2. Kehilangan

1767 Words
Zara Pagi-pagi sekali Zara sudah bangun sebelum jam weker berbunyi. Jam dinding masih menunjukkan pukul 04.00 wib. Zara berjalan menuju kamar orangtuanya, ia ingin berbincang dulu sebelum Ibunya pergi ke Medan pagi ini. Zara mengetuk pintu kamar, tapi tak ada jawaban. Mungkin sedang sholat, pikir Zara. Karena Zara tau betul setiap hari Diana selalu bangun sebelum adzan subuh dan menjalankan sholat tahajud. “Mah…Pah…” panggil zara masih di depan pintu kamar untuk memastikan keberadaan orangtuanya. “Iya sayang…mamah di sini.” Terdengar Diana menyahut dengan sedikit keras dari arah dapur, rupanya Diana sudah keluar dari kamarnya. Kemudian Zara berjalan menghampiri ibunya ke dapur. Terlihat Diana dan Bi Inah sudah asik memasak dengan dua tungku kompor yang sudah menyala dan meja dapur yang sedikit berantakan. Seperti sudah menjadi tradisi saat pulang kampung pasti Diana selalu memasak Ayam Taliwang untuk dibawanya ke Medan. Ayam Taliwang buatan Diana memang sudah dikenal sangat lezat di keluarga besarnya, tak kalah dengan Ayam Taliwang dari daerah asalnya. Walaupun kepergiannya terlalu mendadak, Diana masih menyempatkan untuk memasak karena ayahnya begitu menyukai Ayam Taliwang buatan Diana, Diana berharap agar ayahnya cepat sehat kembali. “Nah gitu dong, anak gadis bangunnya harus pagi, sini bantu mamah biar kamu nanti bisa bikin sendiri.” Ucap Diana ketika melihat Zara menghampirinya. “Ya kan ada mamah, kenapa Zara harus bikin sendiri. Ya ngga Bi?” Kata Zara mencari pembenaran pada Bi Inah sambil bergelayut manja di pundak Diana. Zara melingkarkan tanggannya di pinggang Diana dan mencium pipi ibunya itu. “Kan namanya belajar mbak Zara, biar kaya resep turun temurun gitu lho mbak… kaya orang bikin restoran-restoran gitu.” Jawab Bi Inah polos. “Bibi nih bisa aja…kalo gitu bibi aja yang belajar, trus nanti bibi kerja di restoran Zara.” Usul Zara. Bibi hanya tersenyum dan menganggap anak majikannya hanya bercanda. “Jangan lama-lama ya mah disana. Zara pasti kesepian.” Rengek Zara. “Iyaa…kamu kaya ngga pernah ditinggal mamah aja.” Ucap Diana sambil mencubit pipi putrinya gemas. Ayam Taliwang dan nasi goreng sudah matang. Bi Inah membantu Diana memasukkan Ayam Taliwang ke dalam kotak tupperware besar untuk dibawa ke Medan. Disisakannya beberapa potong ayam untuk sarapan pagi, lalu diletakkan di meja makan bersama nasi goreng semangkuk besar. Setelah itu Diana bersiap di kamarnya. Herman yang sedari tadi sibuk dengan mobilnya di garasi lalu masuk menuju ke meja makan, seolah mendapat signal kalo sarapan sudah siap dan langsung duduk di kursi makan. “Ibu sama Zara dimana Bi?” tanya Herman pada Bi Inah yang sedang mempersiapkan peralatan makan. “Sedang siap-siap sepertinya di kamar pak, kata ibu, bapak sarapan dulu aja nanti ibu sama Zara menyusul.” Jawab Bi Inah menyampaikan pesan dari Diana. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30, waktunya Diana berangkat ke Bandara dengan diantar Zara dan Herman. Herman memacu mobil Toyota Fortunernya ke arah Jakarta Barat. Jalanan begitu lengang karena hari ini adalah hari sabtu, sekolah, kampus, dan beberapa perkantoran libur, sehingga hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai ke Bandara. Sampai di Bandara, Herman dan Zara mengantar Diana hanya sampai di lobi terminal. Herman membantu menurunkan koper dan tote bag yang akan dibawa, lalu Diana berpamitan sambil memeluk keduanya. “Hati-hati ya Mah.” Pesan Zara. “Iya, kamu juga ya sayang.” Ucap Diana sambil mencium Zara. Mereka pun berpisah. Zara dan Herman kembali pulang ke rumah dan melakukan aktifitas seperti biasa. Herman berangkat ke kantor dan kembali melanjutkan meeting dengan beberapa investor asing yang tertarik dengan proyeknya kemarin, sedangkan Zara memilih menghabiskan waktu liburnya untuk menyelesaikan beberapa revisi pada skripsinya. Tidak terasa sudah satu jam Zara duduk di depan laptopnya dengan buku-buku berantakan di atas meja. Matanya mulai terasa lelah dan sedikit mengantuk karena tidur terlalu malam dan bangun lebih pagi dari biasanya. Zara beranjak dari meja belajarnya dan berbaring di tempat tidur. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas bantal. Zara mengirim pesan singkat kepada ibunya. Assalamualaikum mah, udah sampe belum mah? Ceklis satu. Mungkin mamah belum sempat mengaktifkan ponselnya, pikir Zara. Zara memejamkan mata, berharap kantuknya segera pergi agar bisa melanjutkan mengerjakan revisi skripsinya. *** Bi Inah sedang membersihkan pajangan di lemari kaca ruang keluarga ketika tiba-tiba telepon rumah berdering. Kring…! kring…! kring…! “Assalamualaikum…” Bi Inah mengangkat telepon dan memberi salam, tangan kirinya masih memegang kemoceng. “Waalaikumsalam. Selamat pagi bu. Maaf apa benar ini kediaman Ibu Diana Puspita?” tanya seseorang di ujung telepon. “Iya betul, darimana ya? Tapi maaf Ibu Diananya sedang tidak dirumah Mbak.” Bi Inah menjelaskan. “Maaf Bu, dengan siapa saya berbicara? Bisa saya bicara dengan anggota keluarganya?” tanya wanita di ujung telepon. “Sebentar ya Mbak, saya panggilkan Mbak Zara, putrinya.” Kata Bi Inah. Bi Inah berjalan tergesa-gesa menaiki tangga menuju ke kamar Zara. Tok! Tok! “Mba Zara, ada telefon, tapi Bibi lupa tanya dari siapa.” Kata Bibi di depan pintu kamar Zara yang dibiarkannya tetap terbuka. Suara bibi mengagetkan Zara yang hampir terlelap. “Iya Bi.” Zara membuka matanya dan menoleh ke arah pintu, lalu berdiri dan menuju pesawat telepon. “Hallo? Maaf darimana ya?” tanya Zara setelah mengangkat gagang telepon. “Maaf, saya bicara dengan putri dari Ibu Diana Puspita?” tanya wanita di seberang telepon. “Iya betul, saya Zara putrinya.” jawab Zara. “Mohon maaf Mba Zara, kami dari bagian management maskapai menginformasikan bahwa pesawat yang Ibu Diana tumpangi sekitar satu jam yang lalu kehilangan kontak dengan pihak air traffic control (ATC) kami. Namun kami tetap berupaya untuk mencari informasi keberadaan pesawat. Mudah-mudahan cepat ditemukan dan seluruh penumpang dan awak kabin selamat. Kami harap kepada pihak keluarga untuk tetap tenang, kami akan selalu meng-update tentang informasi yang kami terima.” kata pihak maskapai menjelaskan. Deg! Bagai tersambar petir di siang bolong, d**a Zara seolah berhenti berdetak, tangannya gemetar, kakinya seperti tak punya tenaga untuk menopang berat badannya. Seketika badan Zara roboh ke lantai, gagang telefon yang dipegangnya terjatuh dan menimbulkan bunyi yang cukup keras, membuat Bi Inah kaget dan menoleh ke arah Zara. “MasyaAllah Mbak… Mbak Zara kenapa mbak?” teriak Bi Inah panik sambil menghampiri Zara. “Mamah Biii…” seketika tangis Zara pecah, dadanya terasa sesak, matanya semakin memerah. Zara tak kuasa melanjutkan kata-katanya, seolah ada sesuatu yang menghalangi di kerongkongnnya. Bi Inah berlari ke dapur dan mengambil segelas air putih dan meminumkannya kepada Zara. “Sabar mbak…pelan-pelan aja.” Kata Bi Inah menenangkan sambil mengelus punggung zara. “Pesawat yang mamah tumpangi hilang Bi…” kata Zara melanjutkan ceritanya ketika sudah jauh lebih tenang. “Astagfirulahalazim ya Allah… yang sabar ya Mbak. Kita berdoa semoga Ibu baik-baik saja. Duh gusti paringono keselametan untuk Bu Diana.” Bi Inah berdoa sambil matanya berkaca-kaca. Bi Inah memeluk Zara sambil terus menenangkannya. Zara meraih gagang telepon dan segera menghubungi ayahnya. Tapi nihil, tidak ada jawaban, karena ketika meeting Herman selalu menonaktifkan nada dering ponselnya. “Ngga diangkat Bi…” Zara mulai panik, Ia bingung apa yang harus dilakukan, pikirannya kalut, jantungnya berdetak begitu cepat. Zara mencoba menghubungi ayahnya kembali, tapi tetap tak ada jawaban. Zara bergegas naik ke kamarnya di lantai dua, berganti pakaian dan memesan taksi lewat telepon genggamnya. “Bi, Zara ke bandara ya Bi, doakan Mamah ngga kenapa-napa ya Bi.” Kata Zara berusaha menahan air matanya walau sudah tak terbendung lagi, begitu juga dengan Bi Inah. “Mau Bibi temani mbak?” tanya Bi Inah karena sangat mengkhawatirkan Zara. Tak sedetik pun Ia ingin meninggalkan putri majikannya itu. “Ngga usah Bi, Bibi tunggu di rumah aja siapa tau ada yang menghubungi ke telefon rumah. Kalo ada apa-apa Bibi telfon Zara ya.” Pesan Zara pada Bi Inah. Zara menjatuhkan badannya ke sofa merah di ruang keluarga sambil menunggu taksi. Ia mencoba menghubungi Ayahnya kembali beberapa kali, tetap tak ada jawaban, kemudian ia mengirimkan pesan singkat. Pah, tadi pihak maskapai telfon, katanya pesawat yang ditumpangi Mamah hilang kontak. Sekarang Zara lagi nunggu taksi buat ke bandara. Zara tunggu disana ya pah. Tin...! Tin…! Sebuah mobil toyota vios limo warna biru berhenti di depan rumah. “Taksinya udah dateng mbak.” kata Bi Inah setelah melihat ke arah jendela rumah. “Zara berangkat ya Bi.” Zara keluar rumah dan bergegas naik ke dalam taksi menuju bandara. “Hati-hati mbak.” Ucap Bi Inah. “Agak cepet ya pak.” pesan Zara kepada sopir ketika taksi mulai melaju. “Baik mbak.” jawab sopir sambil memacu taksinya dengan lebih cepat. Entah apa yang dipikirkan sopir taksi itu melihat Zara terus gelisah dan menangis selama perjalanan ke bandara, tapi ia tak berani untuk bertanya. Sesampainya di bandara, Zara mengambil uang dari dalam dompetnya dan memberikannya pada sopir taksi itu, belum sempat si sopir memberikan uang kembalian, Zara sudah berlari keluar memasuki terminal bandara dan langsung menuju bagian informasi. Di ruang tunggu sudah begitu banyak orang yang menunggu kepastian tentang nasib keluarga mereka. Kecemasan, ketakutan, dan air mata seolah lebur jadi satu di dalam ruangan tersebut. Zara mengambil tempat duduk di pojok bagian belakang sambil trus berusaha menghubungi ayahnya. Zara juga sudah berkomunikasi dengan saudaranya di Medan mengenai keadaan ibunya. Keluarga di Medan pun panik dan terus mencari informasi. *** Di kantor, Herman baru saja selesai meeting dan kembali ke ruangannya. Ia mengambil telepon genggam dari kantong kemejanya. Ada dua panggilan tak terjawab dari telepon rumah, sepuluh panggilan tak terjawab dari “Lovely Zara” dan satu pesan diterima. Herman membuka pesan singkat itu, seketika jantungnya berdegup kencang. Herman berusaha menenangkan dirinya dan terus beristighfar. Tanpa pikir panjang Herman langsung meluncur ke bandara menyusul Zara. Dia begitu khawatir dengan keadaan putri kesayangannya itu. Dengan kecepatan mobil 100km/jam melewati jalan tol akhirnya Herman sampai di bandara dan segera menemui Zara. Mereka saling berpelukan dengan pikiran berkecamuk di hati masing-masing, tangis Zara pecah di pelukan ayahnya. Sedangkan Herman berusaha tegar, menenangkan putrinya sambil mengusap punggungnya, Ia berusaha menahan air matanya. “Sabar ya nak, banyak-banyak berdoa untuk Mamah… kita pasrahkan sama yang diatas. Jodoh, rejeki, maut sudah diatur sama yang di Atas.” Herman berusaha menenangkan putrinya. Walaupun entah apa yang dirasakan Herman dalam hatinya. Herman bertanya di bagian informasi, tetapi belum ada kepastian apapun. Mereka pun akhirnya kembali menunggu. Hingga malam hari para keluarga penumpang tak kunjung mendapatkan kepastian. Dari pihak management mengatakan bahwa pihaknya masih terus melakukan pencarian dan pendalaman laporan hilangnya pesawat, mereka meyakinkan bahwa tidak akan ada yang ditutup-tutupi tentang kasus ini. Herman dan Zahra pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah dan kembali esok hari, berharap ada titik terang keberadaan Diana dan penumpang yang lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD