Pertemuan Tak Terduga

1924 Words
Hari ini benar-benar hari yang melelahkan untuk Juan. Ada meeting penting yang dia ikuti dan berlangsung cukup lama karena ada banyak pembahasan yang harus didiskusikan, dia juga harus mengadakan pertemuan dengan beberapa rekan bisnis untuk membahas proyek baru mereka. Juan yang kelelahan itu masih berada di ruangannya, baru saja menutup komputer karena baru selesai memeriksa beberapa laporan yang tidak bisa ditunda lagi, harus sekarang juga dia periksa. Dia lantas melirik ke arah jam yang melingkar di pergelengan tangan kirinya. “Ck, sudah jam 10 malam rupanya. Aku pulang ke apartemen saja. Lelah sekali rasanya,” gumamnya pada diri sendiri. Juan sudah mengambil keputusan seperti itu, dia pun bangkit berdiri dari duduk. Berniat membereskan barang-barangnya yang tergeletak di atas meja, Juan urung melakukannya karena melihat ponselnya menyala. Nama Qiana muncul di layar ponsel, rupanya wanita itu tengah meneleponnya. “Ck, mau apa lagi wanita gila itu menghubungiku?” gerutu Juan yang selalu merasa kesal setiap kali berurusan dengan Qiana. Apalagi jika wanita itu sudah mengganggunya, terus menempel padanya walau Juan secara terang-terangan memperlakukannya dengan kasar. Awalnya, Juan berniat mengabaikan telepon itu, tapi karena Qiana tiada henti meneleponnya, habis sudah kesabaran pria itu. Dia pun akhirnya menerima panggilan telepon tersebut. “Ck, apa lagi maumu?” ucap Juan ketus dan sinis begitu telepon tersambung. “Kau ketus sekali padaku, Juan.” Suara Qiana terdengar mengalun di seberang sana. “Ini karena aku muak terus diganggu olehmu. Maumu sebenarnya apa, Qiana?” “Aku ingin kau pulang ke rumah malam ini. Bukankah aku sudah mengatakannya dengan jelas di kantormu tadi siang? Kenapa sampai sekarang kau belum pulang juga? Aku sudah menunggumu di sini.” Juan berdecak, pembahasan ini lagi padahal dengan jelas dia sudah mengatakan tidak bisa pulang ke rumah yang dia tempati dengan Qiana ketika wanita itu datang ke kantornya untuk mengantarkan jas yang baru, tadi siang. “Aku tidak bisa pulang ke rumah, Qiana. Aku lelah sekali karena pekerjaanku baru selesai. Aku ingin istirahat secepatnya karena itu aku akan pulang ke apartemen yang jaraknya lebih dekat dari sini daripada pulang ke rumah.” Suara decakan Qiana pun terdengar mengalun keras di seberang sana. “Tadi siang aku sudah mengatakannya dengan jelas. Kau harus pulang ke rumah malam ini, aku tidak menerima alasan apa pun. Lagi pula, aku sudah menyiapkan banyak makanan spesial untukmu. Cepat ke sini, aku tidak menerima penolakan.” Juan memutar bola mata, muak pada Qiana yang selalu memaksakan kehendaknya seperti ini. “Aku tetap tidak akan pulang ke rumah. Kau makan saja sendiri makanan-makanan itu.” Juan berniat memutus sambungan telepon jika saja dia tak mendengar ancaman mengerikan yang baru saja dilontarkan Qiana padanya. “Jika kau tidak pulang ke rumah sekarang juga, jangan salahkan aku jika aku melaporkan hal ini pada papa. Coba kita lihat akan bagaimana reaksi papa, aku yakin dia akan membatalkan investasi yang dia berikan pada perusahaanmu sehingga perusahaanmu akan mengalami kerugian besar. Hah, lebih tepatnya akan mengalami kebangkrutan.” Juan tersenyum miring, ini ancaman yang sudah berulang kali dia dengar keluar dari mulut wanita yang sudah resmi menjadi tunangannya tersebut. “Kau hanya menggertak, Qiana. Kau pikir aku percaya pada ancamanmu?” “Oh, begitu. Kau sedang menantangku, Juan? Kalau begitu aku akan menghubungi papa sekarang juga. Aku serius, Juan, dan tamatlah riwayat perusahaanmu setelah ini.” Mulai terpengaruh dengan ancaman Qiana yang sepertinya memang serius itu, Juan dengan cepat menyahut, “Ck, ya, ya, baiklah. Aku pulang sekarang. Puas kau?” Sedetik kemudian suara tawa yang terdengar karena Qiana puas memenangkan perdebatan itu. “OK, aku tunggu. Jangan lama ya, Sayang.” Juan langsung memutus sambungan telepon, benar-benar muak menghadapi Qiana jika saja dia tak ingat pada hutang budinya pada ayah Qiana yang sudah sangat berjasa karena menyelamatkan perusahaannya yang nyaris hancur. Suasana hati Juan yang sempat membaik kini buruk seketika. Dengan kasar dia memasukan beberapa benda penting miliknya ke dalam tas. Ketika dia akan mengambil jas yang akan dia kenakan, tanpa sengaja tatapannya tertuju pada jas lain yang juga tergantung di sana. Pada jas yang terkena tumpahan teh akibat kecerobohan wanita asing yang tadi pagi dia temui di pantry. “Huh, padahal jas ini kesayanganku, tapi sekarang aku tidak sudi memakainya lagi. Ini gara-gara wanita itu, aku harus mencaritahu dari divisi mana dia,” gerutu Juan dengan wajah memerah karena kembali kesal setiap mengingat kejadian di pantry. Juan pun mengenakan jasnya dengan cepat seraya membawa jas kotor itu di tangannya. Dia keluar dari ruangan dengan langkah cepat, dan saat tiba di dekat tempat sampah, tanpa ragu dia melempar jas kotor itu ke sana. Serius tak ingin mengenakannya lagi karena itu dia membuangnya. Setelah itu, Juan melangkah pergi. Siap menghadapi Qiana yang pasti akan membuat suasana hatinya semakin buruk sebentar lagi. *** Meskipun meja makan penuh dengan makanan yang tampak menggiurkan, sama sekali tidak membuat Juan terkesan atau mengubah suasana hatinya menjadi baik. Juan sudah tiba di rumah sekitar 30 menit yang lalu, dia sudah membersihkan diri, berganti pakaian dan kini tengah duduk menemani Qiana di meja makan. Wanita itu seperti biasa mengenakan pakaian menerawang dan seksi, mungkin ingin menggoda Juan atau membangkitkan gairah pria itu. Namun, sayangnya Juan tak merasakan gairah apa pun, dia justru malas bukan main duduk satu meja dengan wanita yang selalu membuatnya repot dan jengkel tersebut. “Semua makanan ini aku yang membuatnya,” ucap Qiana dengan bangga. “Kau ingat kan tiga bulan ini aku mengikuti kursus memasak? Dan inilah hasil dari kursus itu, aku sudah pandai memasak sekarang. Bagaimana menurutmu?” tanya wanita itu dengan tatapan berseri-seri, berharap Juan akan terkesan dan memujinya. “Hm, begitu. Baguslah.” Qiana tak terlihat tersinggung meskipun respons Juan terkesan dingin dan cuek. Senyuman selalu terulas di bibir wanita yang sebenarnya memiliki paras cantik itu. “Coba kau cicipi rasanya. Aku yakin kau akan suka karena aku sudah memastikan rasanya lezat.” “Aku tidak lapar,” sahut Juan, dengan kejam mematahkan harapan Qiana yang antusias ingin masakannya dicicipi oleh sang tunangan. “Jangan begitu. Ayolah, cicipi makanannya. Aku ingin tahu pendapatmu tentang masakanku, Juan. Aku ingin tahu apa sudah berhasil memasak makanan yang lezat menurutmu.” Juan berdecak seraya memutar bola mata. “Kenapa kau harus repot-repot melakukan semua ini?” “Karena aku sedang latihan dan mempersiapkan diri agar menjadi istri yang baik dan sempurna untukmu.” Qiana tampak tulus mengatakan itu, tapi alih-alih tersentuh, Juan justru melayangkan tatapan tajam nan menusuk. “Huh, padahal tidak ada gunanya kau melakukan semua ini karena tidak akan mengubah apa pun, fakta aku tidak mencintaimu dan aku yang bersedia bertunangan denganmu karena berhutang budi pada ayahmu tidak bisa dielak atau diubah.” Senyuman yang sejak tadi terulas di bibir Qiana seketika memudar hingga hilang sepenuhnya karena mendengar jawaban kejam dari mulut Juan tersebut. “Kau ini kenapa seperti ini padaku? Memangnya apa kekuranganku sampai kau tidak bisa mencintaiku sampai sekarang padahal kita sudah tinggal serumah, kita juga sudah melakukan banyak hal bersama? Begitu banyak kenangan indah di antara kita berdua, apakah tidak ada satu pun yang bisa membuatmu jatuh cinta padaku? Apa yang harus aku lakukan agar kau bisa mencintaiku, Juan?” Juan mendengus, dia melipat kedua tangannya di depan d**a. “Kau harus paham, Qiana, tidak semua hal bisa dibeli dengan uang atau kekayaan yaitu hati. Sekeras apa pun usahamu untuk mendapatkan hatiku rasanya akan sia-sia karena sejak awal kau bukan tipe wanita idamanku. Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu, Qiana.” Juan bangkit berdiri dari duduk karena dia benar-benar tak berselera untuk makan walau sedikit. Yang dia inginkan sekarang hanyalah tidur di kamarnya, mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan bukan main. “Kau mau ke mana, Juan?!” teriak Qiana yang tentunya tak terima Juan meninggalkannya begitu saja setelah semua kerja kerasnya menyiapkan makanan-makanan itu. “Tidur. Aku lelah sekali.” “Terus makanannya bagaimana? Aku sudah susah payah memasaknya untukmu.” Juan mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Makan saja sendiri, habiskan semua jika kau sanggup.” Lalu pria itu pun kembali melanjutkan langkah tanpa menoleh lagi ke belakang walau teriakan Qiana yang menyuruhnya tetap tinggal, mengalun kencang. Bahkan meski indera pendengarannya mendengar suara piring yang berjatuhan karena Qiana menjatuhkan semua makanan di atas meja yang sudah susah payah dia hidangkan, Juan tetap tak peduli. Pria itu tetap berjalan tegap menuju kamarnya, meninggalkan sang tunangan yang kini meraung sendirian karena mengamuk di ruang makan. *** Falisa mengenakan pakaiannya dengan tergesa-gesa, ini karena dia bangun kesiangan karena terlalu nyenyak tidur semalam. Apartemen yang dia tempati itu sangat nyaman, membuatnya begitu betah tinggal di sana. Namun, beginilah konsekuensi yang dia terima, dia bangun kesiangan dan harus cepat-cepat bersiap berangkat ke kantor karena ini hari pertama dia mulai bekerja. Falisa sudah memastikan penampilannya sempurna setelah mematut dirinya di cermin, dia pun tak membuang waktu lagi, bergegas mengambil tasnya untuk pergi. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan telepon dari Yuuya. Tanpa ragu Falisa mengangkatnya. “Hallo, Sayang,” sapa Falisa ramah. Dia tengah berjalan cepat menuju pintu. “Hallo juga. Kau masih di apartemen atau sudah berangkat?” Ditanya seperti itu, Falisa menggigit bibir bawahnya. “Hm, maaf aku masih di apartemen, tadi aku bangun kesiangan.” Suara kekehan Yuuya pun mengalun. “Issh, kenapa kau malah tertawa?” “Lucu saja. Di hari pertama bekerja biasanya orang lain merasa tegang sampai tak bisa tidur, tapi kau justru tidur nyenyak sampai bangun kesiangan.” “Mau bagaimana lagi, apartemen ini terlalu nyaman. Aku sampai betah di sini.” “Hm, bagus kalau kau betah di sana. Aku senang mendengarnya. Oh, iya. Fal, aku hari ini ada tugas keluar kantor karena harus bertemu dengan klien, kau tidak masalah kan berangkat dan pulang sendirian?” Kedua mata Falisa melebar. “Apa ini artinya kau tidak akan menemaniku di kantor di hari pertama aku bekerja?” “Iya, maaf. Ini tugas mendadak, aku tidak bisa menolaknya. Jangan marah, ya.” Falisa memasang wajah cemberut karena jengkel bukan main. “Fal, jangan marah.” “Ya, ya, aku tidak marah,” sahut Falisa malas. “Ya sudah, aku berangkat dulu ke kantor atau aku akan benar-benar terlambat.” “Ya, tapi kau harus sarapan dulu. Ada roti di lemari, sudah kusiapkan untukmu. Kau harus memakannya.” “Ya, baiklah. Sampai jumpa lagi, Yuuya.” “Sampai jumpa, Sayang.” Sambungan telepon itu pun terputus, awalnya Falisa berniat langsung berangkat setelah selesai mengenakan sepatunya, tapi menyadari perutnya keroncongan, dia pun memilih menuruti perkataan Yuuya. Pergi ke dapur dengan mengenakan sepatunya, Falisa membuka lemari dan benar saja memang ada roti dan beberapa makanan instan yang sudah disiapkan Yuuya di sana. “Ah, pacarku memang baik dan pengertian,” gumam Falisa sambil tersenyum lebar karena merasa beruntung memiliki kekasih seperti Yuuya. Dia mengambil sebungkus roti dan dengan cepat melanjutkan langkahnya meninggalkan apartemen. Falisa berangkat ke kantor dengan menaiki taksi, hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, dia pun tiba di kantor Luther Holdings Group, mengingat letak apartemen dan kantor memang cukup dekat. “Hah, aku harus cepat ke ruangan HRD. Sebentar lagi jam masuk kerja tiba.” Falisa panik bukan main, dia berjalan terburu-buru menuju lift yang akan mengantarnya ke lantai atas di mana ruangan HRD berada. Dengan gelisah Falisa menanti lift itu turun dan tiba di lantai dasar tempat dia berada. Seketika wanita itu mengembuskan napas lega ketika lift akhirnya tiba dan pintunya siap terbuka. Falisa sudah mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam lift begitu pintunya terbuka, tapi sedetik kemudian yang terjadi justru wanita itu yang seolah membeku di tempatnya berdiri. Bola mata Falisa melebar sempurna ketika begitu pintu lift terbuka, sosok sang CEO yang dia temukan. Ya, di hari pertamanya bekerja, Falisa langsung bertemu dengan Juan, orang yang paling tidak ingin dia temui.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD