Keempat laki-laki datang dengan paras yang tak pernah mengecewakan, mereka terlihat tampan seperti biasa hingga membuat para wanita yang berkunjung di cafe` tersebut tidak mau menyianyiakan pemandangan indah tersebut. Bary datang dengan menebar pesona itu sudah biasa dilakukan, Riko hanya berjalan biasa menatap mencari keberadaan Rega. Alex dan Revan melangkah dengan wajah datarnya, namun itulah yang membuat wanita tergila-gila.
"Queen." Revan melambaikan tangan sambil tersenyum, pengunjung cafe` dibuat terheran ketika wanita tersebut dikenal dan dikeliling oleh para laki-laki tampan yang menggoda iman.
Tia hanya menatap datar saja sambil memutar bola matanya dengan jengah. "Berisik," gumam Tia.
Keempat laki-laki tersebut kini menghampiri meja gadis tersebut, lalu duduk dengan senyuman yang bahagia. "Lu udah lama disini Ti?" tanya Bary.
"Baru 2 jam lah," balas Tia yang membuat Bary hanya melongo saja, sedangkan yang mendengar hanya tertawa termasuk Alex walau ia menahan ketawanya.
Riko menyela, "Kalau mau ketawa, ketawa aja Lex. Jangan di tahan-tahan nanti sakit."
"Yeuh si tolil malah kemana-mana," ujar Bary.
Alex berkata, "Ga, gue mau es kopi." Rega yang mendengar langsung menghampiri keempat sahabatnya.
"Sekalian, lu pada mau pesan apa biar gue engak bolak-balik nih," ujar Rega.
"Yah padahal gue mau lu bolak balik," cetus Bary, tanpa pikir panjang Rega memukul kepala sahabatnya menggunakan buku menu.
Rega berceloteh, "Pulang sana lu." Bary hanya memegang kepalanya sambil menatap cemberut, Tia yang melihat jelas tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya.
"Jahat banget, gue kasih bintang 1 nih," ujsr Bary mengancam.
"Oh berani lu?!" Sambil mengangkat kembali buku menu tersebut, Bary lantas melindungi kepalanya agar tidak kena pukul lagi.
Bary berkata, "Ya Allah gini amad punya teman." Rega yang mendengar perkataan sahabatnya jelas hanya tertawa pelan.
"Gue mau es lemon tea aja," kata Revan.
"Gue es americano," nimbrung Riko.
Rega menyela, "Aselole gaya banget lu minumnya." Riko hanya menaikkan kedua alisnya sambil tersenyum manis.
"Gue–"
"Udah kan, kalau gitu gue buatin dulu ya," cetus Rega
Bary menatap melongo yang membuat ketiga sahabatnya hanya tertawa pelan. "Bambank! Gue belom, astaga lu jahat banget si sama gue," ucap Bary, Rega lantas tak menggubris perkataan sahabatnya ia melanjutkan langkahnya untuk membuatkan pesanan para sahabatnya.
"Tenang, dia enggak jahat kok," kata Tia ketika melihat raut wajah Bary yang kesal tidak digubris oleh Rega.
Alex memperhatikan saja gadis tersebut bahkan ketika Tia menyeka rambutnya kebelakang telinga membuat laki-laki tersebut berdebar tidak karuan. "Shitt! Kenapa lu cantik banget si," batin Alex. Mereka duduk saling berhadapan hingga Tia tersadar bahwa ia diperhatikan, dengan perlahan matanya mulai melihat Alex hingga mata mereka saling bertemu untuk beberapa saat.
"Lu udah ijin Bang Rey?" tanya Revan tiba-tiba, sontak Tia memutuskan kontak mata dengan laki-laki yang ada di hadapannya.
Tia mengambil kentang goreng yang berada dihadapannya sebelum menjawab, "Sudah, tadi dia telepon." Revan yang mendengar hanya ber Oh ria saja.
Alex mengerutkan keningnya ketika melihat goresan luka yang masih ada sedikit darah di tangan gadis tersebut, tanpa pikir panjang ia menarik tangan tersebut hingga membuat Tia sedikit meringis. "Awksh."
"Ini luka apa?" tanya Alex dengan khawatir, matanya kini menatap ke arah gadis tersebut dengan lekat, Rega dan pelayan cafe` tersebut yang mendengar sontak terkejut atas pertanyaan laki-laki tersebut.
Tia mengelak, "Tadi gue jatuh."
Revan kini melihat tangan sang adik dengan lekat, lalu menatap raut wajah sang adik yang kini seolah menghindari pertanyaan. "Siapa yang buat luka ini?" tanya Alex.
"Ini jatuh Lex!" seru Tia lalu menarik tangannya kembali, laki-laki tersebut jelas terdiam menatap Tia yang menghindari tatapan matanya.
"Gue yakin itu bukan luka jatuh," batin Alex yakin.
Riko bertanya, "Udah di obatin belum? Takut infeksi, apalagi kalau jatuh kan ada debu tuh."
Bary yang menatap sahabat yang berada disebelahnya lalu memegang pahanya yang membuat Alex terkejut menatap sahabatnya, Bary hanya mengangguk seolah memperingati. Alex yang melihat menghela nafasnya dengan gusar, ia masih memperhatikan luka yang sengaja di tutupi dengan satu tangannya lagi. "Lu benaran abis jatuh?" tanya Revan dengan tatapn penuh selidik.
Belum sempat menjawab Rega kini sudah datang dengan membawa pesanan. "Nah ini pesanan kalian, ini gue kasih bonus cemilan," ujar Rega lalu memberikan satu-satu pesana mereka, termasuk Bary yang ia buatkan es kopi.
"Benar kata Tia, lu enggak jahat sama gue," kata Bary sambil tersenyum manis yang membuat Rega bergidik merinding.
Rega menyela, "Tenang, itu minuman udah gue kasih racun kok." Bary jelas menyemprot minuman yang berada di mulutnya.
"Jorok banget si lu!" seru Revan.
"Kaget anjrit gue," balas Bary.
Riko menyela, "Racun juga enggak mempan buat lu mati." Ketiga laki-laki tersebut tertawa setelahnya, Alex hanya terdiam saja sambil mengaduk kopi tatapannya masih ke arah gadis yang berada dihadapannya.
"Eh bdw ini serius cafe` lu?" tanya Bary dengan mata yang melihat interior cafe` Dragons tersebut.
Rega menjawab, "Gue join sama mereka." Sambil menunjuk kelima pelayan cafe` tersebut, Bary dan Riko hanya er Oh ria saja seraya berdecak kagum kepada sahabatnya.
"Keren si lu," puji Riko.
"Biasa aja, ya hitung-hitung investasi masa muda lah," balas Rega.
Tia berbisik, "Bang, Tia mau ke toilet." Revan yang mendengar lantas beranjak berdiri agar sang adik dapat lewat, gadis tersebut lantas beranjak dari tempat duduknya dan menuju toilet.
Alex yang melihat lantas hanya menatapnya lekat hingga gadis tersebut tak terlihat di pandangannya. "Gue mau ke toilet dulu," ujar Alex, Riko yang berada di paling pinggir lantas beranjak bergeser agar sahabatnya bisa lewat.
"Ga, gue minta betadin sama hansaplast," bisik Alex kepada Rega, laki-laki tersebut jelas mengerutkan keningnya namun anggukan Alex membuat ia mengerti.
Rega berkata, "Gue kebelakang dulu ya." Ketiga sahabatnya yang sedang menikmati mimuman tersebut hanya manggut-manggut, walau sesekali memandang heran kepada kedua laki-laki yang kini melangkah bersama menjauh dari mereka.
Sedangkan disisi lain, Tia kini sedang menatap dirinya yang berada di pantulan cermin, ia melihat sekilas luka yang berada di tangannya, tanpa pikir panjang ia mencuci luka tersebut dengan ringisan kecil. Tia kini melangkah keluar, raut wajahnya terkejut ketika melihat Alex bersandar di dinding depan pintu toilet.
"Lu ngapain? Toilet laki disebelah," ujar Tia, baru saja ingin melangkah tangannya di tarik laki-laki tersebut.
Alex membalikkan tangan gadis tersebut untuk melihat dengan yakin itu bukan luka jatuh. "Apaan si Lex," ujar Tia sambil menarik tangannya, namun sayangnya Alex menahannya.
Laki-laki tersebut mengambil obat merah dan hansaplast besar. "Diam." Mata Alex kini menajam seolah memperingati untuk gadis tersebut tidak memberontak.
"Gue bisa obatin sendiri," ujar Tia.
"Gue bilang diam ya diam!" Gadis tersebut lantas terdiam menunduk, namun beberapa detik kemudian senyum tipisnya mengembang dibibirnya ketika melihat raut wajah serius dari laki-laki tersebut yang sedang fokus mengobat luka ditangannya.
Alex menatap sekilas ketika merasa di perhatikan. "Kenapa lihat-lihat? Mulai jatuh cinta sama gue?" tanya Alex dengan senyum menyeringainya.
"Dish apaan si ge'er banget," kata Tia mengelak, Alex yang mendengar hanya tersenyum tipis lalu menutup luka tersebut dengan hansaplast.
Alex melihat Tia dengan lekat kini, jelas gadis tersebut menjadi salah tingkat sendiri. "Jangan luka lagi ya," ucap Alex dengan sangat lembut sambil mengelus pelan kepala gadis tersebut, kemudian ia melangkah pergi dari hadapan Tia.
Gadis tersebut masih terdiam saja menatap kepergian Lez dari hadapannya, ia memegamg dadanya, jantungnya berdebar tidak karuan. "Enggak mungkin kan gue punya penyakit jantung?" tanya Tia heran.
"Atau gue harus periksa buat pastiin aja, iya gue harus periksa," ujar Tia meyakinkan, beberapa detik kemudian ia melangkah kembali ke tempat duduknya.
Mata Alex dan Tia saling bertatapan sejenak sebelum akhirnya gadis tersebut memutuskan kontak matanya, ketiga laki-laki yang sekilas memperhatikan hanya menatap secara bergantian ke Tia dan Alex. "Aduh gue enggak ngerti bakal ada drama apa lagi," cetus Bary.
Alex yang mendengar dan merasa tersindir kini menatap sahabatnya dengan raut wajah datar. "Peace men," ujar Bary sambil menaikkan kedua alisnya.
Revan berkata, "Pulang nanti bareng, gue enggak mau kena marah sama Bang Rey." Tia yang mendengar hanya berdehem saja.
Mereka menikmati berkumpul bersama, bercanda tertawa bersama, hingga mengobrolkan hal yang enggak penting, waktu sangat cepat berlalu kini mereka memutuskan untuk pulang dan berpamitan kepadan Rega. "Ga, kita balik ya," ucap Riko sambil melambaikan tangannya.
"Yoi, hati-hati lu pada," balas Rega.
Tia berkata, "Semua. Gue pamit ya."
"Siap Nona," ucap lima pelayan cafe` tersebut dengan kompak, Alex yang melihat dengan jelas hanya menatap heran.
Alex berbisik, "Apa sedekat itu Tia dengan pelayan cafe` yang lain."
Bary menepuk bahu Alex ketika melihat sahabatnyanterdiam sejenak. "Woy, bengong aja. Ayuk balik kita," cetus Bary yang membuat laki-laki tersebut tersadar lalu mengangguk.
"Gue pamit ya," kata Alex.
"Gue juga," nimbrung Bary.
Rega menyahut, "Yo, hati-hati lu berdua." Bary mengacungkan jempolnya seraya menjawab. Mereka kini menaikkan motornya masing-masing, dan raut ketiga orang tersebut terkejut ketika Tia menaiki motor sport hitam.
"Ini motor lu Ti?" tanya Riko terkejut.
Bary menyela, "Ternyata punya lu motor yang disamping Revan."
"Iya motor gue," balas Tia dengan senyuman, Alex hanya memperhatikan saja gadis tersebut tanpa berkata satu kata pun.
Mereka melajukan motornya masing-masing, hingga di perempata lampu merah mereka berpisah karena berbeda arah. 20 menit kemudian, kedua kakak beradik tersebut memarkirkan motornya masing-masing tepat di depan pintu rumahnya, gadis tersebut kini turun dari motor lalu membuka helm fullface-nya begitu juga dengan Revan. Mereka berdua masuk kedalam rumah secar bersamaan.
"Sudah pulang kalian?" tanya Caca dengan raut wajah datar, kedua orang tersebut lantas menatap satu sama lain.
Tia menjawab, "Iya Bu."
"Kemana handphone kalian? Telepon enggak di angmat, chat enggak dibales? Buang aja handphonenya kalau enggak guna," cetus Caca dengan nada marah.
Tia dan Revan lantas memejamkan matanya, tangannya mulai saling colek mencolek. "Maaf Bu, kami salah," ucap mereka secara bersamaan sambik menunduk.
Caca menyela, "Bisanya cuman minta maaf saja, nanti juga di ulangin lagi. Heran banget, emang seenggak pentingnya telepon dari orang tua?"
Tia dan Revan hanya menunduk saja, ia tidak berani menjawab satu katapun, sang Ibu dalam mode marah. "Gimana kalau Bubu kenapa-napa pas kalian enggak angkat teleponnya," ujar Caca.
"Tapi Bubu kan enggak kenapa-napa sekarang," balas Tia, Revan yang mendengar lantas mencubit sang adik yang membuat gadis tersebut tersadar lalu memingkemkan kedua bibirnya.
Tia berkata, "Maaf Bu, Queen salah." Sambil menunduk sendu.
"Harus banget Bubu kenapa-kenapa dulu baru kamu mau angkat telepon Bubu?" tanya Caca, Tia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Revan berkata, "Kita minta maaf Bu." Ia kini menatap sang Ibu dengan raut wajah sendunya, puppy eyes jelas ia keluarkan.
Caca tiba-tiba tertawa membuat kedua anaknya jelas mengerutkan keningnya. "Ya Allah muka kalian lucu banget," ujar Caca.
Tia menyela, "Bubu ngerjain kita ya?!" Dengan raut wajah cemberutnya.
"Sekali-kali ngerjain anak sendiri, siapa suruh kalian enggak angkat telepon Bubu," kata Caca.
"Ya Allah Bu, Evan pikir Bubu marah beneran," balas Revan.
"Loh Bubu emang marah benaran, tapi enggak tahan lihat muka kalian," balas Caca sambil tertawa yang membuat kedua anaknya lantas menggelengkan kepalanya pelan.
Revan berkata, "Tadi kita dijalan arah pulang, makanya kita enggak angkat." Tia manggut-manggut menyetujui perkataan sang abang keduanya.
"Yasudah kalian bersih-bersih sana," ucap Caca.
Mereka berdua mengangguk, lalu melangkah menuju tangga namun sebelum menaiki anak tangga mereka berdua mengecup singkat pipi sang Ibu, Caca hanya tersenyum tipis sambil melihat kedua anaknya kini menaiki anak tangganya. "Enggak bisa bayangin gimana kalau nanti mereka tanpa aku," gumam Caca.
Revan bertanya, "Itu bukan luka jatuh kan?" Tia sontak menoleh ke arah Revan lalu menjawab, "Ini luka jatuh bang, lu enggak percayaan banget si sama adik sendiri."
"Gue tahu luka jatuh kaya gimana, maba ada luka jatuh gores panjang, kalau engga jatuh di atas benda tajam," jelas Revan, Tia benar-benar tidak berkutik ketika mendengarnya.
"Udah ah mau mandi gue, sana lu," ucap Tia sambil mendorong pelan Revan ketika sudah berada di depan kamarnya.
Gadis tersebut lalu masuk kedalam kamarnya, Revan yang melihat hanya terdiam penuh curiga sebelum melanjutkan langkah kakinya ke kamarnya sendiri. "Siyalan emang Demon!" seru Tia sambil melihat tangannya yang sudah diobati, sedetik kemudian ia tersenyum ketika mengingat bagaimana wajah serius Alex mengobatinya.
"Ah jadi gemes," cetus Tia sambil mesam-mesem sendri, tanpa berpikir panjang ia melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari debu-debu yang menempel.
Sedangkan di sisi lain, Alex sudah sampai di rumahnya ia melangkah ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit kamarnya. "Sebebarnya siapa Tia?" tanya Alex, ia kini meposisikan dirinya duduk di pinggir kasur sambil menatap pemandangan dari kamarnya.
"Gue yakon banget itu luka goresan, bukan luka jatuh," guman Alex, laki-laki tersebut kini menscroll handphonenya menstalking sosial media gadis tersebut, senyum tipis terbit begitu saja dari bibirnya ketika melihat betapa menggemaskan gadis yang dijodohkan kepada dirinya.