Keesokkan paginya, Yuni pun terbangun dengan sinar matahari menyilaukan kedua matanya. Gadis itu menoleh ke arah sampingnya yang memperlihatkan Jenny masih memejamkan mata dengan nyaman.
Yuni tersenyum geli, kemudian beranjak turun dari ranjang sambil mengikat rambutnya tinggi-tinggi. Ia hendak membersihkan tubuh sekaligus membuatkan sarapan untuk sahabatnya yang terlihat sangat pulas dalam tidurnya.
Kini Yuni sudah berada di kamar mandi. Gadis itu tampak mengambil salah satu sikat gigi yang berada di rak gantung. Ia tersenyum geli Jenny masih menyimpan sikat gigi yang ditinggal oleh Yuni ketika menginap.
Namun, siapa sangka kalau nyatanya benda tersebut akan digunakan lagi oleh Yuni. Membuat gadis itu diam-diam merasa senang Jenny tidak membuangnya sama sekali. Kemudian, ia mulai memencet dispenser odol untuk memulai sikat gigi pagi.
Setelah beberapa saat, Yuni tersenyum lebar menelisik ke arah deretan giginya yang begitu bersih. Ia mulai menyalakan air keran kembali, dan membasuh wajahnya dengan menggunakan sabun wajah.
Menghabiskan sebagian waktunya di kamar mandi, Yuni pun melenggang keluar sambil mengusap wajahnya menggunakan handul kecil khusus wajah. Gadis itu mengitari sekeliling rumah yang masih kosong.
“Sepi juga, ya.” Yuni menatap ke arah kamar yang dihuni oleh Jenny. “Entah kenapa Jenny malah senang banget kelihatannya kalau begini. Padahal gue sendiri yang ngerasain kurang nyaman.”
Tidak ingin berpikir lebih banyak, Yuni pun langsung memutuskan untuk membuatkan sarapan. Gadis itu terlihat sedang memanaskan teflon dengan minyak goreng kelapa sawit dari kemasan isi ulang yang ternyata tidak Jenny tumpahkan ke dalam wadahnya sama sekali.
Lagi-lagi Yuni menggeleng tidak percaya dengan kemalasan yang bersarang tanpa merasa lelah sama sekali. Padahal Jenny bisa saja langsung menuangkannya ketika berada di dapur.
Selesai menggoreng nasi ala kadarnya dengan ditumpangi omellet yang menjadi kesukaan Jenny, akhirnya Yuni pun tersenyum puas melihat sarapan yang dibuatnya telah jadi tepat sebelum limas belas menit.
“Yuni, lo di mana?” panggil Jenny terdengar dari ruangan seberang.
Yuni mengangkat kepalanya, lalu setengah berlari menghampiri Jenny yang terlihat baru saja terbangun dari tidur. Keadaan gadis itu benar-benar kacau dengan rambut setengah menjadi singa.
“Astaga, Jenny, lo mandi dulu dong!” keluh Yuni menggeleng tidak percaya, kemudian memutar tubuh sahabatnya berbalik menuju kamar. “Sekarang mendingan lo mandi dan baru turun ke bawah. Gue udah buat sarapan kita berdua.”
“Udah?” Jenny menghentikan langkahnya dan berusaha menoleh ke arah Yuni yang berada tepat di belakang.
Yuni mengangguk beberapa kali dengan bibir menipis menahan kesal, lalu berkata, “Jadi, lebih baik lo sekarang mandi dan jangan banyak tanya lagi.”
“Oke,” balas Jenny mengangguk singkat.
Sepeninggal sahabatnya yang begitu melelahkan seperti anak kecil, Yuni pun mengembuskan napas dan memilih untuk mendudukkan diri. Gadis itu tampak membuka ponsel yang diambil dari kantung celananya.
Sejenak Yuni membuka percakapan grup yang baru saja dimasukkan oleh Ayres. Gadis itu tampak membaca sederetan pesan kiriman dari Alister. Ternyata lelaki itu masih terfokus pada keberadaan Arkanio yang ternyata sudah mau mengaku, tetapi membutuhkan Alister dan Jenny.
“Yuni, lo bangun jam berapa? Kok udah selesai buat sarapan aja?” tanya Jenny yang ternyata sudah selesai mandi kilat, tidak termasuk dalam seorang gadis yang menghabiskan sebagian waktunya berada di kamar mandi.
Yuni menoleh sesaat, lalu menjawab, “Gue udah bangun sebelum matahari terbit. Jadi, jangan tanya jam berapa. Karena gue juga sebenarnya enggak tahu.”
Ketika mendengarkan jawaban sahabatnya, Jenny pun menarik kursi meja makan tepat di hadapan Yuni. Akan tetapi, pandangan gadis itu sibuk pada layar ponsel di tangannya membuat Jenny sedikit merasa penasaran.
“Lagi lihat apa, Yun? Tumben serius banget sampai belum sarapan,” tanya Jenny mengambil alat makan berupa sendok dan garfu dari tempat yang telah tersedia.
“Ini … Ketua Tim ngasih pesan. Katanya dia mau balik lagi interogasi Arkanio,” jawab Yuni menutup ponselnya dan menatap Jenny yang terlihat mulai mencoba makanannya. “Gimana rasanya? Enak enggak?”
“Enak,” puji Jenny mengangguk singkat. “Oh ya, gue juga tadi dapat telepon dari Ketua Tim buat langsung berangkat. Jadi, kita harus cepat!”
“Iya juga, sih. Lo pasti sibuk banget sampai sarapan aja pakai buru-buru,” ucap Yuni tersenyum kecut. Ia menyadari sahabatnya telah sibuk dibandingkan biasanya.
Jenny menatap Yuni dengan pandangan sulit diartikan, kemudian menaruh sepasang alat makannya di pinggir piring. Ia menghela napas panjang menyadari Yuni mulai terlihat tidak nyaman dengan pekerjaan barunya.
“Yuni, gue tahu lo pasti rindu saat-saat kita shopping bareng, ‘kan?” Jenny tersenyum tipis dengan paksa. “Tapi, sekarang kepolisian lagi repot masalah kasus. Jadi, gue minta lo jangan pernah ngerasa terbebani. Lo pasti bakalan ngerti lama-kelamaan.”
Yuni menggeleng pelan, lalu berkata, “Jen, sebenarnya gue enggak masalah lo sibuk. Tapi, apa lo enggak pernah ngerasa kalau lo sendiri juga kesepian?”
“Hah? Maksudnya?” Jenny mendadak tidak mengerti.
“Pas pagi-pagi gue bangun rumah ini kelihatan sepi banget,” keluh Yuni mengembuskan napasnya kasar. “Seharusnya lo kalau ngerasa kesepian jangan terlalu memaksakan diri, Jen. Lo bisa nginap di apartemen gue ataupun gue ke sini.”
Jenny tersenyum geli, lalu mengangguk mengerti. “Iya, kalau gue kesepian gue bakalan nginap di apartemen lo. Tapi, siapin banyak makanan. Jangan sampai gue sampai di sana malah kelaparan.”
Mendengar sahabatnya sedikit menjengkelkan, Yuni hanya menggeleng tidak mengerti. Kemudian, gadis itu memilih untuk mempercepat makannya. Tentu saja mereka berdua hendak bekerja kembali.
Terlebih Jenny sudah memiliki jadwal bersama Alister membuat Yuni harus mempercepat makannya kalau tidak ingin menjadikan gadis itu menunggu sampai selesai. Apalagi Alister sudah berada di markas menjadikan lelaki itu hanya perlu menunggu sampai Jenny datang.
Tepat menyelesaikan sarapan, Jenny dan Yuni pun bergegas berangkat. Keduanya menggunakan mobil yang sama, karena kebetulan sekali semalam Yuni memilih untuk menaiki taksi dibandingkan membawa kendaraan pribari. Sebab, malam itu Yuni benar-benar bosan membuat gadis itu ingin menghabiskan di luar.
“Yun, lo mau ikut interogasi nanti?” tanya Jenny di sela kegiatannya menyetir mobil.
“Emang boleh?” Yuni bertanya balik dengan kening berkerut bingung.
“Boleh,” jawab Jenny mengangguk singkat. “Lagian lo bisa sekalian nyamperin Delvin.”
0o0