9

512 Words
“Loh Mas, ini sangat banyak,” ucap Edi sambil menghitung-hitung uang di tangannya. “Tidak masalah, saya berterima kasih karna Bang Edi sudah membantu saya.” “Iya, iya Mas, sama-sama, kalau begitu saya pamit pulang dulu.” “Silakan Bang.” Yasser membiarkan mobilnya terparkir di pinggir jalan, dia mendorong motor Qisti memasuki pekarangan rumah Qisti. “Assalamu’alaikum,” ucap Nizam pada satpam rumah Qisti. “Wa’alaikum salam, ada perlu apa Mas?” “Saya hanya ingin menitipkan motor pemilik rumah ini.” “Ini motor Non Qisti, kamu dapat dari mana motor ini?” tanya satpam yang tiba-tiba cemas, karna takut rumah yang dijaga olehnya kemasukan maling atau perampok. “Jangan salah paham Pak, ini motor tadi tertinggal di butik, karna tadi kunci motornya jatuh ke selokan.” “Oh begitu, ya sudah, sini biarkan saya bawa masuk, nanti biar saya saja yang berbicara sama Non Qisti,” ucap satpam. “Iya Pak, terima kasih banyak, sampaikan salam maaf saya sama Qisti, kalau begitu saya pamit dulu, Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikum salam.” Nizam pulang dengan mobilnya menuju rumah, entah kenapa, wajah Qisti kini tak bisa lekang dari bayangan matanya, Qisti benar-benar menghipnotis dirinya dengan cinta. "Non Qisti," panggil satpam sambil mengetuk pintu kamar Qisti. "Iya Pak, ada apa?" Tanya Qisti sambil membuka pintu. "Ini kunci motor Non Qisti," ucap satpam sambil menyerahkan kunci motor itu untuk Qisti. "Loh, memangnya ini siapa yang kasih Pak?" "Tadi ada lelaki yang datang bawa pulang motor Non Qisti, dia juga berpesan, dia minta maaf sama non Qisti." "Oh, lelaki itu," gumam Qisti. "Ya sudah Pak, terima kasih banyak, tidak ada hal penting lain kan?" "Tidak ada Non, kalau begitu saya pamit dulu." "Silakan," jawab Qisti yang kemudian kemvali ke dalam kamarnya sambil memperhatikan kunci motor itu yang di pegangnya dengan jijik. "Penasaran aku, memangnya bagaimana caranya dia mengambil kunci ini," ucap Qisti yang bangkit menuju kamar mandi sambil membawakan kunci motor tersebut. Qisti kembali mencuci kunci motor tersebut dengan sabun hingga beberapa kali cuci, dia tidak mau ada kotoran yang menempel sedikit pun dari kuncinya. Nizam pergi untuk lanjut mengajar, setelah pulang mengajar, dia kembali menjemput Abinya. Nizam telah menimang-nimang keinginannya, dia ingin mengutarakan keinginannya pada Abi, dia ingin melamar Qisti untuk dijadikan istrinya. Beberapa hari kemudian. Nizam menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan hal penting tersebut pada kedua orang tuanya, dan hari ini dia berniat menyampaikan keinginannya, karna dilihat Abinya sedang ada waktu longgar. Abi dan Ummi sedang duduk menyeruput teh hangat di ruang tengah, Nizam datang menghampiri mereka. “Tidak mengajar kamu hari ini?” tanya Abi. “Tidak Abi, Nizam sedang libur,” jawab Nizam dengan sedikit gugup karna akan ada hal lain yang ingin di sampaikan. “Ummi, Abi, Nizam ingin berbicara serius,” lanjut Nizam lagi. “Berbicara apa?” tanya Ummi. “Nizam ... ingin melamar perempuan,” ucap Nizam dengan malu-malu dan sedikit takut pada keinginannya. “Memangnya siapa yang mau kamu lamar?” tanya Abi. “Tapi perempuan ini tidak Alim Abi, tapi Nizam janji akan mengubah dia sedikit demi sedikit.” Ummi dan Abi saling berpandangan dengan kening berkerut. “Memangnya siapa yang mau kamu lamar?” kali ini Ummi yang bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti Abi. “Nizam ingin melamar Qisti, anak Pak Firman dan Buk Ara.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD