mulai melangkah keluar dari lift. Falisa refleks bergeser untuk memberi akses pria itu berjalan melewatinya. Begitu sosok Juan dan sekretarisnya sudah menjauh, secepatnya Falisa masuk ke dalam lift dan mengembuskan napas pelan. Tak lupa dia mengusap-usap dadanya yang jujur saja di dalam sana jantungnya sedang berdetak cepat bak roller coaster. “Hah, aku selamat. Ya ampun, tatapannya tajam sekali. Aku sepertinya tidak sanggup jika harus bertemu lagi dengannya nanti,” gumam Falisa pada dirinya sendiri karena di dalam lift itu hanya ada dirinya seorang. “Tapi aku membutuhkan pekerjaan ini. Aku harus bagaimana sekarang? Dari tatapannya tadi, aku yakin dia masih mengingatku dan marah padaku.” Falisa terus mengungkapkan kegelisahan yang dia rasakan hingga tak terasa dia pun tiba di lantai tempat ruang HRD berada. Mencoba mengesampingkan dulu masalahnya dengan sang CEO, Falisa kini mengetuk pintu ruang HRD, dia bertemu dengan Alex … manager HRD yang kemarin mewawancarai dirinya dan memberikan kabar bahwa dia diterima bekerja di perusahaan tersebut. “Mulai hari ini kau akan ditempatkan di divisi keuangan karena di divisi itu yang saat ini sedang membutuhkan orang. Kebetulan pendidikanmu juga sesuai karena kau lulusan ekonomi,” ucap Alex, menjelaskan. Falisa mengangguk karena sejak awal memang posisi itu yang dia incar, menghitung angka memang keahliannya. “Baik, Pak. Aku tidak keberatan,” sahut Falisa dengan senang hati. “Kalau begitu mari ikut aku. Akan aku antarkan ke ruanganmu.” Falisa mengangguk patuh, dia berjalan mengikuti Alex yang berjalan di depannya. Langkah mereka pun terhenti begitu tiba di ruangan divisi keuangan di mana Falisa akan ditempatkan. Di ruangan itu terdapat tiga orang karyawan yang tengah memulai pekerjaan mereka. Mereka menatap Falisa begitu melihat wanita itu masuk ke dalam ruangan. “Perkenalkan namanya Falisa. Dia karyawan baru yang mulai hari ini akan ditempatkan di divisi keuangan bersama kalian,” ucap Alex memberikan penjelasan sekaligus mengenalkan Falisa pada ketiga karyawan tersebut. “Hai, Falisa,” sahut salah satu pria yang berada di sana. Falisa membalas dengan senyuman ramah. “Ya sudah, Fal, kau berkenalan sendiri dengan mereka, ya. Aku harus kembali ke ruanganku.” “Baik, Pak. Terima kasih sudah mengantarku kemari,” sahut Falisa yang merasa terharu karena sang manager HRD memperlakukannya dengan sangat baik. “Tidak masalah. Lagi pula Pak Yuuya sudah menitipkanmu padaku. Sekarang tugasku sudah selesai, selamat bergabung dengan perusahaan kami dan semoga kau betah bekerja di sini, ya.” “Baik, Pak. Terima kasih.” Alex pun pergi meninggalkan ruangan, kini menyisakan Falisa dan ketiga rekan barunya. “Hei, Falisa, kenalkan namaku Maria.” Seorang wanita yang tengah mengenalkan dirinya itu mengulurkan tangan kanan pada Falisa yang langsung dibalas Falisa sehingga kini mereka saling berjabatan tangan. “Senang sekali akhirnya di sini ada wanita, biasanya hanya aku sendirian di sini karena rekanku semuanya pria.” Falisa tersenyum, dia lantas menoleh pada dua pria yang belum mengenalkan diri mereka padanya. “Ah, iya, aku belum mengenalkan diri,” ucap pria yang menjadi orang pertama yang menyapa Falisa saat pertama masuk ke ruangan itu. “Namaku Danish. Aku masih sendirian dalam artian belum menikah dan belum memiliki kekasih.” “Huh, untuk apa kau memberitahu tentang statusmu? Sedang promosi, ya?” Pria yang lain berkomentar sambil tertawa mengejek ucapan Danish. “Ya, anggap saja sedang promosi, siapa tahu kan Falisa tertarik mau mendaftar menjadi kekasihku. Hahaha …” Falisa mendengus disertai senyum merasa rekan-rekannya itu orang-orang yang menyenangkan. “Tapi sepertinya percuma kau promosi karena Falisa sudah memiliki kekasih, benar kan?” Falisa mengedip-ngedipkan mata karena terkejut tebakan Maria tepat adanya. “K-kenapa kau bisa tahu aku sudah memiliki kekasih?” “Jawabannya mudah saja. Pertama, karena kau ini cantik jadi mustahil tidak memiliki kekasih. Dan alasan kedua, karena aku bisa membaca pikiran orang lain. Hahaha …” Maria tertawa terbahak-bahak tampak bangga karena tebakannya tepat. Sedangkan Falisa hanya menyengir, tentu tak percaya rekannya itu bisa membaca pikiran seperti yang dikatakannya. “Huh, bisa saja kau mengarang cerita, padahal kau tahu Falisa sudah punya kekasih karena mendengar ucapan Pak Alex tadi, kan? Dia bilang Pak Yuuya menitipkan Falisa padanya, jadi kau menebak Pak Yuuya itu kekasihnya Falisa. Benar, kan?” “Hah, Dan, kenapa kau bisa tahu?” Maria tampak syok karena kali ini tebakan Danish yang tepat. “Karena sebenarnya aku yang bisa membaca pikiran orang lain, bukan kau. Hahaha …” Falisa terkekeh, merasa rekan-rekannya itu sangat lucu dan senang bercanda gurau. Diam-diam Falisa bersyukur dalam hati karena memiliki rekan-rekan menyenangkan seperti mereka, dia yakin akan betah bekerja di perusahaan tersebut. Falisa yang sedang melamun itu tersentak ketika tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dari belakang dan berkata, “Mereka berdua itu memang sudah gila. Jangan pedulikan mereka apalagi sampai terlalu dekat dengan mereka. Jika kau nekat dekat-dekat dengan mereka, nanti kau bisa ketularan gila. Ngomong-ngomong aku belum mengenalkan diri.” Pria itu mengulurkan tangan kanan pada Falisa. “Kenalkan namaku Joshua, bisa dikatakan aku ini orang paling waras di divisi ini.” “Huh, justru kau yang tidak waras, Josh.” “Teganya menyebut kami gila padahal sendirinya yang sinting. Ayolah, Bro, sesama orang gila jangan saling menghina.” Maria dan Danish dengan serempak mengajukan protes karena tak terima disebut orang gila oleh Joshua. Falisa hanya tersenyum kecil melihat kedekatan ketiga rekannya itu. Rasanya ingin lebih dekat dan mengenal mereka lebih jauh. “Fal, ayo duduk. Memangnya kau tidak pegal? Kau bukan patung selamat datang kan makanya berdiri terus di sana?” sindir Danish. Falisa tak tersinggung sedikit pun, dia masih tersenyum lalu memilih menurut. Dia berjalan menuju meja kosong yang dia perkiraan merupakan meja kerjanya mulai hari ini. Falisa mendudukan diri di kursi, lalu mencoba menyalakan komputer yang ada di atas meja, dia juga memeriksa ada perlengkapan apa saja yang sudah disiapkan di mejanya tersebut. Jujur ini merupakan pengalaman pertamanya bekerja di sebuah perusahaan, dia cukup gugup sekarang. Namun, Falisa tak akan menyerah, dia akan tetap mencoba sesulit apa pun pekerjaannya. Ini semua karena dia tak mungkin lupa orang tuanya di desa sedang membutuhkan bantuannya. Mereka memerlukan banyak uang untuk membayar hutang mereka atau perkebunan mereka akan disita jika tak sanggup membayar. “Fal, jadi benar kau pacarnya Pak Yuuya?” Falisa terkejut bukan main hingga jantungnya nyaris melompat keluar dari rongga d**a karena ulah Maria yang tiba-tiba mengintip dan bertanya demikian. Falisa mengusap-usap dadanya. “Ah, Maria, kau membuatku kaget saja.” Maria menyengir lebar. “Maaf, maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Lagian kau kenapa melamun terus?” “Aku bukan melamun, tapi sedang mencoba komputer ini.” “Komputer itu bagus, tidak ada masalah apa-apa. Sebelum kau, aku yang menggunakan komputer itu.” Danish ikut menimpali. “Daripada membahas komputer, aku lebih tertarik pada pertanyaan Maria yang belum dijawab tadi. Jadi, Fal, mana jawabannya?” Bahkan Joshua pun ikut bergabung dalam pembicaraan. “Ah, iya, benar. Aku juga penasaran. Benar kau kekasihnya Pak Yuuya?” Dirongrong dengan pertanyaan yang sama oleh ketiga rekannya, Falisa merasa kalah dan tak memiliki pilihan selain memberikan jawaban. Akhirnya dia pun menganggukan kepala dan berkata, “Hm, ya. Yuuya memang pacarku.” “Wow, ini kabar mengejutkan. Maria, ternyata pacar pria idamanmu sekarang menjadi rekanmu,” celetuk Danish yang membuat Maria seketika mendelik tajam pada pria itu, sedangkan Falisa kini menatap bingung pada Maria dan Danish. “Kenapa kau bicara begitu? Apa maksudnya?” tanya Falisa meminta penjelasan. “Jangan dengarkan si bodoh itu. Dia melantur.” Maria mencoba menjelaskan, terlihat jelas dia takut Falisa akan salah paham. “Sudahlah, kau jujur saja, Mar. Toh, tidak ada hubungan apa pun antara kau dan Pak Yuuya.” “Diam, Danish. Kau ini kenapa tiba-tiba membahas hal seperti ini? Jangan mencari gara-gara, bisa kan?” Falisa semakin penasaran kaena perdebatan antara Maria dan Danish masih berlanjut. Apalagi ini menyangkut Yuuya, kekasihnya. “Memangnya kenapa, Maria? Bisa jelaskan padaku. Aku tidak akan salah paham, jadi bicara saja. Jangan khawatir.” Maria mengembuskan napas pelan. “Sebenarnya tidak ada apa-apa, Fal. Hanya saja dulu saat baru mulai bekerja di perusahaan ini, Pak Yuuya pernah membantuku. Dia sangat baik karena itu aku mengaguminya. Hanya merasa kagum, tidak lebih dari itu. Lagi pula asal kau tahu aku ini sudah memiliki kekasih.” “Lebih tepatnya kau sedang mengincar seorang pria yang sejak dulu kau cintai tapi dia selalu menolakmu,” timpal Joshua yang sejak tadi terdiam, kini ikut bergabung dalam pembicaraan. “Diam kau! Jangan ikut campur!” Maria berteriak, dia berlari mengejar Joshua yang lari ke sana kemari karena melarikan diri dari Maria yang ingin memukulnya. Falisa tertawa di kursinya melihat tingkah laku rekan kerjanya tersebut, merasa terhibur dan untuk sejenak melupakan semua beban dan masalah yang sedang dia miliki. “Hei, berhenti. Sekarang saatnya bekerja, bukan main kejar-kejaran. Kalau Bu Erika melihat kalian, pasti dia marah besar dan langsung memutasi kalian ke divisi lain.” Mendengar teguran Danish, baik Joshua maupun Maria akhirnya berhenti berlari. “Ya, ya, baiklah. Aku akan kembali ke mejaku,” sahut Joshua yang benar-benar berjalan menuju mejanya, siap melanjutkan pekerjaannya yang tertunda karena kedatangan Falisa. “Aku juga akan kembali bekerja.” Maria ikut menimpali, sama halnya dengan Joshua, dia pun kembali duduk di kursinya. “Fal, ini tugas yang harus kau kerjakan hari ini.” Danish menyerahkan beberapa dokumen yang harus Falisa kerjakan. “Jika kau ada yang tidak paham, jangan ragu bertanya padaku, pada Maria atau Joshua, ya. Kami akan senang hati membantumu.” Falisa mengangguk disertai senyum. “Baik. Terima kasih ya.” “Ok, sama-sama. Aku kembali ke mejaku dulu.” Falisa kini sendirian di mejanya. Suasana ramai di dalam ruangan itu pun seketika menjadi sepi karena keempat orang itu kini sibuk dengan tugas masing-masing. Di hari pertama Falisa memulai bekerja kesan yang dia rasakan adalah senang dan nyaman. Keberadaan ketiga rekan divisinya yang ramah dan menyenangkan itu benar-benar membuat Falisa tak lagi memikirkan tentang masalahnya dengan sang CEO. *** Tiga jam berlalu sejak Falisa duduk manis di mejanya dan mulai mengerjakan tugas yang diberikan Danish padanya tadi. Dia begitu fokus dan sejauh ini dia tak mendapatkan kesulitan apa pun. Semuanya berjalan dengan lancar. “Fal.” Hingga sebuah panggilan terdengar membuat Falisa menoleh pada sumber suara yaitu pada Maria yang mengintip ke mejanya. “Iya, Maria. Kenapa?” “Kau tidak ada kesulitan kan mengerjakan tugas itu?” Falisa menggelengkan kepala. “Tidak. Aku masih bisa mengatasinya. Kalau ada yang tidak aku mengerti, aku pasti akan bertanya padamu.” “Hm, bagus kalau begitu.” Maria memberikan senyuman. “Oh, ya, Fal, apa kau sudah menyapa Bu Erika di ruangannya?” “Ibu Erika?” tanya Falisa dengan kening mengernyit. “Ya. Bu Erika itu manager divisi keuangan.” “Aku belum menyapanya, tadi Pak Alex langsung membawaku ke sini.” “Hm, begitu ya. Harusnya kau menyapa Bu Erika dulu. Saranku lebih baik kau ke sana sekarang. Sapa dan kenalkan dirimu padanya karena kau anggota baru di divisinya mulai hari ini.” Menyadari yang dikatakan Maria memang ada benarnya, Falisa pun bangkit berdiri. Lalu tanpa ragu dia pergi meninggalkan ruangan itu, dia akan menyapa sang manager divisi seperti yang disarankan Maria. Falisa sedang berjalan sendirian lalu tiba-tiba menghentikan langkah karena baru mengingat sesuatu. “Tunggu. Aku lupa tidak menanyakan pada Maria di mana ruangan Bu Erika. Ya ampun bodohnya aku.” Falisa menepuk keningnya sendiri, merutuki kecerobohan yang baru saja dia lakukan. “Kembali ke ruangan tadi ini sudah jauh. Huh, ya sudahlah, aku cari sendiri saja ruangannya.” Falisa pun melanjutkan langkah, setiap melihat daun pintu, dia memeriksa apakah itu pintu ruangan manager divisi keuangan yang dia cari atau bukan. Namun, sayangnya sudah cukup lama dia mencari, tapi ruangan Bu Erika tak juga dia temukan. “Duh, mana ya ruangan Bu Erika,” gumam Falisa, mulai panik karena tak kunjung menemukan ruangan yang dicarinya. Hingga langkahnya kembali terhenti karena melihat sebuah ruangan. “Ah, mungkin itu ruangannya.” Falisa berlari menuju pintu ruangan yang dilihatnya tersebut, berharap benar ruangan itu memang ruangan Bu Erika, sayangnya apa yang diharapkan Falisa tak menjadi kenyataan. Falisa melebarkan mata saat melihat pada daun pintu tertera tulisan ruangan CEO, yang mana artinya ruangan itu merupakan ruangan Juan. “Hah, kenapa aku bisa sampai ke ruangan Pak Juan. Ini gawat, aku harus segera pergi.” Falisa berniat pergi dari sana, tapi urung dia lakukan karena tanpa sengaja ekor matanya menangkap keberadaan sebuah jas di tempat sampah tak jauh dari pintu. “Tunggu, bukankah itu jas Pak Juan yang terkena tumpahan tehku kemarin?” gumam Falisa merasa mengenal jas itu. Penasaran benarkah tebakannya benar, Falisa mengambil jas itu dari tempat sampah. Ketika dia melihat memang ada noda teh pada jas itu, dia pun semakin yakin memang itu jas milik Juan yang terkena tumpahan teh miliknya. “Huh, padahal jasnya masih bagus dan terlihat mahal, kenapa dibuang hanya karena terkena tumpahan teh? Sepertinya orang bernama Juan ini sangat arogan.” Falisa baru saja mengatupkan mulutnya ketika telinganya tiba-tiba mendengar suara pintu yang dibuka. Detik itu juga Falisa mematung di tempat, yakin sekali orang yang membuka pintu itu adalah Juan, sialnya Falisa akan tertangkap basah baru saja memungut jas yang dibuang pria itu. Falisa mati gaya, tak tahu harus bagaimana sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD