8. Anak Lelaki Yang Kuat

1654 Words
“Pak Herman belum dateng juga Sis? Udah jam berapa nih?” protes Hana, pegawai di bagian Finance yang bertugas mencairkan dana untuk kebutuhan proyek mereka yang baru. Sudah ketiga kalinya Ia bolak balik ke ruangan Pak Herman tapi beliau belum juga datang. Ia melirik ke jam yang melingkar di tangan kanannya, sudah menunjukkan pukul 11.00. “Ya mana gue tau…” jawab Siska yang tidak mau disalahkan. “Lo kan sekretarisnya…” “Ya trus gue harus ngatur juga kapan Pak Herman berangkat??” tanya Siska kesal. “Kalo gini terus sih bisa-bisa gulung tikar nih…” kata Siska seenaknya. “Hustt, ngawur… emang mau kerja dimana lagi lo?” Hana hanya mengangkat kedua bahunya dengan bibir dimanyunkan. “Makanya doa yang baik-baik lo… udah bersyukur dapet kerjaan enak, gaji gede, bonus ada, tunjangan ada... kerja dimana coba dapet fasilitas enak begini.” Cerocos Siska. “Iya sih… cuma kalo Pak Herman gini terus ya proyek ngga bakal jalan. Pasti gue deh yang dikejar-kejar dikira gue yang ngga becus kerja.” Gerutu Hana. Beberapa hari ini Herman memang selalu datang ke kantor tidak tentu, terkadang pagi hari, terkadang siang hari, bahkan beberapa kali Ia tidak datang ke kantor, hingga membuat bisnisnya mengalami penurunan. Banyak investor yang menarik dana mereka karena proyek tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan dan terkesan tidak transparan. Sudah bisa dipastikan perusahaan mengalami banyak kerugian. Mau tidak mau Herman harus menggelontorkan sejumlah uang untuk menutup kerugian tersebut. Belum lagi untuk gaji karyawan, karena beberapa bulan ini pemasukan perusahaan pun mengalami penurunan drastis. Beberapa karyawan pun terpaksa harus dirumahkan. Herman pun masih harus mengeluarkan dana untuk uang pesangon. Uang kompensasi yang diterimanya dari pihak maskapai untuk keluarga korban kecelakaan pesawat pun sudah Ia habiskan untuk menutup biaya kerugian dan lain-lain. Uang yang rencananya digunakan untuk masa depan Zara pun entah kemana habisnya. Hal ini pula yang membuat Herman semakin terpuruk dan frustasi. Ia menjadi semakin akrab dengan minuman keras sebagai pelarian dari masalah yang sedang dihadapi, juga lari dari rasa kesepian yang selama ini dirasakannya. *** “Papah ngga pulang lagi Bi?” tanya Zara sambil menyantap sarapannya ditemani Bi Inah di meja makan. “Engga Mba..” jawab Bi Inah pelan. Zara menghembuskan napasnya perlahan, ada suatu perasaan yang Ia tahan. Sejenak Ia terdiam dan menghentikan makannya. “Mba Zara ngga papa Mba?” tanya Bi Inah khawatir. Bi Inah sangat tahu perasaan Zara saat ini. Zara tersenyum tertahan. “Ngga papa Bi…” Sejak dua minggu yang lalu, Herman semakin jarang pulang. Zara pun tak tahu Ayahnya berada dimana. Beberapa kali Ia meneleponnya tapi tidak diangkat. Hanya sesekali Herman pulang untuk menemui Zara, itupun dengan aroma alkohol yang keluar dari mulutnya. Walaupun Bi Inah berusaha menutupi akhirnya Zara pun mengetahuinya. Zara begitu muak dengan sikap Ayahnya itu, seorang Laki-laki yang begitu ia hormati dan begitu ia sayangi sudah berubah menjadi sosok yang tak dikenalnya. Seorang Imam keluarga bahkan seorang Ayah yang seharusnya menghibur dan menguatkan putrinya justru melepas tanggung jawabnya dan menuruti egonya demi kesenangan pribadi. “O ya Bi… Burung peliharaannya Papah lepasin aja Bi…” kata Zara sambil melanjutkan makannya. “Tapi Mba… kalo Bapak tiba-tiba nanyain gimana? Bibi ngga berani Mba…” kata Bi Inah serba salah. Ia takut karena akhir-akhir ini Pak Herman sering mengalami perubahan emosi dan lebih mudah marah. Sudah pasti ini pengaruh alkohol yang sering dikonsumsinya. “Ngga papa Bi… kalo Papah nanya nanti Zara yang jawab. Bibi juga jadi ngga perlu repot ngurusin burung-burungnya Papah.” Kata Zara. “Iya Mba…” kata Bi Inah. Selesai makan, Bi Inah segera membereskan meja makan dan menaruh piring kotornya di dapur, bersamaan dengan bel rumah yang berbunyi. Zara segera beranjak dari kursinya dan menuju ke ruang tamu untuk membukakan pintu. “Papah?” kata Zara terkejut. Penampilannya benar-benar kacau. Rambut dan jenggotnya terlihat sudah panjang dan tidak terawat. Kemejanya kusut dan dikeluarkan dari dalam celananya. Belum lagi aroma alkohol yang memuakkan. “Papah mabuk lagi?” tanya Zara ketus. Tanpa menjawab pertanyaan Zara, Herman langsung masuk ke dalam rumah tanpa melepas sepatunya. “Pah?! Mau sampe kapan Papah seperti ini?? Papah ngga malu?? Papah tuh harusnya ngajarin Zara hidup yang bener.” Kata Zara dengan suara tinggi. Mendengar teriakan Zara, Herman berhenti dan menoleh ke arah Zara. “Tau apa kamu soal hidup? Udah kamu diem aja. Inget! Papah yang biayain kamu sampe segede ini!” Kata Herman tak kalah keras, lalu menuju ke kamarnya dan membanting pintu dengn keras. Bi Inah yang mendengar teriakan mereka hanya bisa menangis dari balik pintu dapur. Ia tak menyangka keluarga yang tadinya begitu saling menyayangi, menghormati, dan tak pernah sekalipun Bi Inah mendengar mereka bertengkar sekarang justru berbanding terbalik. MasyaAllah, batin Bi Inah sambil mengelus da-danya. Sementara Zara langsung naik ke kamarnya, berganti pakaian dengan celana jeans biru muda serta tshirt warna hitam lengan panjang. Ia bergegas turun dan menyambar kunci mobilnya yang tergeletak di meja dekat televisi. Baru saja Bi Inah menuju garasi untuk menanyakan kemana Zara akan pergi, Zara sudah memacu mobilnya dengan cepat keluar dari garasi. Tak biasanya Zara pergi tanpa pamit kepada Bi Inah. *** Zara memarkir mobilnya di area pemakaman. Zara yang sejak kecil selalu menolak jika kedua orangtuanya mengajaknya berziarah ke makam kakek neneknya karena takut, sekarang justru di situlah Ia merasakan kedamaian. Hatinya merasa tenang jika berada di dekat makam Ibunya. Di situlah Ia bisa meluapkan segala emosi, air mata, dan segala beban hidupnya. Zara turun dari mobilnya dan langsung disambut oleh seorang anak lelaki yang kurang lebih berusia sepuluh tahun. Bajunya dekil, tanpa alas kaki, dan wajahnya terlihat gosong karena terlalu sering terkena terik matahari. Ia membawa tiga bungkus bunga tabur berukuran sedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya membawa tas anyaman berisi beberapa bungkus keripik untuk dijual. Terlihat jelas oleh Zara karena tas nya terbuka di bagian atas. “Ka, bunganya Ka…” kata anak lelaki itu menawarkan dagangannya. “Mau satu ya De. Berapa?” tanya Zara. “Empat ribu Kak…” jawab anak lelaki itu sambil menggantungkan tas anyamannya di pergelangan tangan, lalu memberikan satu bungkus bunga tabur kepada Zara. “Jam segini kok kamu ngga sekolah?” tanya Zara iseng. “Udah ngga sekolah Kak… Ibu ngga punya uang.” Jawab anak itu polos. “Ya ampun… sayang banget. Trus Ayah kamu?” “Bapak udah meninggal Kak, waktu Alif umur empat tahun. Makanya Alif kerja buat bantu-bantu Ibu.” “Maaf ya…” ucap Zara. Ia takut anak itu jadi sedih karena teringat kembali akan Ayahnya. Bagaimanapun juga Zara merasa beruntung karena bisa merasakan kasih sayang yang utuh hingga usianya dua puluh tahun. Ia tak bisa membayangkan anak sekecil itu harus kehilangan sosok Ayah, apalagi harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Ngga papa Kak.” Jawab anak lelaki itu dengan santai. “Nama kamu siapa?” tanya Zara. “Alif Kak…” Zara merogoh dan mengambil uang lima puluh ribu rupiah yang Ia selipkan di kantong celananya tadi sebelum berangkat. “Ni Alif…” Zara memberikan uangnya pada Alif untuk membayar satu bungkus bunga tabur yang dibelinya. “Duh… besok lagi aja deh Kak kalo kesini lagi. Alif ngga punya kembaliannya.” “Udah ngga papa, ambil aja kembaliannya.” Kata Zara sambil tetep mengulurkan uangnya. “Engga deh Kak, kata Ibu ngga boleh terima uang yang bukan hak nya.” MasyaAllah, anak sekecil ini saja udah pintar, Zara salut dengan cara Ibunya mendidiknya Zara tersenyum dengan sedikit membungkuk agar tingginya menyamai Alif. “Aliiiff… Ini rezeki kamu. Ibu kamu ngajarin ngga boleh menolak rezeki kan?” Tanya Zara sambil menatap mata anak itu. Alif mengangguk dan menerima uang pemberian Zara. “Alhamdulillah, makasih banyak ya Kak.” Kata Alif dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Zara menyusuri jalan setapak di tengah area pemakaman. Pagi itu suasana terlihat begitu sepi, apalagi masih jauh menuju bulan Ramadhan, dimana umat muslim biasa melaksanakan tradisi ziarah kubur untuk mendoakan orangtua, leluhur, atau kerabat yang telah meninggal dunia. Zara menghentikan langkahnya. Sedari tadi Ia merasa ada langkah kaki yang mengikutinya. Ia menoleh ke belakang, ternyata Alif lah yang sejak tadi mengikutinya dari belakang. “Ya ampun Aliifff… ngapain ngikutin Kakak?” Alif hanya cengengesan. Zara tahu Alif melangkahkan kakinya dengan sangat hati-hati agar Ia tidak mendengarnya, tapi tetap saja insting Zara jauh lebih tajam. “Kamu mau ikut ke makam Mamah Kakak?” Tanya Zara yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Alif. “Ya udah yuk…” ajak Zara. Dengan sumringah Alif mengikuti langkah Zara menuju makam Ibunya yang sudah hampir sampai. “Emang mau ngapain kamu?” tanya Zara lagi. “Aku mau ikut doain Mamah Kakak, sama mau terimakasih karna Kakak udah baik. Pasti karna Mamah Kakak yang udah ngajarin.” Jawabnya polos. Zara tersenyum sambil mengacak2 rambut Alif karena jawabannya terlalu dewasa untuk anak seusianya. Sampai di makam Ibunya, Zara langsung membersihkan rumput liar yang tumbuh di sekitar makam. Dengan cekatan Alif pun membantunya. Ia juga membersihkan batu nisan dengan tangannya. Setelah itu Zara menaburkan bunga di atas gundukan tanah itu dan memanjatkan doa. Tanpa terasa air matanya menetes. Ia merasa beban hidupnya semakin berat. Sebenarnya ujian terbesarnya bukan karena ditinggal oleh Ibunya untuk selamanya, melainkan sikap Ayahnya yang berubah dan itu membuat Zara sangat terpukul. Satu-satunya orang dimana Ia bisa menggantungkan hidup padanya justru malah menyakiti perasaannya. “Maaahhh… Zara kangeeennn… banget sama Mamah.” Kata Zara sambil megelus nisan Ibunya. “Kalo Mamah masih ada, pasti hidup Zara ngga akan seberat ini… Papah udah ngga sayang lagi Mah sama Zara.” Kata Zara pelan sambil tertunduk. “Zara bingung Mah harus gimana... Papah sekarang udah berubah Mah…” Air mata Zara tak bisa terbendung lagi. Alif berjongkok sambil memadang sendu ke arah Zara. Tak seperti Zara yang terlihat rapuh, Alif adalah sosok yang kuat dan tegar walaupun hidup tanpa kehadiran seorang Ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD