Kasus 3 - Pemuja Jari (2)

1017 Words
Raon melemparkan kunci mobil kepada Rose. Rose dan yang lainnya tertegun karena sikap tiba-tiba tersebut. "Di TKP (Tempat kejadian perkara), kalian cuman boleh bergerak sesuai perintah gua," ucap Raon sambil mengenakan rompi anti pelurunya. "Kapt, maksudnya kita boleh nanganin kasus di lokasi? kita bertiga?" Bobby yang kebingungan memastikan bahwa dia tak salah tanggap. "Jangan lupa pake rompi kalian. Rose, sepuluh menit pertama adalah waktu genting. Komp Nirvana tidak terlalu jauh dari sini, lu bisa bawa kita ke lokasi dalam tujuh menit?" Rose berlonjak gembira karena Raon memperbolehkannya membawa mobil, "Huwaa, siap! tumben lu gak nyebelin hari ini, huwahahaha," "Periksa kelengkapan kalian! trus ... ini," Raon melempar taser ke Ory. Ory gelagapan menangkap taser tersebut, "Lu bisa make itu, kan? jangan pernah lu megang pistol lagi. Jangan pokoknya,". "Hehehe, baik Kapten!" Ory cengengesan, lalu melompat-lompat kegirangan, "Yes, akhirnya nanganin kasus beneran, asikk," "Mari kita lakuin dengan benar kali ini. Bobby," melempar HT ke arah Bobby, "Jawab panggilan call center. Semua jalan!" "Aye Kapten!" Bobby memegang HT dengan gaya swagnya yang khas, dia berdehem beberapa kali, lalu mulai menghubungi call center. "Chek, chek, ahem ... yo, ha to the lo call center. Kita Unit Lima bakal nanganin kasus ini yo. Me, bi ou bi bi way, bakal lapor kalo ude nyampe lokasi. Operasi bakal dipimpin Kapten Caplang, yash. Wadoh, Kapten tungguin gua!" Bobby berlarian mengejar Raon dan yang lainnya, dia ditinggal karena terlalu lama memberikan info ke call center. Pakai rapp segala. *** "Yuhu, lima menit dua puluh detik. Rekos baru nih, wuahahaha," Rose bersorak kegirangan karena berhasil tiba di lokasi kurang dari waktu yang diperintahkan Raon. Rose sangat gembira, menyetir mobil adalah caranya untuk bersenang-senang dan merasakan kebebasan. "Uekk!" Bobby yang tak terbiasa dengan cara menyetir Rose, tiba-tiba membuka jendela dan mulai muntah, "Maroje! lu mau bunuh kita semua? bangkee, mabuk darat gua jadinya, uweek!" "Adoh Mak. Kepala Ory rasanya mutar-mutar," Ory oun merasakan efek dari keahlian menyetir Rose. Ory menggelengkan kepalanya, lalu menatap Raon sambil menyipitkan mata, "Ya ampon Kapten Caplang. Muka Kapten kadi keriting-keriting. Akhh, Ory pusing," Ory memukul kepalanya beberapa kali, agar segera sadar. "Eh Roje. Dari mana lu belajar nyetir kayak gitu!? kita tuh mau nanganin kasus. bukan mau balap F1. Dasar gila, lu!" Raon ikut mengomel. "Ih, Capleng. Lebih cepat lebih baik. Kan lu sendiri yang bilang kalo sepuluh menit pertama merupakan waktu genting." "Pantesan Bokap lu gak ngijinin lu bawa mobil ye, ternyata begini cara lu? ugal-ugalan gak jelas." "Heh, Rawon. Kan gua niatnya baik, biar cepet sampe. Lagian gua tuh pembalab professional. Jadi gak usah khawatir." "Yo, call center, with Bobby here. Double B, pake Y bukan i. Unit Lima sudah tiba di lokasi ... uekk! Sorry, I lagi gak enak body. Laporan selesai," Bobby melapor ke markas pusat dengan loyo, dan pandangannya yang oleng. Berkali-kali dia menggosok perutnya yang terasa tidak enak. Akibat mabuk darat yang dia derita karena Rose. "Semua, aktifkan radio kalian. Bobby, periksa apa ada cctv di dekat sini, dan cek apa ada jalan alternatif untuk melarikan diri," perintah Raon kemudian. "Aye Kapten," Bobby menjawab sambil memijit leher belakangnya agar terasa sedikit lega. "Rose, tetep bersama Bobby dan siaga. Ada kemungkinan mereka kabur," mendengar perintah Raon, Rose mengibas rambutnya tanda mengerti, "Dan Lu," Raon menunjuk Ory, "Jangan kelayaban kemana-mana. Tetap di samping gua," selesai memberi perintah, Raon mempersiapkan pistolnya dan langsung pergi. "Tetap di samping dia katanya! waduh, gimana ini, Ory jadi malu, hek hek hek. Kalau gini, gak jadi de bilang Kapten Caplang nyebelin," Ory cengengesan. Tingkat kepercayaan dirinya terlalu tinggi hingga salah tanggap akan ucapan Raon. Raon dan Ory mengendap nenuju unit yang merupakan tempat penyanderaan. Tanpa melihat ke belakang, Raon mengulurkan tangan memberi tanda agar Ory menunduk dan waspada. Namun, entah bagaimana tafsiran Ory dari gestur tubuh Raon tersebut. Bukannya menunduk, dia malah megangin tangan Raon sambil senyum-senyum. "Eh, Maemunah, gua suruh lu waspada, ngapain lu megangin tangan gua!?" Raon yang kaget langsung hampir hipertensi. "Ho, waspada? ya maap. Ory kira suruh menggenggam tangan Kapten, hehehe." Ory melepas tangan Raon. Namun sebagai gantinya, dia malah menyembunyikan diri di belakang Raon, sambil memegang ujung kemeja Raon. Tak ingin ribut lagi, akhirnya Raon hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan Ory. "Dengar, kita harus masuk. Begitu masuk lu harus segera pelajari situasi dan bersiap dengan kemungkinan penyerangan, paham?" Ory mengangguk dengan cepat, "Oke, satu ... dua ... tiga." Raon dan Ory menghambur masuk. Tersangka yang panik langsung menodongkan pisau pemotong daging yang ada di tangannya kearah Raon dan Ory. "S-Siapa kalian! jangan deket-deket, gua matiin nih orang!" tersangka paruh baya tersebut menjambak korbannya yang merupakan seorang wanita berumur hampir sama. "P-Pak, tolongin anak saya. Dia mau potong anak saya," wanita tersebut gemetar ketakutan. Namun, bukan takut kehilangan nyawanya. Dia ketakutakn karena tersangka lainnya yang terlihat lebih muda jiga menyandera dua anaknya. Anak perempuan yang masing-masing berusia lima belas dan sepuluh tahun tersebut, menangis ketakutan tak jauh dari ibu mereka. "Yo Kapt. Setelah I check, tersangka satu. Ryan Pratama, empat puluh lima tahun. Punya catatan gangguan kejiwaan. Namanya juga terdaftar di Rumah Sakit jiwa pusat. Ya ampun, ada yang aneh Kapt. Kayaknya mereka bukan mau ngerampok, tapi punya rencana lain!" terdengar suara Bobby di penyuara telinga Raon dan Ory. "Heh Kucrut, kenapa lu jadi ngecek latar belakang tersangka? itu tugas si Maudy, call center," "OMG Kapt. Call center slowly bener. Lebih cepat kita tau, itu lebih baik. Bener kan, Ros?" "Iye, Plang!" Suara Rose yang melengking, membuat Raon menutup mata, karena telinganya sakit, "Lu ngeliat dari cctv?" tanya Raon lagi kepada Bobby. "Iyes, Kapt." "Ya udah. Karena dah terlanjur, periksa latar belakang yang satunya." "Jangan deket-deket. Gua cuman mau satu potongan kecil. Tapi kalau kalian nekat, gua potongin semua nih anak!" teriak tersangka dua. "Tidak, jangan apa-apain anak saya, hiks. Pak tolong," "Eh, lu juga diem. Gua cincang juga nih cewe lama-lama," tersangka satu mulai makin tidak normal. "Kapt, tersangka dua. Rendy, usia tiga puluh dua tahun. Yatim piatu dan tempat tinggalnya tak menetap. Hmmm, Kapt ... kayaknya harus hati-hati, de." "Kenapa?" Raon mulai lebih waspada mendengar perkataan Bobby. "Kayaknya dia beneran gak waras. Rendy pernah dilaporin untuk kasus penyerangan. Dia ... motongin jari tetangganya." To be continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD