7. Karaoke Plus-plus

1562 Words
Setelah sholat Subuh, Zara menuju ke kamar Ayahnya karena semalam mereka tidak sempat bertemu. Setiap malam Zara selalu menunggu Ayahnya pulang di ruang keluarga sambil menonton televisi, tapi semalam Ia tak kuat menahan kantuknya hingga Ia memilih untuk tidur di kamarnya sebelum Ayahnya pulang. Tok! Tok! “Paaahhh…” panggil Zara pelan. Tak ada jawaban dari dalam. Zara berpikir mungkin Ayahnya masih tidur karena pulang larut malam. Ia pun mencari Bi Inah yang pagi-pagi begini sudah pasti sedang memasak di dapur. “Bi, semalem Papah pulang jam berapa sih Bi?” tanya Zara pada Bi Inah yang sedang menggoreng ikan. Ia mengambil air minum lalu duduk di kursi bar. “Mmmm… semalem Bapak ngga pulang Mba…” jawab Bi Inah takut-takut. “Hah? Apa Bi?” tanya Zara lagi. Zara takut Ia salah mendengar. “Setau Bibi sih Bapak ngga pulang Mba. Bibi juga ngga ngecek ke kamar.” Kata Bi Inah pelan. “Masa sih Bi…? Tanya Zara seolah tidak percaya yang dikatakan Bi Inah. Selama ini, jangankan tak pulang, pulang selepas Maghrib pun Ayahnya tidak pernah. Zara beranjak dari kursinya lalu menuju ke kamar Ayahnya. Ia membuka handle pintu, ternyata tidak dikunci. “Paaahh…” panggil Zara sambil masuk ke dalam kamar. Ia cek juga di dalam kamar mandi, ternyata Ayahnya memang tidak ada di kamar. Zara pun berlari menuju ke garasi untuk melihat mobil Ayahnya… dan benar, Ayahnya memang tidak pulang semalam. Ayu mengerutkan dahinya. Papah kemana?, batin Zara. Tiba-tiba Ia merasa takut terjadi sesuatu dengan Ayahnya karena saat ini hanya tinggal Ayahnyalah keluarga yang Ia miliki. Zara pun langsung berlari menuju ke kamarnya di lantai dua. Ia raih telepon genggamnya di atas tempat tidur, dengan cepat Ia langsung menelepon Ayahnya. Panggilan pertama tidak ada jawaban, lalu Zara kembali menekan tombol hijau di layar teleponnya. “Assalamualaikum…” Herman akhirnya mengangkat telepon dari putrinya. Suaranya terdengar berat dan parau. “Waalaikumsalam… Papah dimana?” tanya Zara panik. “Papah semalem ngga pulang?” “Iya Zara… maafin Papah ya. Papah ketiduran di kantor. Papah lupa ngga ngabarin kamu. Maaf ya sayang…” jawab Herman. “Papah ngga papa kan…?” tanya Zara lagi. Zara merasa Ayahnya tidak seperti biasanya, suaranya pun terdengar berbeda. Tapi Zara tetap berpikir positif, mungkin karena kelelahan sehingga suaranya sedikit berubah atau mungkin Ayahnya baru saja bangun ketika Ia meneleponnya. “Iya ngga papa sayang… Papah lanjut kerja ya sayang. Nanti Papah usahakan pulang sore.” Kata Herman. “Ya udah… Papah jaga kesehatan ya…. Jangan terlalu cape.” Pesan Zara. “Iyaa…. Ya udah dulu ya sayang. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam…” Zara memutus sambungan teleponnya, lalu kembali ke dapur menemui Bi Inah. “Bii…” “Ya Mba?” “Zara kasian deh sama Papah… Biasanya kan ada Mamah yang bantuin Papah. Nah sekarang Papah mesti kerja sendirian, sering lembur, trus sekarang sampe ketiduran di kantor.” Kata Zara dengan nada suara sedih. Mata Bi Inah memandang sayu ke arah Zara. Ia tak tega melihat Zara yang kini seolah tak hanya kehilangan sosok Ibunya, tapi juga Ayahnya. Ia pun tak tega memberitahukan kepada Zara bahwa kemarin siang Ayahnya sempat pulang ke rumah. Ia pun sangat terkejut ketika membuka pintu untuk majikannya itu. Saat majikannya itu melewatinya tercium bau alkohol yang begitu menyengat, hampir membuat Bi Inah ingin memuntahkan semua isi perutnya. Walaupun tak pernah sekalipun mencicipinya, Bi Inah tahu betul aromanya. Siang itu saat Zara masih di kampus, Herman hanya pulang sebentar, Ia hanya masuk ke kamarnya kemudian pergi lagi, Bi Inah pun tak berani bertanya. Bi Inah berharap ini hanya kekhilafan yang Pak Herman lakukan dan tidak akan dilakukannya lagi, Ia kasihan pada Zara jika itu akan menjadi kebiasaan Ayahnya. Karena setau Bi Inah alkohol bisa membuat seseorang merasa kecanduan. Sekali Ia merasakan efek kenikmatan yang ditimbulkan, Ia akan kembali mengkonsumsinya. “Zara jadi pengen cepet lulus kuliah Bi… biar bisa bantu Papah di kantor.” Kata Zara sambil pandangannya terus menerawang. “Iya Mba… Bibi doain semoga Mba Zara cepat lulus… pokoknya Bibi berharap Mba Zara selalu bahagia.” Kata Bi Inah. “Aaamiin… Makasih Bi…” Maafin Bibi ya Mba…, batin Bi Inah. *** “Selamat pagi Pak…” sapa Hasan seperti biasa sambil membukakan pintu ketika melihat Pak Herman datang. Herman hanya mengangguk tanpa berkata sepatah katapun. Ia langsung naik ke lantai dua kantornya. Hasan melihat dengan jelas, bagaimana penampilan Bos nya pagi ini, wajahnya begitu lusuh, terlihat lelah, dan seperti mengalami tekanan. Belum lagi aroma alkohol yang tercium dari tubuhnya. Saat Herman sudah menghilang menuju ke lantai dua, Hasan buru-buru mendekati Hellena di mejanya. Hellena adalah Customer Service di kantor Herman. “Mba Hell… liat Pak Herman kan tadi?” “Iya, kenapa emang Mas?” tanya Hellena yang tadi tidak begitu memperhatikan karena sedang menerima telepon. “Kayaknya Pak Herman mabuk deh Mba…” kata Hasan sambil berbisik. Kening Hellena berkerut. “Masa sih Mas? Ngarang aja nih Mas Hasan. Kalo mabuk ngapain masuk kantor?” tanya Hellena seolah tidak percaya karena Pak Herman yang Ia kenal tidak seperti itu. Tapi beberapa hari ini memang Hellena melihat wajah Pak Herman tidak secerah dulu saat masih ada Bu Diana. “Hmmm… beneran Mba, tadi waktu Pak Herman lewat aja masih bau alkohol.” Kata Hasan meyakinkan. “Ya emang sih, sejak Bu Diana ngga ada, Pak Herman jadi beda. Ya udah lah, bukan urusan kita Mas.” “Iya sih Mba… cuma aku kasian aja gitu Mba liatnya…” kata Hasan yang begitu berempati dengan kejadian yang menimpa keluarga Bosnya itu. Hasan adalah satu diantara sekian banyak orang yang merasakan kebaikan Pak Herman dan Bu Diana selama ini. *** Sampai di ruang kerjanya Herman langsung masuk ke toilet di dalam ruangannya, Ia mencuci muka di wastafel. Bajunya terlihat kusut karena sudah sejak kemarin Ia pakai. Namun sepertinya Ia tidak memperdulikannya. Penampilannya hari ini sangat jauh berbeda dengan penampilannya saat Diana masih ada. Setiap hari Dianalah yang selalu mengurus keperluannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Walaupun ada Bi Inah, untuk urusan kebutuhan anak dan suami, Diana selalu melakukannya sendiri termasuk memasak untuk makanan mereka. Di mata Herman, Diana adalah sosok yang sangat sempurna sebagai seorang Istri dan seorang Ibu. Kehilangan Diana adalah mimpi terburuk yang pernah Ia alami selama hidupnya. Herman benar-benar terpuruk, Ia kehilangan semangat hidup hingga memicu perubahan sikapnya. Ia lupa bahwa Ia juga memiliki Zara, anak semata wayangnya yang butuh kasih sayang, perhatian, dan kekuatan. Herman duduk di kursi putarnya dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Kepalanya masih terasa berat karena efek minuman keras yang diminumnya, juga karena waktu tidurnya yang tidak teratur akhir-akhir ini. Ndreeetttt…! Ndreeettt…! Tiba-tiba telepon genggam Herman berbunyi, Ia meraihnya dari meja kerja. “Hallo…?” “Dimana lo Man? Buru-buru amat udah cabut.” Kata seseorang di ujung telepon. “Gue kan mesti kerja…” “Jangan lupa nanti malem kita ngumpul lagi ya…” “Duh, sorry Ndra hari ini gue udah janji sama anak gue bakal pulang cepet. Kasian nanti Dia nungguin.” “Halah… kaya ngga pernah ketemu aja.” “Gue udah bilang gue ngga bisa!” nada suara Herman meninggi. Bagaimana pun juga Zara masih menjadi prioritasnya “Oh, Oke-oke… sorry Man. Ya udah, kalo lo butuh sesuatu lo bisa kabarin gue aja.” Kata Hendra sambil menutup sambungan teleponnya. Hendra adalah teman SMA nya sewaktu di Medan dulu. Seorang anak pejabat yang terkenal badung dan berperilaku kurang baik. Ia hijrah ke Jakarta setelah menikah dan membangun bisnis karaoke plus-plus di beberapa tempat di daerah Jakarta. Pertemuannya yang tidak disengaja beberapa bulan lalu membuat mereka saling bertukar nomor telepon. Hingga Hendra mengetahui berita mengenai Istri Herman yang meninggal karena kecelakaan pesawat. Komunikasi pun terjalin diantara keduanya hingga Herman tergoda ajakan Hendra untuk pergi ke tempat karaoke miliknya dan mencicipi Vodka untuk pertama kalinya. Disitulah Heman yang merasa tertekan dengan keadaanya saat ini merasa bebannya tiba-tiba lenyap dan pikirannya jauh lebih tenang. Tapi untuk perempuan, Herman sama sekali tak tergoda sedikit pun walaupun banyak LC (pemandu lagu) yang berpakaian seksi selalu menggodanya. Itu karena Herman betul-betul mencintai Diana dan tak pernah terbersit sedikit pun dalam hatinya untuk menghianati Diana walaupun Ia sudah tiada. *** Sesuai janjinya pada Zara, sore itu Herman pulang ke rumahnya. Ia buru-buru masuk ke dalam kamar saat Bi Inah membukakan pintu. Ia tidak mau putrinya melihatnya dalam keadaan berantakan. Herman segera mandi dan berganti pakaian lalu menemui Zara yang sedang berada di kamarnya. “Zara sayaang…” panggil Herman sambil membuka pintu kamar Zara. “Eh Pah… udah pulang?” tanya Zara yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya di meja belajar. “Udah dong sayang… kan Papah udah janji.” Kata Herman sambil mendekati Zara dan mencium kepalanya. “Zara kangen sama Papah…” zara memeluk Ayahnya yang berdiri di sampingnya.Walaupun tinggal dalam satu atap rasanya Zara merasa semakin jauh dari Ayahnya. Waktu pertemuan dan quality time mereka pun tak seintens dulu. “Iya… Papah juga kangen. Gimana kuliah kamu?” “Alhamdulillah lancar Pah… Papah ngga akan tinggalin Zara kan Pah?” Herman tersenyum. “Emang Papah mau tinggalin kamu kemana? Iya Papah janji ngga akan tinggalin kamu.” Ucap Herman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD