5

501 Words
“Tidak apa-apa, pergi makan dulu, sebentar lagi sudah Zuhur, sudah pergi lagi.” “Iya Ummi.” Nizam pergi ke meja makan dan mulai makan sendirian, mereka memang sudah terbiasa makan masing-masing, Umminya tidak bisa telat makan, karna maghnya akan kambuh, sedangkan Abi dan Nizam jadwal mengajar mereka yang membuat mereka jarang bisa sama-sama di rumah. Setelah makan Nizam pergi mandi karna sebentar lagi akan tiba waktu Shalat Zuhur. Lagi-lagi, bayangan wajah Qisti memenuhi pikiran Nizam yang sudah rapi dengan baju koko putih. “Namanya Qisti, dan perempuan itu selalu memenuhi pikiranku, aku rasa, aku benar-benar menyukainya,” ucap Nizam. “Apa aku harus melamarnya dalam waktu dekat? Aku takut tidak bisa menjaga pandanganku lama-lama.” “Tapi sebaiknya aku istikharah dulu, biar Allah yang memberi jawaban untuk pilihanku,” Amin ... ... Nizam melakukan Shalat istikharah dengan sungguh-sungguh, tapi belum juga dia mendapatkan petunjuk, sedangkan hatinya, makin lama rasa itu makin menggebu-gebu, dia benar-benar telah jatuh cinta pada gadis pandangan pertamanya. Nizam terus melakukan Shalat istikharah sampai beberapa kali, hingga dia menemukan petunjuk, bahwa dia harus melamar Qisti untuk dirinya, untuk kesucian hati dan pandangannya. Berbeda dengan Qisti, murid yang masih duduk di bangku kelas 2 SMA itu sedang sibuk-sibuknya mengerjakan tugas yang akan dikumpulkan besok pagi, tak ada waktu baginya untuk memikirkan cinta-cintaan. Banyak teman lelakinya yang menyatakan cinta untuknya, tapi tak ada satu pun yang bisa mengikat hati Qisti. Qisti memang bukan tipe wanita yang suka di ajak berkencan oleh lawan jenisnya, dia lebih suka menghabiskan waktunya dengan membaca, baik itu baca buku pelajaran atau hanya buku novel yang di kamarnya sudah seperti perpustakaan. “Bosan,” ucap Qisti sambil menutup wajahnya dengan buku kemudian dia menyibaknya kembali. “Bagaimana kalau pergi belanja sepatu, hari ini sepertinya masuk barang baru di butik,” Qisti berkata dalam hati. “Iya benar, hari minggu ini bongkaran sepatu baru di butik, aduh ... aku kok bisa lupa, semoga saja masih ada sepatu yang aku inginkan,” ucap Qisti yang tergesa-gesa memakai jaket tipisnya untuk sekedar menutup kulitnya dari paparan matahari. Qisti adalah gadis penggila sepatu model apa saja, dia tak pernah ketinggalan untuk mengoleksi sepatu branded di butik sepatu langganannya. Dia bahkan jarang membeli baju, kalau tidak di tegur oleh Mamanya karna baju yang di pakai hanya itu-itu saja. Qisti meraih kunci motor moge maticnya, dan keluar dari kamar. “Loh Non mau pergi lagi?” tanya pembantu Qisti yang sudah di percayai oleh orang tuanya Qisti untuk mengatur jadwal main Qisti. “Bi, ini urgent banget Bi, Qisti harus ke butik, hari ini bongkaran sepatu branded, Qisti takut gak dapat sepatu yang sudah lama Qisti pesan,” ucap Qisti yang buru-buru keluar dari rumahnya. “Tapi Non ... Non harus istirahat siang,” teriak pembantunya yang mengejar Qisti dari belakang, tapi Qisti sudah duduk di atas motor mogenya dan siap untuk pergi. “Sebentar saja Bi,” Qisti membalas ucapan pembantunya dan langsung lari keluar dari rumah. “Tapi Non, nanti saya kena marah ... sa ... ma ... Nyo ... nya ...,” ucap pembantunya yang berkata dengan pelan, karna orang yang di tegurnya sudah menghilang di depan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD