3. Ini Benar-Benar Gila!

1528 Words
Culiacán, Sinaloa, Mexico. . "Bajingann!!!" Suara itu terdengar lantang dan penuh nada akan ancaman. Seketika hawa mencekam memenuhi seisi ruang pertemuan. Edgar Lopez, seorang pria berumur kisaran empat puluh lima tahun. Berpostur tubuh tinggi besar layaknya algojo, saat ini tampak menggeram marah di hadapan para anak buahnya yang sedang berkumpul. Sudah tidak terhitung berapa kali pria itu mengumpat, mengeluarkan semua sumpah serapah demi meluapkan kekesalannya. Edgar tentu murka. Ia merasa marah sekaligus kehilangan karena orang yang begitu ia hormati harus meregang nyawa di tangan musuh bebuyutan mereka. Tepat sepuluh hari selesai masa berkabung, Edgar mengumpulkan semua anak buah dan para petinggi. Di hadapan mereka, ia menyampaikan keinginan yang sudah lama susah payah ia pendam. "Aku tidak mau tahu, kalian semua secepatnya harus menangkap Nathanael hidup atau mati!!!" Di hadapan seluruh anak buahnya, Edgar memberi perintah. Sementara itu, duduk di seberangnya ada Caesar Lopez yang menatap sang kakak sambil tertawa remeh. Ekspresinya kentara mengejek apa yang baru saja saudara laki-lakinya itu perintahkan. "Tidak semudah itu menangkap apalagi membunuh Nathanael. El Carlo bahkan harus mati sia-sia karena salah perhitungan." Edgar langsung menoleh. Menatap tajam dengan raut wajah tidak suka. "Lantas, apa menurutmu kita harus diam saja melihat El Carlo mati sia-sia?" "Aku tidak berkata seperti itu. Hanya saja, ku rasa kau terlalu gegabah. Kau mirip El Carlo." Edgar mengatupkan rahangnya keras. Matanya melempar tatapan menghunus tepat ke arah sang adik yang masih saja duduk dengan santai sembari menyesap cerutu khas Kuba di tangan kanannya. Walau bersaudara, mereka berdua memang layaknya dua sisi mata uang yang tidak pernah bisa disatukan. Kalau Edgar sangat tempramental dan tidak suka menunda apa pun, jauh berbeda dengan Caesar. Sang adik terkesan santai dan terlalu banyak perhitungan di setiap keputusan dan langkah yang ia ambil. "Apa kau tidak kepikiran untuk menghabisi atau menyiksa Nathanael sampai tulangnya remuk tidak berbentuk? Aku bahkan ingin menyiksanya dengan tanganku sendiri." "Oh, ayolah Edgar Sayang. Jangan bodoh." Caesar kembali tertawa. Padahal tidak ada yang lucu dengan ucapan Edgar yang begitu serius. "Kalau aku jadi El Carlo, aku pasti memperhitungkan dengan matang segala risiko sebelum menyerang Nathanael. Kita semua sama-sama tahu siapa backingan pria itu, bukan? Untuk apa cari mati?" El Carlo sendiri adalah pendiri dan juga pimpinan Kartel Simamoa yang berbasis di Sinaloa, Mexico. Kartel ini begitu melegenda karena merupakan salah satu sindikat perdagangan senjata api ilegal, pencucian uang, penjarahan, serta kejahatan terorganisasi terbesar dan terkuat di daratan Amerika khususnya Amerika latin. Beberapa tahun belakangan, ia berseteru dengan Nathanael Frost, pimpinan BlackGold Enterpraise yang juga merupakan putra tunggal dari Aleandro Frost, pimpinan Kartel Medeli yang selama puluhan tahun memasok tentara bayaran dan juga jasa perlindungan untuk kaum elit politik. Perselisihan bermula saat kelompok bersenjata dari Kartel Simamoa merampok emas senilai $8.5 juta dari sebuah pertambangan milik BlackGold Enterprise di negara bagian Sinaloa, Meksiko Barat. Selain merampok setidaknya 900 kilogram bongkah konsentrat emas, yang mengandung sekitar 7.000 ons emas, kelompok bersenjata tersebut juga melukai dan bahkan menembak mati dua penjaga tambang emas El Gallo. Tidak berhenti sampai di situ, Kartel Simamoa juga mengklaim bahwa wilayah yang BlackGold tempati adalah daerah kekuasaan mereka. Karena tidak terima mengalami kerugiaan yang begitu banyak, Nathanael mengatur strategi. Bersama anak buah sang ayah, pria itu memukul mundur kartel Simamoa dari wilyahnya yang sempat direbut. Ia bahkan membalas dendam dengan menghancurkan gudang berisi sejata milik Simamoa yang senilai $10 juta. El Carlo, pimpinan Simamoa tentu murka. Tanpa perhitungan, ia bermaksud untuk menuntut balas dendam. Namun, bukannya berhasil, malah dirinya yang harus mati sia-sia di tangan Nathanael. "Yang dikatakan Tuan Caesar ada benarnya, Tuan." Marlo, orang kepercayaan Edgar turut bersuara. Ketimbang sang majikan ikut mati sia-sia, ia pun berusaha memberi pengertian agar Edgar tidak salah mengambil keputusan. "Mau bagaimana pun juga, Nathanael adalah anak dari Aleandro. Kita sama-sama tahu kalau tentara yang mereka miliki sangat ahli dan terlatih untuk diajak berperang. Menyerang mereka tanpa perhitungan matang, sama saja bunuhh diri. Bukannya berhasil, kelompok kita yang nantinya malah lenyap." Edgar menarik napas berulang kali. Walau masih diliputi amarah dan emosi, ia berusaha untuk mendengarkan baik-baik apa yang Marlo sampaikan barusan. "Lantas, aku harus bagaimana?" "Pakai otakmu, Edgar Lopez." Caesar tampak berdiri. Melangkah sembari menyesap sekali cerutu di tangannya, lalu mengembuskan asapnya tepat ke arah Edgar. "Alih-alih langsung menyerang, ada baiknya kita selidiki dulu hidup Nathanael seperti apa. Cari kelemahannya. Kalau sudah yakin, baru atur strategi bagaimana cara menghancurkannya." Edgar diam sejenak lalu tak lama mengangguk. Dirinya setuju dengan saran yang Caesar ungkapkan barusan. Setelahnya, ia berbalik badan. Mengedarkan pandangan, lalu memanggil salah satu anak buahnya. "Pablo, Miguel, cepat kemari." Dua pria berbadan tak kalah besar dengan tato di sekujur tubuhnya secepat kilat mendekat. Menghampiri Edgar dengan hormat, bersiap untuk menerima perintah. "Apa yang bisa kami lakukan, Tuan?" Ada jeda sejenak sebelum Edgar menyahut. Pria itu melempar tatapan memindai ke kedua anak buahnya bergantian, kemudian berucap kembali. "Mulai hari ini, aku tugaskan kalian berdua untuk mengawasi tikus sialann itu. Cari tahu seluruh kegiatan Nathanael dari bangun hingga kembali tidur. Apa yang ia suka dan tidak suka. Laporkan semuanya kepadaku untuk kemudian diselidiki dan dicari tahu kelemahannya." Pablo dan Miguel mengangguk patuh dan penuh hormat. Layaknya ucapan Edgar adalah titah dari sang maha raja, mereka berdua pun menyanggupi perintah yang diberi. *** "Nona Clara, Ibu Josephine harus segera mendapat tindak lanjutan. Kalau mengikuti jadwal, minggu depan beliau harus sudah menjalani operasi." Clara memejamkan mata. Kepalanya terasa mau pecah kala mengingat ucapan dokter tadi pagi. Setelah semalam gagal meyakinkan Nathanael, sekarang ia harus kembali kepusingan mencari sejumlah uang untuk biaya operasi sang ibu. "Demi Tuhan, Clara, apa yang sudah kau lakukan?" Rachel yang baru saja menyelesaikan seluruh pekerjaannya di coffeshop langsung menghampiri. Setelah tadi pagi menanyakan hasil pertemuan Clara dan Nathanael yang berakhir gagal, perempuan itu tampak jelas kecewa. "Bukannya aku sudah totalitas mensupportmu? Aku bahkan juga berusaha mengajarimu cara-cara menarik perhatian Tuan Nathanael." Clara menarik napas panjang. Ia jadi tidak enak dengan Rachel. "Maafkan aku. Sepertinya Tuan Nathanael marah karena aku tidak sesuai ekspektasinya." Rachel sontak mengernyit heran. "Maksudmu? Sebenarnya apa yang sudah kau lakukan hingga beliau marah kepadamu?" "Aku melakukan seperti yang kau ajarkan sebelumnya. Ketika beliau bertanya apa yang bisa ku lakukan, aku berusaha untuk menciumnya." Dari nada suaranya, Clara nampak jelas frustrasi. Perpaduan antara pusing dan bingung harus bertindak seperti apa lagi. Perempuan itu meyakini kalau dirinya sudah melakukan hal-hal yang Rachel ajarkan. "Asal kau tahu..." lanjut Clara setelahnya. "Aku bahkan sengaja berpangku pada Tuan Nathanael demi dapat menciumnya dengan intim." "Astaga, Clara Winterbourne... kenapa kau bodoh sekali?" Rachel menggeleng tidak habis pikir. Salah besar sepertinya mempercayai Clara bisa melakukan apa yang ia ajarkan kemarin. "Bisa-bisanya kau mencium pria tidak dikenal tanpa menggodanya terlebih dulu. Tentu saja kau akan terlihat bodoh di depan Tuan Nathanael." Clara kembali menarik napas panjang. Mana dirinya paham ada banyak step yang harus ia lakukan sebelum tidur dengan seorang pria. "Oh ayolah, Rachel. Mana aku tahu kalau harus menggodanya terlebih dahulu. Bukannya ada banyak juga pria yang suka bermain langsung ke intinya tanpa perlu basa-basi lagi?" Rachel langsung menjentik kening Clara dengan sengaja. Biar saja! Biar otak rekan kerjanya itu tidak beku seperti otak udang. "Demi apa pun, kau benar-benar payah, Clara. Tolong bedakan pria yang baru dikenal dengan pria yang sudah lama menjalin hubungan denganmu. Apalagi, kasusnya Tuan Nathanael ini berbeda. Tentu saja kau harus menggoda dan membuatnya tertarik terlebih dahulu." "Aku harus bagaimana lagi? Dia bahkan menyebutku jauh dari kata amatir. Sekarang, harapanku sudah pupus. Tuan Nathanael bahkan sudah tidak sudi bertemu denganku." Rachel merotasi bola matanya. Sebelum bersiap kembali berkerja, ia berusaha untuk mencari jalan keluar. "Kau harus kembali menemui Tuan Nathanael." "A-apa? Menemui Tuan Nathanael?" Rachel mengangguk penuh yakin. Ia tidak main-main dengan apa yang ucapkan barusan. "Ya. Kau harus." "Apa kau sudah gila Rachel Antonia?" Clara langsung terlonjak. Ia kemudian menggeleng berulang kali. Semalam dirinya bahkan sudah jelas-jelas di usir. Mana ia punya muka untuk kembali bertemu. Tolong saja, Clara masih punya harga diri. "Aku serius, Clara. Kau harus kembali menemui Tuan Nathanael. Buktikan kepadanya kalau kau bukan perempuan payah seperti yang ia kira." Clara sontak tertawa. Entah menertawakan diri sendiri atau merasa geli dengan ucapan konyol yang Rachel kemukakan kepadanya. "Apa yang perlu ku buktikan? Aku bahkan tidak bisa melakukan apa-apa. Lantas, apa lagi yang mau ku tunjukkan kepadanya?" Rachel berdecak. Melepas apron putih yang ia kenakan, lalu menarik rekan kerjanya itu untuk segera pergi ke ruang ganti. "Ikut denganku. Akan ku ajarkan bagaimana cara membuat Tuan Nathanael takhluk kepadamu." Clara menurut. Tanpa berprasangka apa pun ia ikut saja kala Rachel mengajaknya untuk pergi ke apartemen gadis itu. Sesampainya di sana, Rachel mempersilakan Clara untuk segera masuk. Menuntunnya untuk masuk kamar dan duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang. "Kau tunggu di sini sebentar. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu." Setelahnya, Rachel tampak keluar kamar. Lima menit berselang, Clara mendengar jelas suara bel berdering diikuti sapaan seorang laki-laki. Ia yakin, itu pasti Matthew, pria yang sedang dekat dengan Rachel belakangan ini. Terus duduk menunggu, tak lama setelahnya Clara mendapati Rachel dan Matthew masuk kamar. Awalnya, ia tidak berpikiran macam-macam. Sampai akhirnya Clara melihat bagaimana Rachel menggoda lalu menuntun Matthew untuk berbaring di atas tempat tidur. Keduanya bahkan tanpa canggung bermesraan. Melakukan adegan yang seharusnya tidak perlu Clara lihat. "Rachel... are f**k*ng kidding me? Kau bercinta di hadapanku? Seriously?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD