“Ngga sarapan dulu Mbak?” tanya Bi Inah yang melihat Zara terburu-turu turun dari kamarnya dan langsung mengenakan sepatu.
“Engga Bi, papah udah nunggu di mobil.” Kata Zara singkat.
“Dari kemarin siang kan Mba Zara ngga makan apa-apa. Bibi takut Mba Zara sakit.” Kata Bi Inah dengan nada sedih. Namun, Zara tak menjawab Bi Inah sepatah katapun.
Zara duduk di kursi kecil di depan lemari sepatu, tangannya dengan cepat mengikat tali sepatu sneakernya. Jangankan memikirkan untuk sarapan pagi, untuk minum air putih saja tenggorokannya seperti tidak sanggup menelannya. Semalaman Ia tidak bisa tidur, tentu saja memikirkan bagaimana nasib Ibunya. Matanya merah dan bengkak akibat terlalu banyak menangis sambil memandangi bingkai foto dirinya bersama Ibunya yang Ia letakkan di meja belajarnya. Malam itu Ia berharap hari segera pagi agar Ia cepat kembali ke bandara untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaan Ibunya dan tentu saja dengan kondisi siang hari akan lebih memudahkan pencarian.
“Zara berangkat ya Bi…” kata Zara sambil setengah berlari ke arah mobil.
“Hati-hati ya Mba…” ucap Bi Inah sambil membuntuti Zara sampai ke depan rumah.
Pukul 08.00 Zara dan Herman sudah kembali berada di ruang tunggu Bandara. Di sana sudah begitu banyak orang, bahkan ada yang rela tidak pulang ke rumah demi memantau perkembangan keberadaan keluarga mereka.
Sampai di sana Herman langsung menanyakan ke bagian informasi mengenai kabar pesawat yang ditumpangi Diana, tapi belum juga mendapat kepastian. Sejujurnya Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi pada Istrinya itu, seperti apa yang diungkapkannya kepada Zara bahwa jodoh, rezeki, dan kematian sudah ditetapkan sejak kita masih dalam kandungan dan tidak ada satu pun yang bisa menolaknya. Namun Herman tetap berharap ada keajaiban yang dapat mengembalikan Diana dalam keadaan sehat walafiat seperti terakhir kali mereka berpisah. Ia pun pernah mendengar seorang Ustadz memberikan ceramahnya bahwa tidak ada yang bisa mengubah takdir kecuali doa.
Herman pun tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan Diana. Ia tak bisa membayangkan bagaimana nasib Zara tanpa kehadiran Ibunya. Ada genangan air di pelupuk matanya. Lagi-lagi Ia berusaha menahan kesedihannya. Ia harus kuat dan tidak ingin terlihat rapuh di depan putri kesayangannya itu agar Zara pun tidak terlalu hanyut dalam kesedihan.
Herman mendekat ke arah Zara dan duduk di sampingnya.
“Gimana Pah?” tanya Zara dengan wajah penuh harap. Herman hanya menghembuskan napasnya kasar sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tanpa menjawab pertanyaannya pun Zara sudah tau jawabannya. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Sini sayang…” kata Herman sambil merangkul pundak Zara. Zara merebahkan tubuhnya ke samping dan menyenderkan kepalanya di bahu Ayahnya. Air mata Zara tak bisa dibendung lagi, dengan lembut Herman mengelus kepala Zara untuk menenangkannya.
“Kamu harus kuat ya sayang apapun yang akan terjadi sama Mamah… ya?” kata Herman pelan sambil matanya menerawang memandang masa depan yang mungkin akan terasa berat tanpa kehadiran Diana jika hal yang Ia takutkan benar-benar terjadi.
Zara mengangguk perlahan. Pandangannya mengarah ke seorang Ibu muda yang sedang menggendong anak balitanya. Tampak Ia begitu sedih dan khawatir, tak henti-hentinya tangannya menghapus air mata yang terus menetes di pipinya sambil menenangkan anak balitanya yang menangis dalam gendongannya. Mungkin yang berada di dalam pesawat itu adalah Ayah si balita itu. Sudah pasti hatinya bemar-benar hancur dan beban yang dirasakan pun jauh lebih berat.
Tepat pukul 12.30, dari pihak management maskapai menerima informasi di lapangan bahwa telah ditemukan beberapa puing yang diduga bangkai pesawat di sekitar perairan dekat Bengkulu. Setelah diteliti lebih dalam ternyata benar bahwa puing tersebut merupakan puing pesawat yang hilang kontak sekitar tiga puluh menit setelah lepas landas dan sempat keluar jalur. Pesawat itulah yang ditumpangi Diana menuju ke Medan.
Informasi tersebut resmi diumumkan oleh kepala Basarnas saat itu juga. Pesawat yang mengangkut 97 orang yang terdiri dari enam kru aktif, 87 penumpang dewasa, tiga anak-anak, dan satu bayi. Seketika suasana ruang tunggu bandara histeris. Harapan dari pihak keluarga sudah benar-benar pupus. Rasanya sangat mustahil jika penumpang di dalamnya bisa selamat.
“Paaahhh… Mamah Pahhhh…” tangis Zara kembali pecah. Hatinya seperti teriris-iris, sangat pedih. Semangat hidupnya tiba-tiba hilang bersamaan dengan hilangnya pesawat yang ditumpangi Ibunya.
Herman pun tak kuasa menahan tangisnya. Kesedihan dan air mata yang selama ini Ia tahan akhirnya tak bisa dibendung lagi. Ia benar-benar kehilangan Istri tercintanya yang selama dua puluh satu tahun menemani hidupnya. Herman mempererat pelukannya. Sekarang hanya Zara yang Ia miliki dan Ia tidak mau kehilangan Zara seperti Ia kehilangan Diana. Ia pun tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya bisa terdiam sambil memeluk putri semata wayangnya itu, sesekali dikecupnya rambut Zara untuk menunjukkan betapa Ia sangat menyayangi Zara.
Pihak maskapai termasuk beberapa pramugari yang tidak sedang bertugas berusaha menenangkan keluarga korban. Bahkan beberapa dari mereka ada yang pingsan karena terlalu syok menerima kabar tersebut dan langsung dibawa ke pos kesehatan bandara. Ada pula yang meluapkan emosinya kepada pihak maskapai karena menganggap pesawat tersebut tidak layak terbang.
Pencarian korban mulai dilakukan. Operasi SAR gabungan yang terdiri dari basarnas, TNI, Polri dan kementerian/lembaga mulai dikerahkan, dan melibatkan 4.000 personel, 60 kapal laut, 10 pesawat, dan tim SAR gabungan. Semua berusaha dengan keras untuk dapat menemukan para korban. Keluarga korban sangat berharap agar keluarganya bisa ditemukan walaupun hanya jasadnya saja.
Sementara itu, proses identifikasi pun mulai dilakukan dengan mengumpulkan data antemorten dari keluarga korban yang melibatkan beberapa pihak yaitu ahli dari postmortem dan ahli forensik, ontologi, forensik, toksikologi forensik, dan lain-lain.
“Kamu yang kuat ya sayang… semoga jenazah Mamah cepat ditemukan dalam keadaan utuh.” Kata Herman dengan suara parau. Paling tidak mereka bisa memakamkan Diana dengan layak.
“Iya Pah…” jawab Zara yang masih dalam pelukan Herman.
Sore hari Herman mengajak Zara untuk pulang. Mereka memutuskan untuk menunggu kabar selanjutnya dari rumah.
Selama perjalanan menuju ke rumah, Herman dan Zara membisu tanpa saling bicara, keduanya tenggelam dalam lamunannya masing-masing, sesekali air mata mereka jatuh ke pipi karena masih belum percaya dan merelakan atas apa yang terjadi, terutama Zara. Sekarang Ia menyandang status baru sebagai anak piatu, sungguh tak pernah terbayangkan sebelumnya Ibunya akan pergi secepat ini apalagi dengan cara seperti ini.
Akhirnya mereka sampai di halaman rumah. Dengan langkah lunglai Zara turun dari mobil dan menuju ke arah pintu samping. Di depan pintu Bi Inah sudah menyambutnya. Bi Inah pun begitu cemas menunggu kepulangan mereka hingga sebentar-sebentar Ia menengok ke halaman rumah.
“Yang sabar ya Mba…” Mata Bi Inah terlihat sembab. Rupanya Bi Inah sudah mendengar kabar mengenai jatuhnya pesawat yang Diana tumpangi dari siaran televisi.
“Biii…” Zara menjatuhkan pelukan ke arah Bi Inah dan disambut hangat oleh Bi Inah sambil mengelus punggung Zara untuk menenangkannya. Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah sejak kemarin.
Malam itu juga, Herman dan Ayu mengadakan doa bersama di kediamannya dengan mengundang tetangga sekitar. Mereka berharap jenazah Diana cepat ditemukan dengan segera dan dosa-dosa Almarhumah diampuni oleh Allah SWT. Beberapa tetangga sudah hadir untuk memberikan empatinya, doa pun tak lupa mereka panjatkan untuk Almarhumah. Terlihat Zara dengan khusyuk duduk di atas karpet bersama tetangga yang hadir sambil membaca Al-quran. Dengan baju serba hitam dan kerudung warna senada, beberapa kali Zara terlihat tak bisa membendung air matanya. Bi Inah dengan setia duduk di samping Zara untuk menamani dan menguatkannya.
***
Setelah melakukan pencarian hampir 12 jam akhirnya mereka berhasil mengevakuasi 125 kantong jenazah yang berisi bagian tubuh korban dan serpihan kecil pesawat.
Dari beberapa kantong jenazah yang ditemukan akhirnya Herman dan Zara mendapatkan kabar bahwa jenazah Diana telah teridentifikasi berdasarkan kecocokan sidik jari dan data KTP elektronik serta pakaian yang melekat di tubuhnya, walaupun dalam keadaan tidak utuh. Sore itu juga jenazah Diana diantar menggunakan ambulance menuju kediamannya dan sudah terbungkus di dalam peti jenazah. Apapun itu, mereka bersyukur karena jenazah Diana bisa dengan cepat teridentifikasi. Karena jika harus menggunakan DNA akan membutuhkan waktu lebih lama.
Bendera kuning sudah terpasang di depan pintu gerbang rumah mereka. Beberapa keluarga pun sudah datang dari Medan. Semua yang hadir tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Tanpa menunggu waktu lama, jenazah Diana pun segera dimakamkan sebelum malam tiba. Isak tangis menyelimuti suasana pemakaman, terlebih saat peti jenazah dimasukkan ke dalam liang lahat. Zara terlihat begitu histeris saat Herman melantunkan azan sebelum akhirnya liang lahat ditutup kembali dengan tanah.
Keluarga berusaha menenangkan Zara yang masih berurai air mata di atas gundukan tanah dengan batu nisan yang bertuliskan Diana Puspita. Zara menaburkan bunga di atasnya sambil membayangkan wajah Ibunya yang tersenyum di surga. Ia pernah mendengar bahwa umat Rasulullah yang meninggal karena tenggelam atau terlempar dari kendaraan termasuk dalam golongan orang yang mati syahid.
Satu per satu pelayat mulai meninggalkan pemakaman. Sebentar lagi waktu sudah hampir maghrib, keluarga pun mengajak Zara untuk pulang.
“Udah yuk Zara… udah mau maghrib.” Ajak Rena sambil memegang lengan Zara dan mengajaknya berdiri untuk pulang. Rena adalah adik kandung Diana yang datang dari Medan. Ia pun sangat terpukul dengan kepergian kakaknya itu. Sementara Ayah Diana tidak bisa datang ke Jakarta untuk menghadiri pemakaman putrinya karena kondisinya yang masih sakit.
Zara hanya mengangguk menuruti perkataan Tantenya.